Budaya Pasar dan Pengambilan Keputusan



Suatu selasa saya pergi ke pasar tradisional Liwa ibu kota Kecamatan sekaligus ibu kota Kabupaten Lampung Barat. Hal yang menarik perhatian penulis ketika itu adalah ritme pasar yang memaksimalkan segala sesuatunya untuk ber transaksi  baik barang atau jasa menggunakan uang sebagai alat tukar bagi orang yang ada.   Sebuah media yang sangat klop dengan definisinya bahwa pasar adalah tempat bertemunya para penjual dan pembeli.  


Mulai dari tukang parkir yang sibuk menawarkan  tiap jengkal lahannya menjadi tempat parkir mobil atau motor yang datang, berlanjut memasuki pasar di kiri dan kanan berjejer para pedagang yang dengan ramahnya menjajakan barang dagangannya, lalu tukang ojek yang saling berebut penumpang, para awak angkot yang sibuk menawarkan penumpang, para manol atau kuli panggul yang siap mengantarkan para pemilik barang sampai ojek atau angkot yang di tuju, sampai kepada para calon pembeli atau pengguna jasa yang hilir mudik dari satu tempat ke tempat lainnya untuk sekedar melihat-lihat mengamati dari dekat dan  atau  melakukan transaksi.


Sesuai dengan nama depannya pasar tradisi-onal maka  tradisi tawar menawar juga berlaku di pasar Liwa.. Ada barang atau jasa ada harganya, ada berbagai cara untuk meyakinkan pengunjung supaya mau memakai atau membeli barang dan jasa yang di tawarkan, ada tingkatan harga sesuai dengan jenis barang dan jasa yang di tawarkan.  Sesuatu yang melekat sampai kini dari kebiasan  atau budaya di pasar adalah; persediaan barang sedikit-permintaan banyak, maka harga barang akan naik (hukum permintaan). Penawaran barang banyak-yang meminati barang sedikit maka harga akan turun (hukum penawaran). Namun harga akhir dari barang dan jasa yang ada sangat di tentukan oleh kemampuan pembeli dan penjual dalam ber transaksi.   


Setelah pengunjung pasar mendapatkan apa yang mareka cari, satu demi satu mareka akan meninggalkan arena pasar dan pasar lambat laun akan sepi, lalu satu persatu pula ojek, angkot, dan pedangan yang menggelar dagangan tadi juga meninggalkan pasar.  Rutinitas pasar akan berulang lagi besok atau lusa ketika para pengelola pasar telah membuat system hari apa saja pasar akan buka, para pedagang butuh barang dagangannya terjual,` dan pembeli membutuhkan barang untuk melangsungkan hidup atau aktivitas sehari-hari.

Beberapa  hal yang nampak di arena pasar Liwa tentu bukanlah hal yang aneh dalam rutinitas di sebuah  pasar dan hampir dapat di pastikan terjadi juga di pasar-pasar tradisional lain di Republik ini.  Bahkan sebagai tempat bertemunya pedagang dan pembeli pasar juga banyak menyimpan petikan hikmah dan cerita yang tak habis-habisnya.


Sebagai salah satu yang kerap di jadikan perlambang kemajuan suatu daerah bentuk pasar juga kerap dijadikan tolak ukur. Minimnya jumlah pasar tradisional dan banyakya supermarket, mall atau grand mall maka dianggap maju dan modernlah daerah bersangkutan begitu juga sebaliknya, walau tidak semestinya begitu.


Begitu juga dengan ramai tidaknya pengunjung pasar kerap di hubungkan dengan daya beli yang akan secara langsung di kaitkan pada kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan di mana pasar berada.  Bahkan yang lebih ekstrim lagi mengkait-kaitkan harga barang di pasar bersangkutan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah itu.


Apapun yang hendak di ungkap dari pasar tentu boleh-boleh dan sah-sah saja begitu juga dengan peruntukanya . Tinggal bagaimana kita melihat dan memaknai setiap rutinitas yang ada, misalnya ada yang menjadikan pasar sebagai tempat rekreasi, mencari inspirasi, atau sekedar fantasi.  Persoalannya sejauh hal tadi berdampak positif bagi para pelaku pasar dan kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan, dan yang jangan sampai terlupakan tentunya hakikat dari setiap rutinitas menuju kehidupan yang lebih baik, baik dan baik lagi..

Namun ironis; yang kerap kita jumpai di pasar tadi terjadi juga pada dunia pengambilan keputusan kita, logika pasal yang semestinya untuk keadilan dan kesejahteraan berubah menjadi praktek budaya pasar yang mengharuskan setiap persoalan lebih megedepankan uang ketimbang keadilan dan kesejahteraan dan kian menjauhnya norma hukum yang sesungguhnya.. 


Jabatan strategis dan bersentuhan dengan hajat publik terkadang menjadi media layaknya pasar sebagai tempat bertemunya penjual dan pembeli produk kebijakan yang yang tidak pro rakyat, dan hanya berpihak kepada mareka yang kuat secara finansial dan kedudukan.


Perjuangan politik yang di tujukan untuk perjuangan hukum menuju keadilan dan kesejahteraan idealnya konsisten pada nilai-nilai hukum itu sendiri, justru diwarnai jual beli dengan memanfaatkan setiap kalimat,titik, koma, dan moment yang ada demi mendapatkan uang sebanyak-banyaknya bagi mareka bergelar oknum.   Begitu pula seterusnya perjuangan hukum yang berlandaskan pada norma dan etika nilai luhur bangsa kian tak menemukan arah seiring di masukkannya pemikiran-pemikiran utopis dari negeri ntah brantah.   Untuk mendukung aksi yang akan atau sedang di jalankan tak jarang "pabrik isu" pun di dirikan, sehingga gerakan-gerakan dan aksi yang sedang di lakukan akan terlihat lebih elegan, familier, demokrasi, dan pro rakyat. Nau zubillah  


Rakyat kerap di jadikan label dalam setiap transaksi yang dalam beberapa tahun terakhir cukup laku dan mahal bahkan sangat-sangat over target. Tawar-menawar harga pas kerap berahir dengan perpanjangan waktu  pada menit-menit yang sangat menentukan, semakin besar label yang terpasang (mengatasnamakan rakyat) maka akan semakin kencang pula tawar menawarnya. komunitas tak jarang  menjadi legalitas atas produk dan jasa tanpa pernah bisa di pangkas, pergulatan yang idealnya untuk menunjukkan komitmen  tak jarang berakhir dengan  berapa nilai rupiah yang di dapat.


Pembalikan kata-kata dan menghilangkan fakta yang sesungguhnya dan bermain pada tataran retorika; ada menjadi tidak ada, sekurang-kurangnya  menjadi boleh kurang, tidak penting menjadi penting, regulasi menjadi tiada arti semua di posisikan pada daerah yang samar-samar/abu-abu sampai kepada pembacaan kalimat sepotong atau celoteh-celoteh murahan yang  terindikasi  jika di tarik benang merahnya semua karena sedang bertransaksi dengan alat tukar atau imbalan uang layaknya kehidupan di pasar tadi.


Untuk mengemas kata yang pas penggunaan kata atau kalimat-kalimat dan prosesi pun di lakukan. Melalui media di buat sangat wah seolah kebenaran dan keadilan menjadi awal serta tujuan semua yang sedang di transaksikan nya. Begitu juga hotel-hotel, Vila-vila, rumah makan besar, tempat rekreasi di jadikan tempat pertemuan dan penjamuan atas nama politik untuk pribadi mengatasnamakan kepentingan rakyat. Jika saja tempat-tempat tadi bicara mungkin akan menjadi saksi betapa tawar-tawar itu juga terjadi bak di pasar t r a d i s i o n a l tadi sudah m e n t r a d i s i   d a n   m e n a s i o n a l. 


Potret mengganti logika pasal dengan budaya pasar sepertinya telah dan akan terus berlangsung sepanjang orientasi hasil lebih utama ketimbang proses di samping budaya yang lebih suka melihat kulit ketimbang isinya, cara pandang yang menganggap bahwa pintar ngomong lebih baik dari pada ngomong  pintar, serta membantu yang kuat (mempunyai banyak uang) lebih utama ketimbang membantu yang lemah, menghormati orang yang mempunyai uang dan fasilitas walaupun terindikasi hasil KKN lebih penting ketimbang menghormati orang baik. 


S
inergi antara ungkapan lisan dengan perbuatan oleh mareka-mareka yang duduk pada jabatan strategis dan bersentuhan dengan publik menjadi keharusan ketimbang melakukan himbauan berupa upaya-upaya simbolis/prosesi, iklan, spanduk atau poster.  Di samping itu yang tak kalah penting adalah bagaimana kedepan mengikis budaya pasar yang di terapkan  dalam setiap kebijakan publik kita sehingga perjuangan membela rakyat akan nyata di mulai dari perjuangan individu guna melahirkan perjuangan budaya yang menyeluruh ...Semoga

Post a Comment

Previous Post Next Post