Benarkah; Konsultan atau Pendamping Harus "Kurang Ajar"..?

 


Acapkali kita menjumpai suatu program pemberdayaan masyarakat yang dikelola oleh pemerintah bersama fasilitator/konsultan/pendamping atau apapun namanya pada suatu daerah atau suatau level  lamban, mandek, dan bahkan tidak bisa berjalan sama sekali.   Alhasil,  output yang didapat dari pelaksanaan program dimaksud  tidak sesuai dengan rencana yang telah  ditetapkan, waktu proyek pelaksaan yang molor bukan saja dalam hitungan bulan tetapi sudah tahunan, begitupun dengan target program dan  alur tahapannya sangat sedikit yang bisa direalisasikan.

 Bisa jadi banyak hal yang saling terkait dan menyebabkan tidak suksesnya program pemberdayaan yang dijalankan oleh aparatur birokrasi dan konsultan dilapangan lambat, mandek, dan bahkan tidak jalan sama sekali.  Sesobek kecil tulisan ini mencoba membahasnya dari sisi hal-hal yang biasanya menjadi latar belakang penyebab ketidakharmonisan antara ASN pelaksana program dengan fasilitator/Konsultan/pendamping program dilapangan yang kemudian berdampak  pada lambat dan mandeknya progres sebuah program pemberdayaan. 

 Bagi orang tertentu bisa jadi,  hal-hal yang disampaikan ini hanya urusan remeh temeh dan sangat sepele.   Namun jangan lupa, dari hal-hal sepele dan dianggap kecillah biasanya orang akan tersandung yang kemudian menimbulkan cidera,  kerapkali dari hal yang dianggap kecil dan terus berulang, tidak pernah terlesesaikan, menumpuk kemudian menjadi pemantik konflik lainnya yang lebih besar.

 Hal-hal yang penulis sampaikan ini sebagian dipetik dari curhatan beberapa sahabat anggota Ikatan Pelaku Pemberdayaan Masyarakat Indonesia (IPPMI) Lampung  yang hari-harinya mendampingi program pemberdayaan masyarakat dan berkolaborasi dengan birokrasi,  dan sebagian yang lain merupakan pengalaman langsung  penulis selama berkutat pada proyek pemberdayaan masyarakat dalam beberapa tahun terakhir.

 Dari beberapa hal sebagaimana tersebut diantaranya yaitu :  Pertama, Selera pemimpin yang lebih menyukai model pembangunan fisik; masih banyak dijumpai pemimpin di daerah setingkat Kepala Daerah, Kepala Dinas, atau Kepala Bidang yang lebih menyukai pembangunan fisik ketimbang non fisik, semisal Jalan, Talut penahan tanah, drainase, tugu, gapura, gorong-gorong, dll.  Dari pemimpin semodel ini tidak bisa diharapkan perhatian lebih untuk model pembangunan pemberdayaan masyarakat, baginya asal jangan mencelakakan karirnya ya jadilah, dengan alasan banyak urusan dan kemampuan terbatas pemimpin-pemimpin model ini biasanya akan menghindar untuk mengurusi program pemberdayaan masyarakat.  Disinilah awalnya, program pemberdayaan akan selalu dinomorduakan dan dampaknya akan berakibat pada rendahnya progres.     

Kedua, kebiasaan persentase belanja operasioanal birokrasi yang besar; kondisi ini  menyebabkan birokrasi bukan saja membandingkan antara satu program dengan program yang lainnya, tetapi pada akhirnya akan melahirkan skala pelayanan pada tingkatan yang sedang dijalankan dan bahkan lebih jauh membatasi bentuk pelayanannya kepada publik.  Kondisi ini akan membuat “putaran roda” program yang seharusnya kekuatannya sama antara sisi birokrasi dengan sisi konsultan menjadi tidak sama/hanya berjalan disatu sisi, sehingga program lambat mencapai tujuan yang telah direncanakan.

Ketiga, kualitas dan kuantitas ASN pelaksana program;  Secara kuantitas, jumlah ASN yang ditugaskan membantu pelaksanaan program terbatas, belum lagi pada prakteknya kerap dijumpai ada oknum ASN yang hanya numpang nama saja, dimasukkan didalam struktur pelaksana program tetapi faktanya hanya untuk kelengkapan administrasi belaka.  Belum lagi dari beberapa yang tercatat, dan  yang betul-betul melaksanakan tugas dan sesuai dengan tupoksinya hanya beberapa gelintir saja, sisanya ya sekenanya saja atau biar terlihat kerja padahal kerap keluar dari kontek alias tidak ngejalur.

Keempat, Ketaatan ASN pada pimpinannya yang berlebih; taat pada pemimpin tentu harus, tetapi tentu dalam koridor pelaksanaan tugas pokok dan fungsi kegiatan yang sedang dijalankan, bukan karena rasa takut kehilangan jabatan dan atau sekedar ABS (Asal Bapak Senang).  Pada prakteknya banyak kondisi lapangan yang tidak sesuai dengan apa yang tertulis di atas meja pimpinan,  sehingga membutuhkan keberanian dan kreatifitas ASN pelaksananya. Tetapi faktanya masih banyak dijumpai ASN yang berpikir bukan sebagai pelayan masyarakat, tetapi lebih mengedepankan melayani atasannya. Kondisi akan bertambah buruk bila nuansa politik praktis atau dukung mendukung calon kepala daerah memasuki arena program dengan berlindung dibalik tameng kebijakan lokal.

Kelima, Gaya dan Budaya Kerja; ASN yang menganut gaya dan budaya kerja serba tertata, serba terstruktur, dan taat azas. Jalur birokrasi yang panjang, semua urusan diselesaikan secara berjenjang baru kemudian kebijakan tersebut keluar ke public atau masyarakat (staf – kasi – kabid – Kepala Dinas dan kemudian kembali kebawah lagi), diluar daripada itu maka siap-siap si pelaku akan menyandang label “kurang ajar” sanksi social atau teguran keras atau pemindahan akan mampir padanya.  Ironisnya gaya-gaya ini bukan hanya harus dijalankan oleh internal ASN di dalam lingkup Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang bersangkungat, tetapi kerap juga harus dilaksanakan oleh orang luar (baca: Fasilitator/Konsultan/Pendamping) yang kebetulan sedang berada di ruang lingkup OPD bersangkutan.. Sehingga sekecil dan sebesar apapun urusan/persoalan yang akan di selesaikan harus berjenjang dari Staf yang membidangi baru naik, dan naik sampai ke level Kepala Dinas dan bahkan Bupati, bila sang Kepala Dinas mentok.    

Lalu bagaimana dengan fasilitator/konsultan/pendamping..? dengan tidak bermaksud menyembunyikan kekurangan fasilitator/konsultan/pendamping yang kerap mengemuka di lapangan semisal; soal masih rendahnya tingkat kehadiran dan masih rendahnya kompetensi, hal yang paling menonjol yang kerap menyebabkan kerjasama dalam bahasan ini tidak harmonis, karena sikap konsultan yang “Kurang Ajar”.   Suka memotong jalur birokrasi dan tidak taat azas, berjejaring dengan pihak luar tanpa izin, kerap menyebabkan ketersinggungan di kalangan ASN, terutama mareka yang ingin terlihat sempurna di muka atasannya.

“Kurang Ajar” nya konsultan kerapkali membuat laporan sang ASN ke atasannya kurang berharga, bahkan untuk hal-hal yang tidak dikuasai oleh sang ASN tetapi sangat dikuasai sang konsultan tak jarang seolah mempermalukan sang ASN.

Pertanyaannya haruskah fasilitator/konsultan/pendamping menjadi “anak baik” agar terlihat baik dan harmonis..? Maybe  Yes, Maybe No,  pilihannya tentu bukan sekedar terlihat baik, apalagi baik-baik saja, tetapi bagaimana nilai-nilai yang tercantum di dalam kontrak kerja fasilitator/konsultan/pendamping dapat direalisasikan, alur program berjalan sesuai tahapannya, dan membuminya nilai-nilai baik program dimasyarakat..  Jika yang terkahir yang diharapkan maka memang dibutuhkan Konsultan “Kurang Ajar” untuk melaksanakan program pemberdayaan masyarakat.  Bukankah tidak berjalannya program pemberdayaan selama ini salah satunya karena panjang birokrasi yang terlihat baik-baik saja.


Post a Comment

Previous Post Next Post