Pasca
runtuhnya rezim orde baru dan memasuki era reformasi, Perencanaan partisipatif menjadi jargon dalam
tata kelola pemerintahan yang demokratis dan inklusif. Istilah ini diharapkan
menjadi antitesis dari pola tata pemerintahan sebelumnya dengan mengedepankan proses di mana pelibatan masyarakat
secara aktif dalam perumusan kebijakan, pembangunan, dan evaluasi program yang
menyangkut kehidupan mereka.
Seiring kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi, tentunya hal ini merupakan peluang besar
untuk meningkatkan partisipasi publik tentunya dengan memanfaatkan platform
digital. Namun, realita di lapangan sering kali tidak seindah harapannya.
Beberapa fakta menyeruak memperlihatkan bahwa pemanfaatan aplikasi digital tak
jarang baru sebatas simbolis di tengah maraknya penggunaan system digital
kalaupun tidak mau dikatakan baru sebatas proyek untuk tidak terlihat ada
kegiatan dan untuk menyerapkan anggaran dan belum pada keterbukaan yang
sesunggunya.
Dengan
melihat dua sisi yang sepertinya sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan
antara satu dengan yang lainnya, di sini saya akan mencoba repleksi antara realita yang terjadi di lapangan dan
harapan ideal yang saya bayangkan atau di bayangkan oleh banyak pihak.
A.
PELUANG
Saat ini transformasi
digital telah mengubah hampir semua aspek kehidupan, tanpa terkecuali cara
masyarakat berinteraksi dengan pemerintah. Keberadaan media sosial, website,
saluran pengaduan resmi pemerintah mulai dari tingkat desa sampai ke pemerintah
pusat telah menghiasi hampir disetiap sudut kota maupun desa.
Berbagai
platform digital lainnya memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mendapatkan
informasi tentang pelaksanaan program yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah
mulai dari tingkat terendah sampai kepada tingkat tertinggi, yang di dalamnya
juga tak jarang menyertakan masyarakat luas ikut serta dalam menyusun prioritas
pembangunan pada tahun berjalan tentunya dengan memanfaatkan teknologi digital.
Partisipasi
yang sebelumnya hanya bisa dilakukan secara fisik, kini bisa melalui genggaman
tangan. Forum-forum Musrenbang (Musyawarah Rencana Pembangunan) yang dulu hanya
melibatkan segelintir tokoh masyarakat atau elit lokal, kini secara teori dapat
diakses oleh siapa saja, kapan saja, dan dari mana saja.
Peluang ini
sangat besar terutama dalam konteks negara seperti Indonesia, yang memiliki
wilayah luas dan keragaman masyarakat. Platform digital bisa menjadi solusi
keterbatasan fisik dan geografis dalam menjangkau partisipasi masyarakat yang
tersebar di berbagai daerah.
Lebih dari
itu, digitalisasi juga menjanjikan transparansi dan akuntabilitas. Dengan
sistem yang terdokumentasi secara otomatis dan mudah diakses, publik dapat
memantau proses perencanaan, menelusuri jalannya pengambilan keputusan, hingga
mengawal implementasi kebijakan.
B.
REALITA DI LAPANGAN
Beberapa
Fakta, yang kerap ditemukan di lapangan semakin menguatkan asumsi saya pada
pembukaan tulisan ini; janji tak semanis
madu, teori tak seluruhnya terlaksana, ucapan pemimpin di podium tidak semuanya
sesuai kenyataan, yang pada kesimpulannya sangat jelas terlihat ada kesenjangan
antara harapan dan kenyataan yang tandai dengan beberapa hal diantaranya yaitu
:
a.
Keterbatasan
Ketimpangan
akses dan literasi digital sangat nampak di masyarakat, hal ini di tandai
dengan tidak semua semua eilayah di republik ini mempunya jaringan koneksi
internat yang baik, sekedar agar bisa mengirimkan pesan singkat lewat WA ada
masyarakat di daerah yang harus berpindah tempat, apalagi jika harus membuka
youtube atau melalukan zoom meeting layaknya para pejabat di pusat. Belum lagi
kalau kita bicara kemampuan menguasai platform digital yang hanya di kuasai
oleh sebagian besar Generasi Z tahun kelahiran 1997–2012 dan Generasi Alpha tahun kelahiran 2013–sekarang,
yang berbanding terbalik dengan sebagian besar mareka yang terlibat dalam hiruk
pikuk perencanaan pembangunan yaitu Generasi X tahun kelahiran 1965–1980 dan generasi Generasi Milenial (Y) tahun
kelahiran 1981–1996.
Belum lagi
kalau bicara kondisi ekonomi, dimana masyarakat kelas bawah yang menjadi lapis
terbanyak dalam komposisi jumlah penduduk saat ini di hadapkan pada pilihan harus
memenuhi kebutuhan primer terutama sandang dan pangan terlebih dahulu ketimbang
kebutuhan sekunder yaitu untuk membeli pulsa.
Akibatnya,
partisipasi digital cenderung tidak ada, kalau pun ada hanya didominasi oleh
kelompok masyarakat tertentu, terutama kelas menengah kota yang relatif lebih
melek teknologi. Masyarakat di daerah terpencil, lansia, dan kelompok marginal
kerapkali tertinggal atau bahkan tidak terlibat sama sekali. Ini menyebabkan
terjadinya “digital divide” yang justru lebih memperkuat ketimpangan dalam
pengambilan keputusan public menjauh dari teori yang di dengung-dengungkan.
b. Partisipasi
Semu
Seperti yang
di bahas di atas bahwa forum online sering kali di adakan, namun tak jarang
bahkan sebagian besar hanya menjadi formalitas sematan. Partisipasi masyarakat tidak sungguh-sungguh
diakomodasi dalam pengambilan keputusan, “penelantaran ide/gagasan” masyarakat
malah lebih masif terjadi dengan berlindung di balik teknologi. Ada
kecenderungan forum digital menjadi ajang pelaporan semata, bukan ruang
deliberatif yang bermakna.
Dalam banyak
kasus, yang aktif di forum-forum digital adalah tokoh-tokoh lama yang memang
sudah dekat dengan kekuasaan. Proses digitalisasi tidak mengubah struktur
relasi kekuasaan, hanya memindahkannya ke medium baru yang lebih massif, dalam kondisi demikian yang berlangsung bukan
proses demokratisasi, melainkan proses digitalisasi oligarki. Lagi-lagi
partisipasi hanya di dominasi oleh kaum elit.
c.
Kompleksitas Teknologi dan Keamanan Data
Platform
digital sering kali dibuat tanpa mempertimbangkan pengalaman pengguna (user
experience). Banyak warga kesulitan mengakses, mendaftar, atau memahami alur
penggunaan. Ini membuat partisipasi menjadi tidak nyaman dan memicu keengganan
masyarakat.
Masalah lain
adalah soal keamanan data. Dalam berbagai platform pengaduan, warga diminta
memberikan identitas lengkap. Namun, perlindungan atas data pribadi masih
lemah. Tak jarang, data tersebut bocor atau digunakan tanpa izin, membuat warga
merasa terancam dan enggan berpartisipasi.
d.
Minimnya Tindak Lanjut
Partisipasi
yang baik menuntut adanya mekanisme umpan balik. Namun, pada banyak kasus,
setelah warga menyampaikan aspirasi melalui platform digital, tidak ada
kejelasan tindak lanjut. Aspirasi hanya berakhir sebagai data mati.
Hal ini
menciptakan rasa frustrasi dan ketidakpercayaan publik. Partisipasi digital pun
menjadi kegiatan simbolik yang tidak berdampak nyata terhadap kebijakan.
C.
MENUJU PARTISIPASI DIGITAL YANG BERMAKNA
Harapan untuk
mewujudkan perencanaan partisipatif yang inklusif dan efektif melalui teknologi
digital tetap terbuka lebar. Tantangannya adalah bagaimana membangun sistem
yang tidak hanya canggih secara teknologi, tetapi juga adil secara sosial dan
inklusif secara politik dengan senantiasa memperhatikan beberapa hal
diantaranya yaitu :
a. Desain
Inklusif dan Aksesibel
Platform
digital harus dirancang dengan memperhatikan keterbatasan pengguna. Bahasa yang
digunakan harus sederhana, interface ramah pengguna, dan tersedia dalam
berbagai bahasa lokal. Selain itu, penting untuk tetap menyediakan jalur
partisipasi alternatif secara offline agar tidak terjadi eksklusi terhadap
kelompok masyarakat tertentu.
Pemerintah
harus proaktif membangun infrastruktur digital di daerah-daerah tertinggal dan
melakukan pelatihan literasi digital bagi warga. Ini bukan hanya investasi
teknologi, tetapi juga investasi demokrasi.
b.
Mendorong Budaya Deliberatif
Partisipasi
tidak cukup hanya dengan mengumpulkan aspirasi. Harus ada ruang deliberasi yang
memungkinkan warga berdiskusi, menimbang pilihan, dan terlibat dalam proses
pengambilan keputusan secara kolektif. Forum daring seharusnya dilengkapi
dengan fitur interaktif, seperti voting, komentar terbuka, dan forum diskusi.
Selain itu,
moderator dari pihak independen atau CSO (civil society organization) dapat
dilibatkan untuk menjaga agar diskusi tidak didominasi kelompok tertentu dan
tetap fokus pada substansi.
c.
Transparansi dan Umpan Balik
Setiap
masukan masyarakat harus ditindaklanjuti dan diberi umpan balik secara terbuka.
Misalnya, jika usulan warga ditolak, maka perlu ada penjelasan alasan
penolakannya. Jika diterima, maka harus ditunjukkan dalam dokumen perencanaan
dan proses implementasinya. Sistem ini akan membangun kepercayaan publik dan
mendorong keterlibatan berkelanjutan.
d.
Perlindungan Data dan Etika Digital
Pemerintah
perlu menjamin keamanan dan privasi data warga dalam setiap bentuk partisipasi
digital. Hal ini memerlukan regulasi perlindungan data pribadi yang kuat, audit
independen terhadap platform digital pemerintah, dan peningkatan kesadaran
publik soal hak-hak digital mereka.
Etika
digital juga perlu dikembangkan, termasuk soal verifikasi identitas, penanganan
hoaks, dan pencegahan disinformasi dalam forum publik.
D.
HARAPAN
Perencanaan
partisipatif di era digital adalah peluang besar sekaligus tantangan kompleks.
Di satu sisi, teknologi memberi harapan untuk memperluas ruang demokrasi dan
mempercepat keterlibatan warga. Di sisi lain, ada banyak tantangan struktural,
teknis, dan budaya yang harus diatasi agar partisipasi tersebut benar-benar
bermakna.
Selain
problematika digitalisasi yang masih menghantui proses tata kelola pemerintahan
saat ini, tak salah juga menengok kebelakang akan beberapa hal yang yang
menjadi prasarat perencanaan partisipasi yang saat ini sudah mudah sepi dari
bahasan yaitu :
a.
Pemetaan Sosial
Kegiatan ini tentu untuk
mengidentifikasi seluruh kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, terutama
mengindentifikasi kelompok rentan dengan menggunakan Teknik PRA (Participatory Rural Appraisal) dan FGD yang tentunya harus di
fasilitasi oleh para pendamping lapangan mulai dari tingkat komunitas, RT dan
RW.
b.
Pendidikan dan Sosialisasi
Memberi pemahaman tentang
hak dan peran setiap warga tentu tak boleh berhenti hanya karena banyaknya
matrik dan form isian yang di bagiakan kepada warga, peran serta publik dalam
demokrasi tentu terwakili hanya dengan menjawab kuesioner yang di bagikan oleh
pada pemegang kebijakan, substansi tentang hak dan kewajiban masyarakat sebagai
warga negara harus selalu disampaikan sebagai pupuk penyubur demokrasi yang
sesungguhnya.
c.
Penerapan Regulasi Desa
Penerapan regulasi desa
seperti: perdes tentang perencanaan partisipatif, pemberdayaan perempuan dan
perlindungan anak, serta perlindungan kelompok
rentan selain harus terbit juga harus
dilaksanakan. Desa-desa yang
belum dan atau tidak menerapkan ragulasi dimaksud ada baiknya masuk dalam
katagori pengawasan.
d.
Pelatihan Aparat Desa
Meningkatkan kapasitas
mereka dalam memfasilitasi partisipasi dengan haruslah dipandang sebagai
kebutuhan mendesak diatas kemampuan mareka menguasai platform digital yang juga
menjadi kebutuhan. Sangat ironis bila di jumpai desa tidak lagi memfasilitasi
forum partisipasi masyarakat secara langsung hanya karena berlindung dengan
mewahnya tampilan platfor digital yang mareka miliki.
e.
Forum Khusus
Membentuk forum atau musyawarah
tematik untuk kelompok rentan juga masih menjadi kebutuhan guna meningkatkan
mutu dan kualitas perencanaan yang yang sedang dilaksanakan terlepas apakah
forum tersebut akan di isi dengan materi pelatihan pengenalan dan penggunaan
platform digital.
Satu hal
yang di garis bawahi dari tulisa ini adalah; Jangan sampai digitalisasi hanya
menjadi kosmetik demokrasi, di mana suara rakyat hanya dipakai sebagai
legitimasi semu. Kita memerlukan transformasi yang lebih dalam: dari
digitalisasi prosedur menjadi digitalisasi nilai-nilai demokrasi.
Akhirnya,
Perjalanan menuju perencanaan partisipatif digital yang ideal masih panjang,
tetapi bukan mustahil. Dengan komitmen, inovasi, dan refleksi terus-menerus,
kita bisa menjembatani realita dan harapan.
Post a Comment