Pemimpin Itu Bicara Makna


Seperti sebuah kelaziman seorang pemimpin banyak bicara dan atau banyak berpendapat/komentar baik melalui lisan maupun tulisan.  Begitulah ia bekerja.  Sesuatu yang berbeda dengan seorang anak buah.  Pemimpin apa saja, kapan saja, di tingkatan dan lini mana saja.  Entah saat rapat staf dan anggota, diskusi, atau bargaining sesuatu.  Terlebih ketika mengambil keputusan bagi organisasi dan kelompok, atau ketika ia berpidato di depan khalayak. Berbicara bagi pemimpin adalah sesuatu pandangan yang umum.


Bicaranya pemimpin idealnya bukan hanya untuk mengurai maksud, atau soal arti semata, tetapi omongan yang sarat makna.  Bukan berarti tak suka bercanda, ha.ha.hi.hi .hu.hu..  Ia tidak usah banyak bicara.  Apalagi memberi statement terhadap hal di luar kewenangan, bukan level, atau jauh dari koridor tugasnya.  Sebab yang demikian akan percuma dan tidak berguna.  Bahkan akan menimbulkan polemik dan pro-kontra, lalu mengotak-ngotakkan umat.


Ketika seorang pemimpin tidak menjawab tentang sesuatu, bukan berarti ia tidak paham jawaban, atau tak mengerti persoalan, banyak alasan mengapa ia membisu.  Sebab itu, tidak semua permasalahan harus dijawabnya,  tidak semua adegan harus diberi ulasan.  Diamnya pemimpin ialah pilihan sikap yang ditampilkan.  Jika ibarat kicauan burung, sesuatu yang kicauan merdu di dengar, lembut dirasakan, sejuk laksana angin pegunungan.  Maka begitu juga idealnya bicara pemimpin akan membuat tentram berbagai kalangan, menimbulkan rasa lega semua lapisan.  Itulah gerak laku ikhlas menyatu, antara lisan dan perbuatan (komitmen).    Bukan sebaliknya, membuat sebagian kecil merasa berkuasa terbahak-bahak sedangkan yang lainnya mengernyitkan dahi sambil mengurut dada, di satu sisi sang pemimpin tenggelam dalam pujaan terus dan terus bicara seenaknya.


Terkadang kita jumpai prilaku yang ditampilkan oleh pemimpin adalah sikap “pagi kedelai sore tempe” alias mencla-mencle.  Janji sana janji sini tak pernah di tepati, dengan kelompok A bicara B dan dengan kelompok B bicara A dan seterusnya, memimpin bawahannya dengan gaya MM (memberi perintah dan marah-marah), membina bawahannya dengan gaya MH (marahi dan habisi), dengan rekan sejawat atau mitranya  dengan gaya NP (no problemo alias selalu menganggap enteng), dan menerapkan gaya hidup PS (pura-pura  senang).  Lagi-lagi semua dilakukan untuk popularitas semata, dan yang lebih miris lagi karena untuk menutupi kelemahan dan ketidakmampuannya.

 

Satu irama bukan tak boleh beragam nada dan bila ada bias kemana-mana silakan saja.  Itu memang sudah warna dunia.  Menjadikan khalayak jadi pribadi-pribadi yang yang satu warna suatu hal yang mustahil karena setiap jiwa membawa  ukuran yang berbeda-beda.  Sudah menjadi sunatullah bila ingin bergerak maju kaki kiri dan kaki kanan harus bergantian di depan dan belakang.  Hakekatnya yang terpenting sama-sama bergerak dan bukan pada kesamaan gerak (keseragaman). 


Orientasi pemimpin berada pada kepentingan yang lebih besar, bukan seperti orang kebanyakan.  Lalu keras memekik di tengah kegamangan jiwa pengikutnya: Haq..haq..haq!! Mengejutkan dan marah suatu yang lumrah, tetapi tak sekedar menghambur bara, tapi menggali, lalu mengurai kusut benang keraguan.  Meraih yang haq (benar), bukannya mau menang sendiri dan tidak cuma benarnya sendiri.


Pemimpin berjuang bukan untuk satu-dua orang, kelompok atau golongan, serta warna atribut.  Pikirannya jatuh pada semua kalangan.  Bahkan mengucur peluh pada kesunyian.  Sepi ing pamrih rame ing game.  Kerja tidak mau terlihat tapi hasilnya luar biasa-dinikmati banyak orang.  Menjauhi riya.  Menjaga jarak dari puja-puji dunia.  Tutur katanya senantiasa bermanfaat.  Bukan menimbulkan resah di tengah-tengah masyarakat.  Tidak sekali memecah belah umat, apalagi Cuma untuk kepentingan sesaat.

 

Pemimpin itu menguasai makna.  Artinya yang dituju bukan Cuma seuntai maksud dari kalimat, bukan pula penghias kulit sebuah kosa, melainkan bicara pada tataran hakiki-kemudian temukan serta tentukan solusi.  Tak perlu mengobral kata, tapi mengurai inti masalah-memecah pokok persoalan.  Kemudian  ia berbuat, berbuat, dan berbuat (doing) demi keselarasan, keseimbangan serta kesejahteraan umat.  Semoga

 

Tulisan ini pernah dimuat oleh HU Lampung Post pada Jum’at, 27  Maret 2009. 

Post a Comment

Previous Post Next Post