Pendamping Yang Terhormat



Pada sebuah pertemuan yang diselenggarakan oleh sebuah Perangkat Daerah (PD)  di Provinsi Lampung, ada pemandangan menarik dimana seorang Pendamping Pemberdayaan Masyarakat level Provinsi yang komplain kepada seorang kepala desa yang saat memberikan sambutan tidak menyebut pendamping. “Tadi dalam sambutan Bapak Kepala Desa saya tidak mendengar Pak Kades menyinggung  pendamping, kayaknya Desa ini sudah tidak butuh pendamping lagi”. Kata dia. 


Ucapan sang pendamping, sontak disambut  riuh oleh para hadirin yang hadir.  Dari kejauhan terlihat kepala desa yang dimaksud oleh sang pendamping mesam mesem ntah menyadari kekeliruannya ataukah bermaksud mengejek sang pendamping yang sudah berhasil dia buat tidak nyaman dengan gayanya. 


Pertanyaannya apakah memang harus seperti itu..? kehadiran pendamping harus di elu-elukan, disambut dengan karpet merah, dan disebut dalam setiap sambutan layaknya seorang bawahan yang sedang menjamu atasannya, atau layaknya Kepala Desa yang sedang memberi sambutan saat seorang Camat atau Bupati berkunjung ke desanya, dengan mengucapkan “Yang Terhormat”, dan banyak lagi potret pertemuan yang menampakkan adanya relasi kuasa antara yang berkuasa dengan yang sedang di kuasai.

Lalu apakah hal yang dilakukan sang pendamping sudah tepat ataukah ini bentuk peodal  semata dan ketidakmampuan sang pendamping dalam mengartikan tugas pokok dan fungsinya,,?  Untuk menilai  apa yang dilakukan oleh pendamping tersebut tepat atau kurang tepat, beberapa pointer hasil diskusi yang dilakukan oleh Staf Lapangan  Program Pembangunan Irigasi partisipatif yang terintegrasi Kabupaten Pesawaran beberapa waktu setelah kejadian di Provinsi tersebut agaknya dapat dijadikan Evaluasi dan Refleksi diantaranya yaitu: 


Pertama Santun/Berbudaya; Dalam melakukan kegiatannya sang pendamping harus selalu berpedoman pada budaya dan etika setempat, tidak memaksa dan tidak menunjukkan yang paling berkuasa dan bertindak seolah-olah dialah yang paling benar dan idenya yang paling cocok untuk dilaksanakan.  Jika tidak ini maka akan itu, dengan nada yang ditinggi-tinggikan agar memunculkan rasa takut di masyarakat dan mengesankan bahwa  sang pendamping berwibawa.


Kedua Berstrategi; Dalam melakukan kerja-kerjanya pendamping harus berstrategi, tidak kaku, dan tidak selalu ingin instan, penuh senyum dan canda tawa yang intinya selalu menyenangkan masyarakat yang ia dampingi.


Ketiga Selalu Paham Posisi; Pendamping harus paham posisi bahwa kehadirannya di tengah masyarakat bukan sebagai pemimpin politik yang harus di elu-elukan, bukan sebagai atasan yang selalu harus dilayani, bukan sebagai ustad yang harus  selalu di cium tangannya.  Pendamping harus paham bahwa kehadirannya sebagai pendamping yang hanya mendampingi, kawan belajar, lawan diskusi, kawan berpikir dan menggandeng tangan masyarakat agar melalui jalan-jalan yang mudah dan tidak melanggar aturan, semua cara dibuat semudah mungkin dan semua kebijakan yang bersifat general diterjemahkan kedalam bahasa dan kondisi setempat.


Keempat Selalu Memetakan Siapa yang Ada di Depannya;  Seorang pendamping dalam melakukan tugas-tugasnya dilapangan dimanapun dia berada, harus selalu memetakan siapa yang ada di hadapannya, hal ini penting dilakukan agar pendamping tidak ofside dan selalu ngejalur sesuai dengan tupoksi yang seharusnya ia lakukan, pendamping ya melakukan pendampingan bukan untuk tebar pesona atau menjadi beban pemerintah desa dan atau masyarakat yang didampinginya dengan banyaknya gaya dan permintaan yang tidak masuk akal diluar koridor.


Kelima Pawang Manusia; Pendamping adalah pawang manusia yang berbeda dengan pawang binatang, yang diperkenankan menggunakan cambuk bila binatang yang ia dampingi tidak nurut, atau pawang hujan yang hanya berkomat kamit agar turun hujan dan ruang dimana sang pawang berada menjadi zona basah.  Menjadi pawang manusia harus mempunyai kebijakan dan cinta.. Tidak akan ada perubahan pada pendampingan yang dilakukan dengan hanya berkata-kata tanpa memberi contoh, tidak akan ada penghormatan yang sesungguhnya dari manusia yang diselimuti rasa takut atau dislimuti rasa tidak percaya.


Keenam Banyak Mendengar dan Tidak Menggurui; Seorang pendamping harus menjadikan telinga sebagai panca indra utama dalam memberdayakan masyarakat, pendamping harus banyak turun ke masyarakat dan mendengarkan apa yang menjadi permasalahan mareka, menceramahi masyarakat berharap agar terlihat eksis bermutu dan berbobot adalah kerja sia-sia, karena masyarakat tidak membutuhkan itu dan tak jarang untuk solusi pun sebenarnya mareka sudah punya,  masyarakat hanya butuh teman untuk menambah percaya diri mareka, membantu memberi penjelasan yang sifatnya umum kedalam bahasa sehari-hari mareka, dan meyakinkan bahwa apa yang mareka lakukan akan didukung oleh negara bukan sebaliknya mareka akan disalahkan dan dituduh pelanggar hukum.


Ketujuh Menjadikan Pengalaman Guru Terbaik;  Seorang pendamping dalam melakukan pendampingan harus selalu belajar dan menjadikan pengalaman guru terbaik, pengalaman pribadi selama menjadi pendamping dimanapun dan kapanpun harus selalu diambil Ibroh/pelajarannya untuk dijadikan dasar dalam mendampingi pada pase berikutnya. Pengalaman akan membuat pendamping mampu mendampingi masyarakat dengan segala persoalan dan situasi, dan pengalaman pulalah yang akan membuat pendamping mempunyai nilai lebih dimata masyarakat yang didampinginya.     


Kedelapan Taat Azaz:  Dalam melakukan pendampingan, seorang pendamping haruslah selalu berpatokan pada Kredo Fasilitator yaitu :  pergilah kepada masyarakat - tinggalah bersama mereka - cintailah mereka-layanilah mereka - belajarlah dari mereka - belajarlah sambil belajar bersama mereka - mulailah dengan apa yang mereka miliki - buat rencana bersama mereka - ajarilah mereka dengan memberi contoh.


Dari delapan point diatas dapat pula disampaikan bahwa.  Ada “ruang sunyi” yang harus selalu di huni dan tidak boleh ditinggalkan oleh pendamping.  Melalui ruang-ruang sunyi inilah pendamping selalu meningkatkan kapasitasnya dan mengamalkan ilmu tersebut kepada yang didampinginya dengan memberi contoh kepada aktor terpilih yang ia dampingi (baca:  kader) yang akan maju ketengah gelanggang  bagaimana  berjuang untuk rakyat yang sesungguhnya.


Melalui ruang hampa pujian tersebut, pendamping harus mampu melantunkan puja-puji kepada Illahirobbi tanpa henti, layaknya seorang hamba yang sedang melakukan itikab yang jauh dari hingar bingar duniawi, untuk mempertebal ketaqwaan, mengharapkan pengampunan dari yang maha kuasa.


Didalam beberapa  pandangan yang disampaikan oleh beberapa kawan diluar diskusi,   bahwa pendamping ibarat orang bersedekah yang harus ikhlas,  saat tangan kirinya berbuat, tangan kanan tidak boleh tahu, sehingga disaat pekerjaan selesai tidak ada lagi kalimat menghitung;  jika tidak karena saya/kami kalian tidak akan begini, jika bukan karena kami dana yang mengucur ke desa kalian tidak akan sebanyak ini, dan lain-lain. 


Di era digital seperti saat ini, masyarakat pun akan dengan sangat mudah menilai tentang siapa dan bagaimana  karakter pendamping mareka, lambat laun masyarakat akan mengeluarkan “kartu” hasil penilaian atas kinerja pendamping yang kini mendampingi mareka.  Apapun kartu yang di keluarkan masyarakat itulah cerminan pola pendampingan yang telah dilaksanakan seorang pendamping, dan hanya pendamping yang memenuhi kriterialah yang akan dikenang dan mendapat posisi terhormat di masyarakat.  Jika demikian dapat disimpulkan bahwa eksistensi pendamping hadir karena diberi atau atas kalungan masyarakat bukan diminta apalagi dengan cara memaksa.  Selamat Mendampingi       

 

Post a Comment

Previous Post Next Post