06.30



Pagi masih muda ketika hati tiba-tiba bergetar oleh sebuah tanya yang jarang kita izinkan muncul:

“Apakah aku masih punya malu?”

 

Pertanyaan itu seperti embun yang jatuh pelan di tepi daun—tak bersuara, tapi mampu membuat seluruh jiwa berhenti berjalan sejenak. Sebab dunia hari ini terlalu riuh; terlalu banyak orang yang berani bicara, tetapi tak lagi berani menundukkan kepala. Terlalu banyak yang ingin dihormati, padahal lupa memperbaiki dirinya sendiri.

 

Padahal malu itu bukan kutukan.

Ia adalah pagar halus yang melingkari manusia ketika akal mulai goyah.

Ia rem yang bekerja diam-diam saat ambisi memanas.

Ia lentera yang menerangi jalan ketika gelap dianggap lumrah.

 

Orang yang masih memelihara malu, berdirinya seperti pohon tua di pinggir kampung—akar yang dalam, batang yang teduh, dan kesunyian yang mengajarkan hormat tanpa memaksa.

Budaya malu bukan belenggu, melainkan pakaian yang menjadikan manusia tetap manusia.

Tanpa malu, kita hanya bergerak;

dengan malu, kita berjalan dengan arah.

 

Dan untuk menegur diri yang sering lupa, berikut seratus alasan — bukan sebagai angka, tetapi sebagai denyut yang mengetuk pintu hati satu per satu:

malu menjaga martabat, membuat kita hati-hati, mencegah menyakiti orang lain, memperhalus budi pekerti, menahan lisan dari dusta, menjauhkan dari kesombongan, membuat seseorang layak dipercaya, mengajarkan tanggung jawab, menjaga kehormatan keluarga, menahan diri dari mengambil hak orang lain, menjauhkan dari tipu daya, menumbuhkan etika bekerja, membatasi hawa nafsu, mencegah perilaku tak senonoh, memupuk kerendahan hati, menertibkan hidup, mengingatkan batas moral, menjaga nama baik, mencegah kesemenaan, membentuk pribadi disegani, melatih kejujuran, menghindarkan perbuatan merugikan, memperkuat adab, menghalangi pikiran jahat, menciptakan hubungan sosial sehat, membuat enggan mempermalukan orang lain, mendorong memperbaiki kesalahan, menumbuhkan empati, memperkuat rasa syukur, menghindarkan tindakan memalukan, melindungi dari fitnah, membentuk kebijaksanaan, mengajarkan kesabaran, menghindarkan kegaduhan, menjaga ketertiban, membuat berpikir panjang, membentuk jiwa lembut, menahan diri dari pamer, mendekatkan pada kebaikan, menjaga rahmat di hati, menahan lidah dari mengumbar aib, membuat rendah hati, menjadi pagar saat syahwat bangkit, menuntun menuju kesopanan, membuat enggan merugikan negara, menjaga amanah, membentuk integritas, mencegah kebohongan publik, membuat pemimpin bertanggung jawab, mengajarkan menghargai waktu, menahan diri dari boros, mendorong meminta maaf, menghindarkan korupsi, mendekatkan kepada Tuhan, melahirkan ketenangan, menghindarkan penyesalan, membuat tak ambil jalan pintas, menanamkan disiplin, memperbaiki karakter, mencegah meremehkan orang lain, menyadarkan ketidaksempurnaan diri, mencegah pertengkaran, menahan diri dari adu mulut, menjaga kehormatan perempuan, menuntun laki-laki menjaga sikap, mencegah kekerasan, memupuk kedamaian, mengajarkan persahabatan tulus, mendorong keadilan, menjauhkan iri dengki, menjernihkan pikiran, menghindarkan sikap sok jago, mencegah membanggakan dosa, menahan diri dari cibiran, mengatur etika bermedia sosial, mencegah hoaks, menjaga keharmonisan keluarga, menjauhkan pergaulan buruk, memelihara kepekaan hati, mengajak introspeksi, menumbuhkan hormat pada yang tua, menuntun kasih pada yang muda, menghindarkan pamer kesulitan, menahan diri dari pamer kekayaan, menjaga kesucian ibadah, menghalangi eksploitasi orang lain, mengikis egoisme, mendorong keadaban publik, mencegah menjadi beban orang lain, menghargai privasi, menahan diri dari berbuat buruk meski tak ada yang melihat, menahan diri dari kebodohan, menjaga kebersihan hati, mempertajam akal sehat, menghindarkan perusakan lingkungan, menjaga aturan, menghindarkan sikap tak tahu diri, menghidupkan budi pekerti bangsa, membuat kehadiran seseorang dirindukan—dan pada akhirnya: malu adalah pintu pertama menuju akhlak yang diterangi cahaya.

 

Dan setelah semua itu, kita tetap harus jujur:

bahwa orang yang hidup tanpa malu ibarat rumah tanpa pintu.

Apa saja bisa masuk, apa saja bisa merusak.

Angin buruk keluar masuk sesukanya, meninggalkan retakan demi retakan sampai tidak ada lagi yang patut dipertahankan.

 

Orang yang kehilangan malu akan kehilangan martabat;

yang kehilangan martabat akan kehilangan arah;

dan yang kehilangan arah, lambat laun akan menjadi tontonan bagi dunia.

 

Dan ketika ia hendak kembali, dunia sudah lebih dulu menguburnya dengan ejekan.

 

Sungguh… tidak ada makhluk yang lebih mudah dipermalukan

selain orang yang tidak lagi tahu apa itu malu..

 


Post a Comment

أحدث أقدم