(Monolog Ali Rukman)
Di
sepertiga malam aku terbangun.
Bukan
karena mimpi buruk,
tapi
karena kenyataan yang jauh lebih dingin dari ubin kamar ini.
Lalu
aku bertanya...
pada
langit yang tak pernah menuduh,
pada
Tuhan yang tak pernah membalas dengan sinis:
Kamu siapa...?
Kamu... yang berdiri paling depan,
paling
keras suaranya,
paling
dulu mengaku peduli,
tapi paling takut posisinya tergeser.
katamu
“aku ini yang sulung,”
seolah
urutan lahir adalah akta suci yang tak boleh digugat.
Kau
bungkus ambisimu dengan kalimat manis,
“Ini
demi kebaikan keluarga,”
padahal kau cuma takut hilang muka dan hilang kuasa.
Kamu siapa...??
Yang
berdiri di mimbar tinggi,
mengangkat
kitab suci di tangan kananmu,
sementara
tangan kirimu sibuk menunjuk yang kau anggap sesat.
Kau
tafsirkan ayat seolah Tuhan hanya bicara padamu,
padahal
bisa jadi,
yang
kau anggap hina justru lebih tenang di hadapan-Nya.
Nabi
kami dulu mencium tanah,
kau
malah menuntut dicium tangannya.
Kamu siapa...??
Yang
menyebut diri petugas.
Katamu
ini tugas negara,
tapi
kenapa rakyat selalu yang kau tindih?
Aturan
kau bacakan seperti kitab,
tapi
isinya bisa berubah,
asal
yang datang cukup kuat... atau cukup tebal dompetnya.
Jangan-jangan,
yang
paling perlu ditertibkan justru bayanganmu sendiri.
Kamu siapa...?
Yang ditimang sejak bayi,
yang disuapi meski perut sendiri dalam keadaan lapar.
sekarang kau bicara soal hak dan tentang fasilitas
Tapi
tak pernah kau tanya,
apakah aku masih bisa jalan kaki ke masjid,
atau
cuma bisa memandangi atap yang bocor.
Kamu siapa...??
Yang
muncul saat butuh,
hilang saat aku roboh.
katamu,
"keluarga itu tempat pulang",
tapi
yang kau bawa pulang cuma permintaan dan beban.
Memberi bagimu dosa besar,
meminta jadi ibadah tak tertulis.
Kamu siapa...?
Yang
dulu tertawa paling keras,
saat dunia memujiku,
di
mana kamu saat aku butuh pelukan yang bukan basa-basi?
Kau
angkat gelas di pestaku,
tapi
angkat kaki di malam dukaku.
Dan kamu Siapa..?
Yang paling lama berada disebelahku,
tapi tak pernah benar-benar mengerti aku.
air
matamu selalu datang tepat waktu,
di
saat argumen tak lagi bisa menang.
Tangismu
seolah wahyu,
yang
tak boleh dipertanyakan,
padahal
hatiku pun sudah lama berdarah,
hanya
saja tak berbunyi.
Lalu
aku menatap langit-langit kamar,
tempat
doa-doa menggantung,
dan
aku ulangi tanya itu,
bukan
untuk kalian,
tapi
untuk diriku sendiri:
Kamu... siapa?
Jika
semua merasa paling benar,
siapa
yang akan diselamatkan?
Jika
semua bicara atas nama Tuhan,
siapa
yang masih mau diam dan mendengar-Nya?
Bekape, 31/07/2025

Post a Comment