Lampung Barat Hebat Candu

 



Lampung Barat selalu terdengar indah bila diceritakan. Dari hamparan bukit yang hijau, dari danau yang memantulkan cahaya matahari, dari ladang kopi yang menebar aroma doa, hingga sawah dan kebun sayur yang seperti surga kecil di bumi. Semua tampak begitu menawan. Namun di balik keindahan itu, ada satu kata yang belakangan ini lebih sering diperdengarkan daripada kabar gembira tentang panen, pembangunan, atau kesejahteraan rakyat. Kata itu adalah “hebat.” Kata yang setiap hari menggema dari baliho, dari mimbar, dari pidato, dari media sosial, bahkan dari mulut pejabat yang tersenyum rapi dengan bahasa yang penuh pujian.

 

“Lampung Barat Hebat!” begitu katanya. Sebuah seruan yang terdengar gagah, seolah menjadi mantra penguat, seolah menjawab segala kekurangan. Namun di telinga rakyat kecil, kata itu justru terdengar seperti candu. Hebat yang tak pernah menyentuh meja makan mereka. Hebat yang tak pernah membuat jalan berlubang berubah mulus. Hebat yang tak mampu mengubah harga kopi yang ditentukan orang lain. Hebat yang tak bisa mengurangi resah para petani yang panen sayurnya tak sebanding dengan biaya tanam.

 

Candu ini begitu manis di bibir, tapi pahit di hati. Ia membuat kita bangga dengan fatamorgana, mabuk dengan tepuk tangan, tapi abai pada kenyataan. Karena hebat hanya berhenti sebagai kata, bukan kenyataan.

 

Lebih menyedihkan lagi, Lampung Barat ini sering kali dibangun dengan moto yang aneh: “Tak perlu orang hebat, yang penting nurut. Tak perlu inovasi, yang penting Bapat senang.”  Maka jadilah pejabat-pejabat yang lebih sibuk menatap wajah atasan ketimbang wajah rakyatnya. Mereka berderet rapi di kursi empuk, menunggu aba-aba, menjaga senyum, dan menahan kritik. Mereka bukan mengabdi dengan tulus, melainkan dengan bulus. Mereka tidak menyalakan pelita, hanya sekadar menyalakan lampu saat diminta.

 

Bagaimana mungkin sebuah daerah bisa hebat jika pejabatnya minim inovasi? Bagaimana bisa maju kalau yang dikejar hanya ridha atasan, bukan ridha Allah dan ridha rakyat? Bukankah jabatan itu amanah, bukan tempat berlindung? Bukankah ia titipan yang akan ditanya kelak di hadapan Tuhan, bukan sekadar tempat singgah dari hari Senin sampai Jumat? Sebab memang begitulah, bagi sebagian pejabat Lampung Barat, tanah ini hanyalah persinggahan. Mereka datang di awal pekan untuk tanda tangan, duduk di rapat, lalu kembali ke Bandar Lampung di akhir pekan. Seolah Lampung Barat ini hanya rumah kontrakan sementara, bukan tanah kelahiran, bukan tanah perjuangan.

 

Dan rakyat tentu merasakan itu. Mereka tahu bahwa slogan hebat tak membuat dapur lebih hangat. Mereka tahu bahwa baliho tak bisa menggantikan beras. Mereka tahu bahwa pidato panjang tak bisa menambal jalan yang berlubang. Tetapi rakyat juga punya caranya sendiri untuk bertahan. Mereka tetap menanam kopi meski harga tak berpihak. Mereka tetap menanam sayur meski biaya pupuk mencekik. Mereka tetap berjalan kaki ke sekolah, menembus jalan tanah yang becek, karena mereka percaya: hanya dengan ilmu, anak-anak bisa mengubah nasib.

 

Di situlah saya belajar arti hebat yang sejati. Hebat bukan di spanduk, bukan di ucapan. Hebat itu ibu-ibu di pekon yang tetap menanak nasi meski dengan tungku sederhana. Hebat itu bapak-bapak petani yang memikul karung kopi tanpa pernah tahu berapa harga yang pantas. Hebat itu gotong royong masyarakat memperbaiki jalan, meski keringat mereka jatuh tanpa dihitung dalam laporan pembangunan. Hebat itu keteguhan rakyat yang bertahan dalam doa, bukan candu.

 

Namun tentu saja, hebat yang sejati tak akan hadir hanya dengan kata. Ia perlu jalan, ia perlu solusi. Maka izinkan saya menyebutkan beberapa ikhtiar sederhana agar Lampung Barat benar-benar hebat, bukan sekadar candu:

Pertama, jauhkan KKN dalam penempatan pejabat di lingkungan Pemkab Lampung Barat. Tempatkan orang sesuai kompetensinya, bukan karena kedekatan, bukan karena titipan. Sebab jabatan tanpa kapasitas hanyalah bencana.

Kedua, setiap pegawai, terutama pejabat, harus menandatangani fakta integritas untuk tidak meninggalkan Lampung Barat kecuali untuk urusan dinas yang diketahui langsung oleh bupati. Bahkan bila perlu, pasang pos pantauan di titik keluar-masuk kabupaten ini. Biarlah pejabat belajar setia pada tanah yang mereka pimpin, bukan sekadar singgah lalu pergi.

Ketiga, jadikan Lampung Barat tuan rumah bagi potensinya sendiri. Kopi, sayuran, perikanan—jangan murah di luar, tapi mahal di rumah sendiri. Jangan biarkan petani hanya menjadi buruh di tanahnya sendiri, sementara hasilnya dinikmati orang lain.

 

Inilah langkah-langkah sederhana, namun jika dijalankan dengan niat tulus dan ikhlas, Lampung Barat bisa benar-benar hebat. Hebat yang nyata, bukan candu. Hebat yang menjadi amal jariyah, bukan dosa sejarah.

 

Maka bila hari ini masih ada pejabat yang suka berpesan: “Kalau masih salah, tolong beri tahu kami. Kalau sudah benar, mari kita syukuri.” Izinkan rakyat menjawab dengan nada lembut namun tegas: kalau salah, kami sudah lama tahu. Kalau benar, buktikan dengan kerja. Dan kalau sebentar lagi pensiun, bertobatlah—sebab sebentar lagi kalian akan kembali bergaul dengan rakyat yang sama, rakyat yang hari ini kalian tinggalkan demi candu kata hebat.

 

Kita perlu bercermin lebih dalam. Jangan-jangan kata hebat yang kita agungkan hanyalah fatamorgana. Jangan-jangan kita terlalu sibuk menipu diri sendiri dengan pujian, tapi tuli pada jeritan rakyat. Padahal Rasulullah SAW telah mengingatkan bahwa pemimpin adalah pelayan, bukan tuan. Maka jangan pernah jadikan rakyat sebagai penonton yang dipaksa tepuk tangan, sementara panggung hanya milik segelintir orang.

 

Lampung Barat memang hebat. Hebat karena rakyatnya. Hebat karena tanahnya subur, airnya jernih, hutannya tegak, dan doanya tak pernah putus. Tapi jangan biarkan hebat hanya jadi candu. Sebab jika hebat hanya berhenti pada spanduk, pada pidato, dan pada laporan singkat, maka kita sedang merendahkan kehormatan negeri ini.

 

Mari kita jadikan hebat sebagai cermin, bukan candu. Sebagai jalan lurus, bukan jalan tipu-tipu. Sebagai doa yang dijaga dengan kerja, bukan sekadar kata yang digemakan di panggung. Sebab pada akhirnya, hanya Allah yang tahu siapa yang benar-benar mengabdi, dan siapa yang hanya singgah.

 

Dan biarlah firman Allah menjadi penutup renungan ini:

 

“Dan katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.’”

(QS. At-Taubah: 105)

Post a Comment

أحدث أقدم