Sang Bumi Ruwa Jurai : Kearifan Lokal

 



Otonomi daerah  mengarahkan dan  memberikan   keleluasaan   setiap pemerintah   daerah kabupaten/kota  dan  aktor-aktor di  daerah  untuk  memunculkan    aturan  dan  program-program unggulan  yang  berbasis   kedaerahan,  waktu  berjalan,  berbagai  acara, prasasti,  simbol,  moto,  atribut falsafah atau  hanya  sekedar nama berbau  kedaerahan   dengan  berbagai  kemasan   bermunculan menghiasi  mengisi ruang- ruang   pembangunan  setiap  kabupaten/kota. 


Pembangunan dengan pendekatan kedaerahan   tentu  sangat  menggembirakan. Bukan saja karena sekian lama kita di jejali muatan yang diadopsi dari luar yang bersifat top down yang terkadang tidak kita mengerti dan ternyata kemudian tidak berdaya menahan terpaan badai krisis.  Bagaimana pola botton up dan penggalian kearifan lokal yang bersandar pada kondisi masyarakat, kondisi alam, letak geografis, dan tentunya juga produk-produk unggulan lokal yang secara fakta dimasa lalu telah berjaya, dimunculkan kembali sebagai dasar dan strategi dalam pembangunan di daerah.


Sayangnya,  pemunculan   nilai-nilai  lokal yang bertumpu  pada kearifan  lokal  belum  menyentuh substansi yang didasarkan   pada kebutuhan,  tetapi  lebih kepada  keinginan  semata.  Bahkan beberapa episode  pemunculan   nilai-nilainya   tersebut  terkesan  hanya untuk  "kepentingan   politis jangka   pendek  semata"  (kalau  tidak  mau di katakan  hanya  sekadar  proyek).


Beberapa hal setidaknya    dapat  menjadi  renungan  untuk merefleksikan   hal tersebut:


Pertama,   belum  ada study  secara  mendalam  oleh pemerintah  daerah dengan    berlandaskan  sejarah tentang  nilai-nilai   lokal  yang kemudian  terpublikasi,   diyakini,  serta disetujui  masyarakat  untuk dijadikan   acuan  dalam  melahirkan   aturan  dan program  pembangunan   tersebut.   Pertanyaannya, apakah  betul  hal tersebut  mengadopsi   nilai-nilai  di masyarakat  sesuai dengan  namanya (Lampung)   atau hanya  sekadar  nama tempelan  tanpa  "roh" (dalam arti substansi, filosofis, sosiologis, dan kultural)?


Kedua,  aturan  dan regulasi  yang dibuat  (peraturan  daerah)  dan program  yang sedang  dijalankan terkesan  berubah  bajunya  saja.  Sedangkan  praktek  penerapannya sebagian  besar masih  tetap sama  dengan  aturan  dan program-program   sebelumnya  yang bukan merupakan  produk  sebelum era otonorni,  misalnya  LKMD menjadi  BHP/LHP/Baperdes/BPD dan lain-lain.

 

Ketiga,  program  pembangunan   yang beraroma  kedaerahan  ironisnya  muncul  di awal sekali  atau menjelang   berakhimya   kepemimpinan   sang kepala  daerah dengan  berbagai  argumen  yang terkadang  juga  kontroversial.   Se but saja contoh  tentang pro-kontra  pembangunan  Tugu Siger di Bakauheni-Lampung Selatan.


Keempat,  program  yang dijalankan  kerap lenyap seiring berakhirnya  kepemimpinan  sang aktor, padahal,  idealnya  sebuah  program,  harus  sistemik dan sustainable. 


Seiring  perwujudan  kesejehteraan   rakyat dan upaya mengejar ketertinggalan di berbagai bidang, apa pun yang akan dibuat  pemerintah   daerah,  selain ditujukan  men-support  visi dan misi hendaknya  juga  didasarkan  kebutuhan  daerah yang bersangkutan.  Oleh karena itu  sangat disayangkan  jika  pernunculan  nilai-nilai  lokal hanya menjadi ajang praktek penerapan  strategi politik jangka  pendek  semata  untuk memperoleh dukungan  masyarakat  dalam melanggengkan kekuasaan politik.

.


Otonomi   daerah  yang bercirikan desentralisasi   dalam pembangunan   daerah  tentunya bukanlah mimpi,  sehingga  menjadi sesuatu yang sulit diwujudkan. Tapi, bukan pula sesuatu  yang sangat gampang seperti  membalik   telapak  tangan  dengan  hanya bermain  di tataran kalimat, simbol,  dan prasasti sekalipun.


Kearifan  lokal tentunya adalah upaya pemunculan nilai-nilai luhur masyarakat lokal berikut turunannya yang tak lain dan tak  bukan guna terciptanya kesejahteraan bagi seluruh masyarakat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang demokratis dan berkeadilan sosial.


Pemunculan  nilai-nilai  lokal  bukan untuk peminggiran masyarakat lokal atau sebaliknya, peminggiran penduduk pendatang (pribumi dan non pribumi), pelernbagaan kekerasan terhadap perernpuan, eksploitasi sumber daya alam secara berlebih, penguasaan terhadap kelompok tertentu, atau bahkan struktur lain dari pelanggaran HAM, akan tetapi bagaimana  nilai yang sedang dan akan dilaksanakan menjawab persoalan-persoalan masyarakat (miskin, pcndidikan  rendah, terisolasi, maraknya KKN, dan Iain-lain).


Kearifan lokal bukan hanya milik pemerintah daerah. Kearifan lokal adalah milik seluruh masyarakat yang akan muncul seiring meningkatnya partisipasi masyarakat lokal dan masyarakat di daerah yang bersangkutan secara keseluruhan.


Selanjutnya partisipasi akan muncul apabila ada dukungan dari pemerintah daerah, setidaknya dengan melaksanakan  beberapa hal yaitu :


Pertama; pemerintah daerah mendorong dan atau memfasilitasi  terbentuknya perangkat untuk keterwakilan dan partisipasi yang lebih besar dari berbagai kepentingan di daerah.


Kedua; adanya ketegasan dan kejelasan sejauhmana terdapat batasan bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan kekuasaan dan fungsi-fungsinya, Sehingga tidak ada keraguan bagi masyarakat mana pun untuk berkiprah dan berpartisipasi serta menghilangkan kesan seolah- seolah sesuatu ada dan eksis untuk menjadi tink tank pemerintah daerah atau aktor yang sedang berkuasa.


Ketiga;  adanya dorongan dari pemerintah daerah untuk melakukan studi-studi secara mendalam dan berkelanjutan tentang nilai-nilai lokal yang senantiasa menempatkan harkat dan martabat manusia di atas  segala-galanya,    ramah terhadap lingkungan (alam), tidak bias gender, tidak sektarian tetapi untuk  semua lapisan masyarakat (bukan  karena agamanya, sukunya, dalom-nya, suttan-nya. raja-tiyuh atau ketokohannya) Sehingga, apa pun yang dihasilkan nantinya bukan hanya sekadar jargon dan bersifat sesaat, tetapi benar-benar menjadi dasar yang bisa diterima dan mengayomi semua lapisan masyarakat.


Keempat; kerja sama antara pemerintah daerah dan masyarakat sekitar dalarn proses formulasi dan implementasi kebijakan. Sehingga tidak ada hal yang terputus  atau tertinggal ketika regulasi dan atau program yang bersangkutan direalisasikan.


Kelima; kontrol atas sumber daya oleh pernerintah daerah.  Hal  ini lebih dimaksudkan pada memunculkan rasa aman bagi masyarakat  karena tersedianya sumber daya sebagai satu prasyarat keberlangsungan kehidupan.

 

Keenam; adanya pelatihan dan pendidikan untuk unit pemerintahan di daerah tentang kearifan lokal.  Hal ini sebagai  Iangkah untuk meningkatkan  profesionalisme kalangan  birokrasi di tingkat bawah  terutama  bagi rnareka yang senantiasa berhubungan   langsung dengan  masyarakat atau rnemberikun  pelayanan   langsung kepada  masyarakat.   Dengan begitu, masyarakat yang mendapat pelayanan akan merasa  aman, nyaman,  dan  yang terpenting, kurang profesionalisme aparatur kerap memunculkan aparat yang arogan dan mengedepankan ego semata yang berujung pada sikap apatis masyarakat.


Dari keenam pon ini, diharapkan akan sangat membantu menumbuhkan partisipasi masyarakat, sehingga nilai-nilai lokal yang kemudian tercermin dalam setiap tingkah laku terutama saat pencetusan ide akan mengalir dengan sendirinya,


Resistensi terhadap penerapan otonomi daerah, terutama  menguatnya  nilai-nilai  lokal yang dipandang mengancarn keutuhan  Negara Kesatuan  Republik  Indonesia  oleh sebagian  kalangan adalah salah satu dampak pemunculan nilai-nilai  lokal yang tidak utuh; hendaknya disikapi secara arif dan bijaksana dengan tindakan nyata


Peribahasa yang mengatakan "Di mana bumi dipijak  di situ langit dijunjung"  hendaknya juga jangan  dimaknai  secara sempit oleh masyarakat  (adat istiadat semata), tetapi lebih dari itu yaitu untuk keberlangsungan   kehidupan yang di dalamnya tercermin dalam kehidupan  sosial, ekonomi, hukum, dan politik yang terbungkus  dalam sebuah nama yaitu pembangunan.  


Pada akhimya, ketika otonomi daerah telah sepenuhnya  dilaksanakan  dan setiap masyarakat  memetik  hasilnya, masyarakat dari berbagai  latar belakang  agama, suku, dan etnis dengan  bangga akan mengatakan: " Bumiku Bumi Lampung, Sang Bumi Ruwa Jurai". Semoga.



Tulisan ini pernah  dimuat oleh HU Lampung Post pada Sabtu, 7 Januari 2006


Post a Comment

Previous Post Next Post