“Tampar Dirimu, Sebelum Dunia Menamparmu dan Akhirat Melumatmu”



Tuhan… pada malam yang Engkau tenangkan ini, ketika langit seakan menundukkan dirinya dan bumi berhenti berbisik, hamba memohon agar Engkau bukakan satu celah cahaya di dalam dadaku—celah yang mungkin selama ini tertimbun oleh kelalaian, tertutup oleh nafsu, dan dibungkus oleh alasan-alasan yang kubuat untuk menutupi kelemahanku sendiri.

Ajari aku menatap cahaya-Mu sebagaimana para salihin menatapnya; dengan rasa takut yang menuntun pada taat, dan dengan harap yang menuntun pada tunduk. Sebab siapa yang sibuk menatap bayangannya sendiri, dialah yang sedang berpaling dari sumber terang-Mu. Dan siapa yang mengasuh kebohongan kecil dalam hatinya, ia tengah memupuk gelap yang perlahan menggerogoti iman.

Maka izinkan aku jujur, ya Allah—jujur sampai tak ada ruang bagi kegelapan untuk bersembunyi di balik alasan-alasan yang kubangun sendiri.

 

Tuhan… betapa mudahnya aku mengaku kuat, padahal sekali saja Engkau goyangkan pondasi hidupku, aku goyah seperti dedaunan yang dipermainkan angin. Karena itu, lembutkan hatiku agar mudah menerima petunjuk-Mu, namun jangan biarkan kelembutan itu menjadikanku rapuh. Teguhkan jiwaku agar tak mudah runtuh oleh cobaan-Mu, namun jangan biarkan ketegasan itu memadamkan nurani.

Berikan aku keberanian yang tidak meledak-ledak, tetapi menenangkan.

Keberanian yang tidak teriak, tetapi kokoh.

Keberanian yang membuatku mengakui batas usahaku, lalu berserah dengan penuh tawakkal—karena aku tahu, ya Rabb… tawakkal adalah keberanian tertinggi. Keberanian untuk berkata: *“Aku telah berusaha sekuat yang aku mampu, dan sisanya aku pasrah kepada-Mu.”*

 

Dan bila Engkau melihat dunia mulai menyeretku ke pertarungan yang tak Engkau ridai, maka ajari aku jurus-Mu yang paling suci: menahan diri.

Sebab Rasul-Mu mengajarkan bahwa orang kuat bukanlah yang menang dalam gulat, tetapi yang mampu menahan amarah ketika ia punya kesempatan melampiaskannya.

Aku tidak meminta agar Engkau menjadikanku insan yang tak pernah marah—tidak, ya Allah…

Aku hanya memohon agar Engkau mengajariku marah dengan cara yang Engkau cintai: marah yang menjaga kehormatan orang lain, marah yang tidak membakar jiwaku sendiri, marah yang dipadamkan oleh zikir dan dipandu oleh iman.

Ajari aku mundur selangkah bukan karena takut, melainkan karena aku tahu bahwa merusakkan itu mudah… sedangkan menahan diri adalah kekuatan yang hanya Engkau bisa tanamkan dalam hati orang beriman.

 

Namun, Tuhan… ada satu musuh yang tak pergi meski aku menjauh dari seluruh dunia: hawa nafsu yang bersemayam dalam dadaku sendiri.

Nafsu yang tidak mendobrak, tetapi membujuk.

Tidak memaksa, tetapi memancing.

Nafsu yang menyamar menjadi keinginan kecil yang tampak wajar, hingga aku tak sadar telah menjadi budaknya.

Karena itu, ya Allah… tundukkanlah hawa nafsuku sebelum ia menundukkanku.

Jangan biarkan aku diperbudak oleh hasrat yang tak pernah puas.

Kuatkan kakiku untuk menginjak nafsuku ketika ia mencoba menuntunku ke tepian jurang. Dan bila aku harus berperang, jadikan kemenangan pertama dan terakhirku adalah kemenangan atas diriku sendiri—sebab itulah kemenangan yang Engkau catat dengan tinta rahmat.

 

Tuhan… bila Engkau izinkan hatiku memahami makna hidup, biarkan pemahaman itu lahir dari kejujuran, bukan dari penyangkalan.

Bila Engkau izinkan aku menangisi diriku, jadikan air mata itu penyuci dosa, bukan tanda putus asa.

Jangan biarkan aku hidup tetapi buta terhadap maksiat yang kulapisi dengan pembenaran.

Jangan biarkan aku tersenyum sementara kebohongan mengekor langkahku seperti bayangan liar yang menunggu aku lengah.

Aku mohon, ya Rabb… jangan biarkan aku tersadar ketika semuanya telah terlambat.

 

Sebab jika aku tidak menampar diriku dengan keinsafan hari ini, dunia akan menamparku dengan kesulitan esok hari.

Dan bila dunia gagal menyadarkanku, akhirat akan melumatku dengan penyesalan yang tak berujung.

Maka sebelum Engkau perintahkan bumi mengguncang pijakanku, sebelum waktu menutup pintu ampunan, dan sebelum malaikat-Mu membuka lembaran catatan yang tak bisa kutawar, izinkan aku menampar diriku sendiri—pelan, tetapi cukup membangunkan.

Halus, tetapi cukup menusuk.

Tulus, tetapi cukup menyelamatkan.

 

Tuhan… jadikan aku manusia yang tidak hanya fasih berbicara kebaikan, tetapi mampu mengamalkannya.

Jadikan aku tidak hanya tampak kuat di luar, tetapi kokoh di dalam.

Jadikan aku tidak hanya rukuk dan sujud dengan ragaku, tetapi juga dengan hatiku.

Dan jadikan aku manusia yang sanggup menahan diri sebelum keburukan menelan seluruh dirinya.

 

Karena pada akhirnya… lebih baik aku menampar diriku dengan kejujuran hari ini

daripada dunia menamparku dengan kesulitan esok,

dan akhirat melumatku dengan penyesalan yang tak bisa kutarik kembali.

 

Amin… ya Rabbal ‘Alamin.

 

Bekape, 01 Desember 2025

 


Post a Comment

أحدث أقدم