Betapa tidak, ketiga
kudapan (Cucokh mandan, upak, dan selimpok bungking) ini mengingatkan saya pada
masa kecil saya dan mungkin masa kecil anak-anak Liwa generasi 70-80 an. Saat itu, ketiga kudapan ini selain hadir
saat acara-acara adat dan hari-hari besar seperti lebaran Idul Fitri dan Idul
Adha, juga selalu hadir saat penanoman
(musim tanam) dan penggetasan (musim ngetam/panen) padi baik di sawah maupun di
ladang dimana anak-anak se usia saya waktu itu, ya, sekira usia 7 tahun dengan
suka cita dan sukarela turut bebatok (gotong rotong) membantu nugal (melubangi dan memasukkan bibit
padi ke lubang yang telah di tugal) untuk padi ladang dan membawa buni (bibit
padi hasil semaian) ke tengah sawah di mana para orang tua melaksanakan
kegiatan bebatok (bergotong rotong) nanam padi.
Begitu juga saat ngegetas
(ngetam/panen), saya dan anak-anak se-usia saya akan hadir untuk mengangkat
sengol, sengol adalah kumpulan padi
hasil ngetam yang di kumpulkan dan di ikat menjadi satu menggunakan batang padi
itu sendiri yang besar kecilnya sangat tergantung dari besar kecilnya genggaman
tangan orang yang melakukannya. Kalau di ladang, maka saya akan memakai
bebalang (alat angkut yang terbuat dari rotan dengan di pikul) untuk membawanya
sampai ke tetungkuan (tempat/alat yang terbuat dari bambu dan batang kopi)
tempat menyusun dan mengeringkan padi hasil ngegetas sebelum di bawa ke balai
(lumbung) yang ada di pekon (kampung), dan kalau di sawah saya akan memakai biduk yang bentuknya sangat berbeda
dengan jukung yang sering kita temui di pantai-pantai, walaupun sama-sama di
buat dari kayu utuh, biasanya biduk dibuat persegi empat menyerupai kotak dan pada bagian depannya di buat bonggolan
yang biasa tempat memasang tali untuk menariknya, maklumlah pada saat ngegetas air sawahnya tidak kering seperti saat ini
sehingga dengan di buatkan jalur biduk bisa jalan dan ikan-ikan tetap
berkembang biak.
Musim penanoman
biasanya akan dimulai dengan belangok (mengambil ikan di sawah secara
beramai-ramai), karena ikan hasil belangok biasanya akan di pakai untuk lauk
saat babatok (gotong royong) nanom. Disini
biasanya saya akan lomba dengan adek atau kakan saya untuk mendapatkan ikan
yang paling besar atau paling banyak, siapa yang dapat paling banyak atau
paling besar hadiahnya boleh manggang ikan tersebut untuk di makan sendiri saat
belangok selesai. Bergumul dengan air yang bercampur lumpur, berkejar-kejaran
dan saling berebut ikan yang berlarian, sungguh suasana kini mulai langka.
Selain belangok penanoman biasanya diawali
juga dengan ngambuk (mencabut) buni (sebutan bibit padi yang siap di tanam),
dan baru akan selesai bila semua buni
yang di cabut dari pembunian (tempat nyemai buni) sudah di tanam semua di
sawah-sawah yang sudah di siapkan, lalu menghijau dan debit air sudah di naikkan
lagi, untuk proses ini memakan waktu antara 2 – 3 minggu sangat tergantung
dengan luasan sawah dan jumlah orang yang dikerahkan untuk bebatok (bergotong rotong). Sedangkan masa penggetasan biasanya di mulai
dengan membikin tetungkuan, ngegetas, menunggu padi kering di tetungkuan, dan
terakhir adalah bebatok (gotong rotong) membawa sengol padi dari tetungkuan dan
menyusunnya di balai (lumbung) sebelum
nantinya akan di ilik yaitu proses memisahkan tangkai dengan padi dan di jemur
lalu di cecak (tumbuk) dan dimasak.
Semua berjalan secara organik; tidak ada pupuk kimia, tidak mesin
potong, tidak mesin giling dengan pemutih, dan yang paling penting lagi hidup
rukun guyub dengan warga pekon terjalin, mungkin inilah yang disebut dengan
energi sosial yang sesungguhnya.
Oh ya.. selain membantu
orang tua ngatat segol (membawa segol) pada musim pengetasan saya juga akan memasang
kriding (bubu) atau tajur untuk menangkap ikan gabus. Hasil masang kriding atau
najur akan digunakan menjadi lauk ngegetas.
Di sela-sela membantu orang tua, saya bersama anak-anak se usia saya
yang hobi mikat (menjerat burung dengan menggunakan burung sebagai
pemikatnya), juga akan mikat burung bondol uban atau emprit
yang selalu banyak pada saat musim panen padi. Selain mikat saya juga akan
mencari salayan (sarang) bondol uban dan atau emprit, dan jika ketemu akan
memasang salang (alat perangkap yang di
buat dari bambu) atau lapun (alat perangkap yang di buat dari tali rapia yang
dibuat menyerupai jaring untuk membawa bola tetapi berukuran kecil, di buat
dengan cara menjalin temali yang telah di pulas dengan hitungan ganjil 5, 7,
atau 9 menjadi sebuah jaring.
Kehadiran
Cucokh, Upak, Selimpok Bungking Kini
Penanoman, penggetasan,
belangok, najor, bebatok, mikat, dan ngelapun seperti saat saya masih kecil kini hampir tak di jumpai lagi, kalau pun
masih ada tak akan selengkap dan se berkesan waktu itu. Hasil panen sekali
setahun, tidak ada yang di jual dan rata-rata cukup di makan satu kelaurga
selama setahun pula. Kini padi pendek dengan umur pendek seolah membuat
masyarakat untuk bertindak praktis pula, nanom di upahkan, ngegetas berganti
dengan ngarap/babat, hasil babat langsung di keret, dan terakhir gabah langsung
di jual ke penggilingan. Karena padi
pendek sawah pun harus di keringkan dan padi semprot dengan pestisida, ikan pun
punah. Begitu juga dengan bebatok
(gotong royong) dan balai (lumbung) yang kosong dan lama kelamaan menjadi rusak
dan hilang. Tapi masih ada yang patut di sukuri karena cucokh mandan, upak, dan
seilimpok bungking masih eksis dan tetap menjadi salah satu kudapan khas
Lampung Barat.
Cucokh mandan, kudapan
yang bahannya harus dari gula aren pilihan berkualitas tinggi dan tepung beras
yang berkulitas pula kini mulai banyak di jual di gerai-gerai pemjual oleh-oleh
khas Lampung Barat di seputaran Balik Bukit, Batu Brak, dan Belalau. Lalu bagaimana dengan upak (opak), kudapan
berbahan singkong ini yang sepintas lalu tidak berbeda dengan opak-opak yang bisa
di temui di pasar-pasar tradisional di Bandar Lampung, namun jika di perhatikan
dengan seksama lalu dirasakan pasti akan dirasakan bedanya. Tektur dan
rasa singkongnya bercampur daun bawang yang khas serta bentuknya yang
bundar dan ada pula yang persegi empat seolah mengatakan bahwa upak ini memang berbeda
dengan opak yang biasa dijumpai di tempat lain, kondisi ini seolah menguatkan
bahwa wajar jika ia memang berkelas makanya selalu hadir saat acara adat dan
hari-hari besar. Begitu juga dengan
selimpok bungking; kudapan berbahan baku ketan bercampur pisang, dan parutan
kelapa di bungkus dengan daun pisang berbentuk memanjang atau segitiga lalu di
kukus ini juga tiada duanya. Mungkin
kita akan banyak menjumpai selimpok bungking di Bandar Lampung, yang oleh
pedagangnya di namai lemet, lagi-lagi rasanya akan beda ketika kita menikmati
selimpok bungking dari Lampung Barat, mungkin karena jenis pisangnya; karena
menurut emak saya (almarhumah) saat dulu masih hidup tidak semua jenis pisang bisa di jadikan selimpok bungking.
Namun sayang, ketiga kudapan yang nikmat yang menurut lagi-lagi emak saya (almarhumah) harus dibuat dengan gula aren yang super so pasti menyehatka ini belum bisa kita jumpai di seluruh wilayah Lampung Barat. Beberapa sahabat yang pernah saya kasih oleh-oleh ketiga kudapan ini saat saya abis mulang mit pekon, beberapa kali mengungkapkan kekecewaannya karena saat yang bersangkutan berkunjung ke Lampung Barat dan hanya sampai wilayah kecamatan Sekincau tidak menemukan kudapan khas ini, bahkan baru-baru ini seorang kerabat yang mampir ke rest area Skala Bekhak Kecamatan Sumber Jaya juga menyayangkan karena di tempat yang ramai di datangi pengunjung ini belum menyediakan kudapan khas Lampung Barat khususnya ketiga kudapan ini.
Cucokh Mandan, Upak, dan Selimpok Bungking Kedepan
Saya tidak pernah membayangkan
bahwa ketiga kudapan ini dibuatkan tugu seperti tugu kayu ara di Pasar Liwa,
tugu sakura dan tugu kopi di Sekuting, tugu pengantin di Rest Area Sumberjaya,
atau tugu tani di Sukau atau di buatkan festival seperti sekura. Saya hanya membayangkan bahwa ketiga kudapan
ini tetap eksis dengan kemasan yang memikat memenuhi standar kesehatan dan
dengan harga yang variatif, dan pemasarannya yang tidak hanya di Lampung Barat
sehingga saudara saya yang berada di Palembang, Tanjungkarang, Jakarta,
Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan lain-lain akan dengan mudah mendapatkannya.
Saya sangat yakin,
sesuatu yang di mulai dan dikembangkan
dengan energi positif pasti akan banyak
di sukai dan di cari oleh banyak orang, sebagaimana saya menyukai dan selalu
mencari cucokh mandan, upak, dan selimpok bungking yang selalu mengingatkan
saya pada pekon, indahnya masa anak-anak kala itu, energi babatok yang dulu
mengisi kehdupan masyarakat Liwa yang kini sudah mulai tergerus, serta hal-hal
yang selalu menggiring saya untuk mulang mit pekon atau munggak istilah masyarakat Batu Ketulis, Belalau, dan
Batu Brak, dan mudik istilah masyarakat
jaman now.
إرسال تعليق