Telor dan Pemberdayaan Masyarakat



Rasanya tidak ada yang tidak tahu tentang telor mengingat bahwa banyak orang menjadikan telor khususnya ayam atau itik sebagai menu wajib untuk makan, pencampur obat atau jamu,  serta dijadikan bahan utama dalam pembuatan kue.  Penulis disini tidak dalam kapasitas membahas macam-macam telor unggas atau macam-macam panganan berbahan baku telor unggas.  Namun dibalik itu mungkin juga tidak banyak orang yang menaruh perhatiannya pada proses bagaimana telor menetas kecuali telor yang tidak dibuahi pejantannya. 

Berbagai ukuran dan waktu telor sampai menetas, tergantung dari jenis ungggas si empunya telor dan bagaimana suhu ketika telor dalam proses penetasan.  Berbagaimana strategi pun dilakukan agar memaksimalkan hasil dalam menetaskan telor/meminimalisir jumlah telor yang tidak menetas baik secara alami maupun dengan memakai teknologi alat penetas yang konon telah dimulai sejak era tahun 1960. Yang kini varian alat penetas pun telah bermacam-macam mulai dari menggunakan sinar matahari, menggunakan petromak, serta menggunakan energi listrik.

Dari kesemua proses penetasan yang dilakukan mengisaratkan bahwa  baik melalui induk/alami maupun alat penetas dengan suhu tertentu (34 – 38 C) selama periode tertentu (20 – 35 hari) dimaksudkan untuk mendorong proses pertumbuhan ovum pada telor dan kemudian karena kebutuhan si anak unggas akan memecahkan kulit telor baru kemudian beralih pola hidup menjadi anak ayam atau kehidupan ayam yang sebenarnya.  Proses ini sangat jelaslah bahwa pihak lain diluar ovum hanya mendorong atau memfasilitasi tanpa boleh sedikitpun memecahkan kulit si ovum.  Kemudian apabila proses tidak tuntas semisal di akibatkan suhu yang tidak merata maka berakibat pada ovum atau telor tidak menetas walaupun suhu dan waktu berlangsung sama.  Sekali lagi intinya adalah bagaimana pihak luar hanya mendorong/memfasilitasi tanpa sedikitpun melakukan pemaksaan dengan memecahkan kulit luarnya.

Dengan menyimak apa yang terjadi pada telor; bila kita renungkan secara mendalam maka proses inilah yang idealnya juga terjadi pada proses perkembangan kehidupan manusia yang kerap disebut oleh berbagai pihak dengan sebutan pembangunan sumberdaya manusia.  Yang idealnya sedikit berbeda perlakuannya dengan pembangunan fisik atau infrastruktur.  Jika dalam pembangunan infra struktur dominasi pihak luar dalam proses sangat dimungkinkan walaupun banyak hal dengan berbagai alasan ternyata berdampak pada rusaknya lingkungan, tetapi dengan pertimbangan ketersediaan anggaran dan penyeragaman yang dibungkus dengan rencana tata ruang wilayah pembangunan fisik faktanya menjadi syah untuk dilakukan secara dominasi oleh pihak luar (walaupun semestinya tidak begitu).

Fakta proses ovum menjadi anak ayam juga semakin meyakinkan bahwa pola pembangunan sumberdaya manusia dengan pola pemberdayaan adalah pilihan yang tepat dalam melahirkan manusia-manusia yang handal.  Ovum sebagai bakal jika di ibaratkan manusia  adalah kader yang harus lahir dan hadir dari dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan, barulah kemudian proses keberlangsungan pembangunan akan berlangsung minimal sepanjang hayat sang kader bukan sebaliknya hadir ketengah masyarakat dengan segala atributnya merasa bahwa dialah “ovum” di datangkan dari luar  seperti yang kerap kita dengar, yang pada ahirnya ketika sang “ovum palsu” meninggalkan lokasi tugasnya proses pun akan terhenti pula (sebuah kritk oto kritik kepada pelaku pemberdayaan masyarakat).

Begitulah adanya dengan tidak bermaksud menggurui sahabat-sahabat yang hari ini berprofesi sebagai pelaku pemberdayaan masyarakat dan tentunya mengingatkan penulis sendiri; pertanyaannya sudahkah kita mendorong kelahiran “ovum” (baca kader) secara benar..??  atas pertanyaan yang sederhana ini tentu beberapa indikator sebagai panduan dasar yang selama ini menjadi pijakan harus di refleksikan lagi semisal kredo fasilitator: Pergilah kepada Masyarakat - Tinggallah bersama Mereka - Cintailah Mereka - Layanilah Mereka - Belajarlah kepada Mereka - Belajar bersama Mereka - Mulai dengan apa yang Mereka miliki - Buat Rencana bersama Mereka - Ajari Mereka dengan memberi contoh”.

Selain kredo hal selanjutnya yaitu alur tahapan dan waktu, seperti halnya kelahiran ovum mejadi anak ayam,  waktu dan suhu yang telah menjadi ketetapan. Penghematan waktu yang berlebihan semisal kegiatan yang seharusnya dilaksanakan selama 3 hari tetapi faktaanya  dilakukan hanya selama 1 hari efektif (dua harinya tetap dihitung karena menuju dan meninggalkan lokasi) dianggap sebagai proses.  Jika seperti itu adanya tentu tidak akan menetas telor menjadi anak ayam bila kedatangan dan kepergian sang induk menuju dan meninggalkan lokasi mengeram juga dihitung menjadi bagian dari proses pengeraman/penetasan.  Apalagi kalau waktu dimaksud telah dicantumkan dalam surat, dalam banner atau baliho yang dibaca banyak orang.  Seperti ini tentu tak berlebihan bila dikatakan tidak taat azaz dan tidak konsisten pada hukum alam yang berlaku.  Bila hal ini kaitkan dengan anggaran, pertanyaannya tentu bagaimana dengan proses perencanaannya..? bila perencanaannya yang bermasalah maka wajarlah bila kalimat bijak mengatakan kegagalan perencanaan adalah merencanakan kegagalan.

Terburu-buru atau tidak focus agaknya memang menjadi salah satu penyebab kegalalan dalam melaksanakan pembangunan sumberdaya manusia khususnya pola pemberdayaan,  selain terlalu berani bereksprimen pada teknologi yang keliatannya wah.  Dapat kita bayangkan bila induk ayam tidak focus pada proses pengeraman/penetasan telor dan selanjutnya apa yang akan terjadi bila suhu ideal menetasnya anak ayam kita rubah lebih tinggi sampai berkali-kali dengan mengatasnamakan efektifas waktu dan keterbatasan anggaran..??

Tentu tak berlebihan pula bila diumpamakan proses menetasnya telor;  pekerjaan memangkas alur tahapan dan waktu dalam proses pembangunan khususnya pola pemberdayaan masyarakat dapat dikategorikan menjadi perbuatan memaksa kelahiran kader dengan merobek kulit dari luar.  Tentu sulit mengatakan bahwa kader akan lahir dari proses seperti ini, yang ada Justru sebaliknya proses demikian tak lebih dari sekedar pekerjaan sia-sia yang hanya membuang-buang waktu, tenaga, dan dana.

Tentu tidak pas, bila teori pembangunan dibuat dengan berandai-andai, tetapi tentu lebih tidak bijak bila kita tidak bercermin pada kejadian-kejadian yang ada di sekitar kita salah satunya proses menetasnya telor menjadi unggas.  Pada ahirnya apapun yang dilaksanakan dari dan  untuk pembangunan khususnya pemberdayaan masyarakat mari memulai dari proses untuk mendorong dari dalam.  Wallahu alam


Post a Comment

Previous Post Next Post