Keberdayaan Masyarakat di era Otonomi Daerah Antara Realita, dan Harapan


 





Praktek Pembangunan Daerah

Jika kita menyimak pola pembangunan di daerah, ada beberapa hal yang masih menjadi pemandangan walau  era otonomi menjadi acuannya dengan visi untuk kemakmuran dan keadilan rakyat. Bahkan visi kemakmuran dan keadilan lebih di pertegas lagi yaitu visi kerakyatan.  Prakteknya pembangunan dimaksud hanya sekedar proyek jangka pendek, periode lima tahun, atau hanya sekedar pemanis kepada masyarakat, atau sekedar menggugurkan kewajiban sang kepala daerah kabupaten/kota.  Hal ini diperkuat dengan adanya beberapa fakta yaitu : 

 

Pertama kentalnya aroma Politik Atas Nama ; dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.  Kata-kata kunci yang dipakai adalah rakyat sebagai pemberi mandat dan penerima manfaat.  Jika hal ini diprumpamakan sebuah produk maka produk yang bernama rakyat akan sangat halal dan laku untuk di jual dari kalangan manapun, karena dalam konsep demokrasi yang kita anut rakyat adalah penguasa dan harus mendapat tempat yang paling utama.   Pertanyaannya kemudian rakyat yang mana yang dimaksud ; nelayan, petani, PNS, buruh, pemborong, atau politisi yang sekarang menjadi anggota DPRD dan elit partai politik..? terlepas dari siapa rakyat yang dimaksud adalah menyangkut  indicator  yang dipakai untuk melihat dan mengukur berhasil atau tidaknya pembangunan dimaksud, Z. Heflin Frinces (Januari 2005) mengatakan bahwa ukuran keberhasilan kepemimpinan di daerah antara lain:

a.       Meningkatnya daya beli (direfleksikan dengan besarnya pendapatan).

b.      Perbaikan secara siqnifikan kesehatan masyarakat.

c.       Tingginya tingkat pendidikan rakyat.

d.      Meningkatnya kemampuan menabung (propensity to save)

e.       Tersedianya perumahan (tempat tinggal) yang cukup bagi penduduk

f.       Tingginya mobilitas penduduk.

g.      Tersedianya fasilitas umum seperti rumah sakit, dan tingginya tingkat kesehatan penduduk.

h.      Tersedianya fasilitas infra struktur (prasarana/sarana, perhubungan, dan komunikasi.

i.        Tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi (ukuran tinggi adalah 6% - 10%)

Dalam perkembangan selanjutnya politik atas nama kerapkali kita jumpai telah berubah bentuk dan diperhalus menjadi ungkapan tolong menolong dan saling mengisi;  kami akan menolong  anda, dan anda mohon tolong pikirkan kami biar kita sama-sama untung.  Jadi disini yang nampak adalah tolong menolong dan keuntungan, bukan lagi hak sebagai warga negara dan kewajiban sebagai aparatur penyelenggara negara atau sebaliknya yang telah mempunyai peran dan fungsi masing-masing dan dari sinilah awal terjadinya Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Jika di kaitkan dengan kondisi kekinian, maka sangat tidak heran dan aneh lagi untuk menempatkan Indonesia sebagai Negara terkorup keenam di dunia[1].  

 

Kedua  Kuatnya indikasi Pemanfaatan Simbol-simbol ;  Simbol-simbol adat seperti Raja, Dalom, Suttan atau sebutan lain  atau bahkan masyarakat biasa yang dikondisikan menjadi tokoh pemuda, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Kesemuanya terkadang hanya dimanfaatkan untuk mengamini konsep yang sedang di tawarkan bahkan terkadang sebagai pelengkap administrasi saja agar kesemuanya dilakukan agar sesuai dengan  amanat UU No. 22/1999 pasal 22, yang menyebutkan bahwa salah satu kewajiban DPRD adalah memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat serta menfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya. Kemudian Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29/2002, pasal 17 ayat 2, yang menyebutkan: “Dalam penyusunan Arah dan Kebijakan Umum APBD sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, diawali dengan penjaringan aspirasi masyarakat, berpedoman pada rencana strategis daerah dan atau dokumen perencanaan lainnya yang di tetapkan daerah, serta pokok-pokok kebijakan nasional di bidang keuangan daerah oleh menteri dalam negeri.    Kewajiban untuk melibat partisipasi publik dalam pembangunan di daerah kemudian dipertegas  dalam  UU No. 32/2004, pasal 23 ayat 2, yang menyebutkan; Pengelolaan keuangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara efisien, efektif, transparan, akuntabel, tertib, adil, patut, dan taat pada peratutan perundang-undangan.

Dalam pemanfaatan simbol-simbol terkadang juga dilakukan dengan cara menyebarkan potongan potongan ayat dalam kitab suci  dengan menggandeng tokoh agama, terutama tokoh agama yang  oportunis.  Jurus kedua sangat jitu untuk memproleh dukungan masyarakat yang mempunyai pemahaman keagamaan yang cenderung mengabaikan situasi social dan menjadikan agama hanya sebagai tren hidup saja sehingga menimbulkan sikap fanatik agama, asalkan ada ayat-ayatnya sudah tepat dan benarlah itu. Dalam masyarakat seperti ini tokoh-tokoh agama berfungsi sebagai penjelas, perantara, dan pengesah semua tindakan ritual massa umat kemana mareka selalu menggantungkan nasib dan harapan masa depannya[2]

 

Ketiga Sulitnya mengakses Informasi ;  Informasi dari awal perencanaan pembangunan hingga ahir pelaksanaan pembangunan menjadi sesuatu yang sangat mahal, semua lubang informasi ditutup dengan kalimat pokonya (pokoknya dari rakyat, pokoknya oleh rakyat, pokoknya untuk rakyat).  Berbagai dalih dan retorika akan muncul untuk menjawab pertanyaan masyarakat yang membutuhkan informasi tentang pembangunan dimaksud. Padahal tanpa mareka sadari jika disimak setiap jawaban yang di terima  akan lebih mengesankan bahwa sebenarnya  yang bersangkutan tidak faham dan tidak menguasai tentang permasalahan yang sedang dibahas, yang lebih miris lagi terkadang yang keluar hanya ego semata dengan mengeluarkan ungkapan ini rahasia negara jadi tidak boleh di publikasikan sebelum pembangunan dimaksud selesai.

 

Keempat cenderung Anti Kritik ;  Para pemimpin didaerah hanya senang di puji saja, semua yang memberikan sudut pandang yang berbeda akan di cap sebagai musuh pemerintah dan musuh pembangunan. Masyarakat di kotak-kotakkan hanya dengan tujuan memperbanyak dukungan dengan menggunakan fasilitas uang dan premanisme sekalipun.  Sudut pandang masyarakat untuk melihat sesuatu disamakan dan dibuat sama tanpa melihat latar belakangnya. 

 

Pembangunan Masyarakat

Seiring dengan system social masyarakat yang semakin maju dan globalisasi informasi, visi kerakyatan dengan konsep pemberdayaan masyarakat dalam otonomi daerah ada baiknya direinterpretasi dan dipertegas dengan regulasi yang jelas jika  penerapan yang dimaksud benar-benar akan di tujukan untuk rakyat, dengan merenungi aspek penting di dalamnya yaitu masyarakat.  Anggapan bahwa masyarakat tidak mengerti apa-apa selayaknya sudah mulai di singkirkan dan mulai menanamkan anggapan bahwa masyarakat  sesungguhnya bisa  dan marekalah yang bisa menolong diri mareka sendiri ; masyarakat lebih memahami permasalahan apa sebenarnya yang sedang mareka rasakan dan apa sesungguhnya yang mareka butuhkan.  Untuk menciptakan kondisi ini pemerintah daerah sampai ke level yang terendah di tuntut memposisikan diri tidak lebih dari sekedar fasilitatator agar apa yang menjadi target tercapai dengan mengedepankan prinsip-prinsip :

1.      Saling percaya di antara anggota masyarakat; Setiap anggota masyarakat dalam perencanaan disyaratkan mempunyai sikap mempercayai kepada anggota masyarakat lainnya dan bertindak dapat dipercayai oleh anggota masyarakat lainnya.

2.      Kesetaraan; Memandang setiap yang terlibat mempunyai posisi yang sejajar.  Setiap masyarakat memproleh peluang untuk menyampaikan pendapatnya dan mengutarakan argumennya untuk dipahami oleh semua masyarakat sebagai bahan masukan.  Fasilitator dalam hal ini adalah juga bagian dari masyarakat yang memproleh fungsi sebagai pembantu dalam memperlancar dan mempermudah perumusan gagasan, pendapat dan infomasi dari masyarakat bukan sebagai pengarah tujuan-tujuan yang harus di capai.  Pendapat fasilitator harus juga dipandang sebagai masukan untuk bahan pertimbangan, bukan sebagai pendapat yang harus di ikuti.

3.      Demokratis; Setiap keputusan harus atas persetujuan masyarakat dengan cara di sepakati bersama dengan mengedepankan konsensus serta menghindari semaksimal mungkin pengambilan keputusan dengan vooting.  Sebelum keputusan diambil perlu dilakukan pembahasan secara lebih jelas yang memungkinkan setiap masyarakat memahami apa yang akan di putuskan dan konsekwensi dari keputuan tersebut bagi dirinya.

4.      Nyata;  Informasi yang disampaikan adalah yang terjadi di masyarakat, dialami dan dirasakan olehnya mareka.

5.      Taat azaz dalam berfikir;  Dalam pengambilan kesimpulan berdasarkan atas cara kerja nalar.

6.      Partisipatoris;  Setiap masyarakat memproleh peluang yang sama dalam memberikan sumbangan pemikirannya tanpa di hambat oleh kemampuan bicara, kemampuan menulis, sempitnya waktu, dan bermutu tidaknya pikiran yang disumbangkan.  Jadi setiap masyarakat dimungkinkan merasa tidak takut salah dan disalahkan.

7.      Terfokus pada kepentingan masyarakat setempat;  Bukan terfokus pada kepentingan partai maupun proyek yang direncanakan oleh fihak luar.  Jadi disini perencanaan berfihak pada masalah dan kebutuhan nyata yang dihadapi masyarakat setempat.

8.      Terbuka;  Terhadap perbedaan pendapat dan bersedia memahami pikiran orang lain atas dasar penalaran dan pengalaman.

 

Kreatifitas yang dibarengi dengan  penghilangan ego dengan “melepaskan” baju seragam ketika berhadapan dengan masyarakat  mutlak di butuhkan agar tercipta suasana  saling percaya, bekerjasama, dan bekerja keras yang pada ahirnya tujuan akan tercapai walau dengan teknis yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi kedaerahan yang ada. Slogan pemerintah sebagai pelayan masyarakatpun  bukan sesuatu yang tinggi dan tidak bisa di bumikan, akan tetapi menjadi sesuatu yang nyata dalam bentuk regulasi yang konkrit  kedalam bentuk Standar Pelayanan Minimum untuk setiap instansi di pemerintah daerah. 

 

Keberdayaan Masyarakat

Era otonomi daerah diharapkan akan membawa masyarakat pada kemajuan. Menurut  Z Heflin Frinces ukuran-ukuran kemajuan dari pelaksanaan otonomi daerah antara lain :

1.      Meningkatnya daya beli masyarakat (yang direfleksikan dengan besarnya pendapatan)

2.      Perbaikan secara signifikan kesehatan masyarakat.

3.      Tingginya tingkat dan kualitas pendidikan masyarakat.

4.      Tersedianya perumahan.

5.      Tingginya mobilitas penduduk.

6.      Tersedianya fasilitas umum seperti rumah sakit,  gedung sekolah yang memadai dll.

7.      Tersedianya fasilitas infrastruktur (prasarana/sarana, perhubungan serta komunikasi.

8.      Tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi (ukuran tinggi adalah antara 6% - 10%)

 

Sebelum ukuran-ukuran kemajuan ini terlaksana yang di capai dengan menerapkan strategi pembangunan yaitu program jangka panjang (20 tahun) dan program jangka menengah (5 tahun) tentunya akan termanifestasi dalam bukan saja person atau individu yang  akan melaksanakan program dimaksud akan tetapi juga besaran angka nominal yang bisa mendukung untuk program tersebut (APBD).  Pada prakteknya  APBD  untuk sisi pendapatan masih sangat mengandalkan pajak dan retribusi yang masih disangsikan “label halalannya” secara undang-undang,  akan tetapi untuk sisi belanja APBD masih lebih banyak untuk operasional pemerintah daerah khususnya untuk pos-pos operasional sang kepala daerah, jika dikaitkan dengan azaz kepatutan agaknya perlu pembahasan lebih mendalam serta masih kental indikasi KKN dalam penetapan angka-angka didalamnya, misalnya : APBD Lampung Barat tahun 2005  pos  bantuan organisasi lebih besar ketimbang pos untuk operasional Kepala Pekon (Kepala Desa).  Jika dilihat dari urgensinya maka pemerintah pekon (pemerintah desa) yang jumlah dan letak geagrafisnya teridentifikasi tentu lebih urgen ketimbang organisasi yang jumlah dan kerja-kerjanya tidak pernah transparan ke masyarakat Lampung Barat.  

 

Dari fakta pelaksanaan penganggaran keuangan didaerah rasanya tidak berlebih jika dikatakan bahwa masyarakat belum berdaya.  Ketidakberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan otonomi daerah, dan dalam  mengkritisi setiap implementasi kebijakan di daerah di sebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :

1.      Adanya aturan yang multi tafsir baik ditingkatan pelaksana maupun di tingkat grass root, misalnya; UU No. 32/2004  pasal 23, ayat 2;  Pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara patut.

2.      Belum adanya sanksi hukum yang berat terhadap oknum pemerintah di daerah yang melanggar bukan hanya teks akan tetapi prinsip dasar dari otonomi daerah itu sendiri yaitu otonomi masyarakat 

3.      belum adanya mekanisme atau teknis yang jelas yang mengatur tentang hak dan kewajiban masyarakat dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah, misalnya turunan dari UU No. 33/2004 pasal 8;  tentang pajak dan retribusi di daerah.

4.      Rendahnya tanggung jawab moral  anggota DPRD kepada kontituennya di daerah.  Hal ini dimungkinkan sebagai konsekwensi logis dari penerapan UU No. 12/2003 pasal 107 ayat 2; 

a.       Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dari Partai Politik Peserta Pemilu di dasarkan pada prolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan ketentuan : Nama calon yang mencapai BPP di tetapkan sebagai calon terpilih.

b.      Nama calon yang tidak mencapai angka BPP penetapan calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut pada daftar calon di daerah pemilihan yang bersangkutan.

Pada kenyataannya sangat jarang dan sulit sekali bagi seorang calon untuk mencapai angka BPP, misalnya 35 orang anggota DPRD Lampung Barat hanya satu orang yang mencapai angka BPP.  Sedangkan lainnya menjadi anggota DPRD karena akumulasi suara dari calon-calon lain di bawahnya, bahkan beberapa calon yang tidak jadi tersebut memproleh dukungan lebih besar akan tetapi karena tidak mencapai angka BPP maka yang bersangkutan tidak menjadi anggota DPRD.

5.      Dana  Alokasi Umum (DAU) yang kejar tayang;  Hal ini disebabkan oleh penerimaan DAU untuk satu tahun anggaran biasanya diumumkan menjelang ahir tahun anggaran sebelumnya,  sehingga proses pelaksanaan yang terburu-buru tentu saja menyebabkan pembangunan dimaksud tidak efektif dan efisien yang berdampak pada kualitas.  Adanya sarana transportasi jalan yang hancur sebelum waktunya dan atau jalan yang tak kunjung baik menyebabkan ekonomi biaya tinggi bagi masyarakat di daerah.

6.      Masih langkanya pemimpin di daerah yang mempunyai nilai-nilai kewirausahaan (entrepreneurial leader).  Nilai-nilai tersebut merupakan semangat dan prilaku yang selalu ingin berubah secara dinamis, kreatif, antisipasi, proaktip dalam melakukan perubahan untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat.  Disisi lain lemahnya kapasitas para pemimpin di daerah  mendorong hilangnya nilai-nilai kearifan lokal dan atau berkembangnya interperetasi terhadap nilai-nilai lokal  yang hanya mengedepankan kepentingan sesaat dan sarat akan muatan politis. Lima prinsip dalam kehidupan sehari-hari  masyarakat Lampung memudar dan justru dalam prakteknya kerap diartikan berlawanan dengan substansi yang sesungguhnya yaitu :

a.       Pi’il Pesengiri diartikan sebagai segala sesuatu yang menyangkut harga diri, prilaku dan sikap hidup yang menjaga dan menegakkan nama baik dan martabat secara pribadi maupun secara kelompok. Kerap diartikan sebagai masyarakat yang tinggi hati yang hanya mau menang sendiri.

b.      Sakai Sambayan meliputi beberapa pengertian yang luas, termasuk didalamnya gotong rotong, bahu membahu, saling memberi sesuatu yang diperlukan pihak lain baik materi maupun sumbangan lain dalam prakteknya diartikan sebagai kelompok yang tertutup dengan masyarakat suku lain dan hanya bersedia bekerjasama dengan kelompoknya sendiri.

c.       Nemui Nyimah; Bermurah hati dan ramah tamah terhadap semua pihak baik terhadap orang dalam kelompoknya maupun terhadap siapa saja yang berhubungan dengan mareka.  Dalam kenyataannya kerapkali diartikan hanya berlaku bagi kelompoknya saja.

d.      Nengah Nyappur adalah tata pergaulan masyarakat Lampung dengan kesediaan membuka diri dalam pergaulan masyarakat umum dan berpengetahuan luas untuk kemajuan masyarakat sesuai dengan kemajuan zaman. Dalam prakteknya kerap dijumpai telah berubah menjadi hal untuk mengusai kelompok lain secara sepihak.

e.       Bejuluk Beadek; Tata ketentuan pokok yang selalu diikuti menghendaki seseorang disamping mempunyai nama yang diberikan orang tuanya, juga diberi gelar oleh orang dalam kelompoknya sebagai panggilan terhadapnya.  Bagi orang yang belum berkeluarga akan diberi juluk (bejuluk) dan setelah ia kawin maka akan diberi adek (Beadek), setelah melalui upacara-upacara adat tertentu.  Dalam prakteknya Bejuluk Beadek (Raja, Suttan, Dalom dll) dikedepankan untuk meligitimasi program yang ditawarkan atau untuk tujuan politis lainnya.

         

Penutup

Pelaksanaan otonomi daerah belum membawa perubahan signifikan dan menjadikan masyarakat berdaya seperti yang dicita-citakan hal ini disebabkan karena dalam prakteknya pemerintahan di daerah lebih berorientasi pada hasil yang dibungkus dengan cita-cita dan jargon yang sangat utopis, tanpa mengedepankan orientasi proses sebagai sarat pencapaian kemakmuran yang sesungguhnya. 


Tulisan ini Telah di muat dalam buku Membangun Indonesia Dari Daerah, CSIS Jakarta, Maret 2006.


Post a Comment

Previous Post Next Post