Terminal Induk Rajabasa. Dulu, ia adalah
salah satu wajah Bandar Lampung bahkan Provinsi Lampung. Tempat di mana bus-bus
berjejer rapi seperti prajurit yang siap melayani, dan suara TOA pengatur
keberangkatan tiap beberapa menit seolah menandai denyut nadi peradaban. Saya
masih ingat masa itu: taman, kolam ikan, kursi tunggu, dan petugas terminal
yang selalu bertanya mau kemana?. Bagi kami anak-anak indekos era ’80-an,
Rajabasa bukan sekadar titik transit—ia adalah pusat harapan – Tempat kami
mengambil kiriman uang dan perbekalan dari kampung yang dititip melalui sopir
bus.
Kini, datanglah ke sana. Terminal yang
dulu hidup kini seperti potret buram di album keluarga: retak, berdebu, dan
nyaris tak dikenali. Blok angkot yang seharusnya sibuk melayani warga menuju
kota, kini berubah menjadi pasar kuliner beratap terpal, dengan alang-alang
liar yang seperti tertawa mengejek: “Beginikah nasib gerbang kota?” Di pojok
sana, beberapa angkot biru jurusan Rajabasa–Tanjung Karang dan angkot cokelat
jurusan Natar–Rajabasa masih setia nongkrong, seperti veteran tua yang enggan
menyerah, menunggu penumpang yang kian jarang.
Blok Antar Kota Dalam Provinsi? Jangan
berharap glamor. Dinding kotor, sampah berserakan, dan bau tak sedap menyambut
lebih cepat daripada sapaan petugas. Bus Liwa–Rajabasa masih lewat, tapi
bayang-bayang kejayaan—ketika tiket Metro dan Kotabumi diburu penumpang—hanya
tinggal cerita warung kopi.
Di atas sana, Terminal Induk (blok atas)
yang megah dengan pagar keliling setelah naik kelas menjadi Tipe A dan
diserahkan ke Kementerian Perhubungan, kini terasa sunyi. Jauh berbeda dari era
80–90-an ketika TOA berteriak setiap beberapa menit. Hari ini, yang rutin
terlihat hanyalah bus AC Rajabasa–Bakauheni, Metro–Rajabasa, Rajabasa–Unit II,
dan Rajabasa Kota Bumi.
Di belakang terminal atas, kantor BPTD
Kelas II Lampung berdiri gagah, seakan bersaing dengan Kantor Camat Raja Basa,
Kantor Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung, dan Gedung Uji Kendaraan Bermotor
Dinas Perhubungan Bandar Lampung. Memberi nuansa dari terminal yang dulu seram
menjadi terminal yang penuh pelayanan. Ironis, gedung-gedung resmi terus tumbuh
semua tampak sibuk, tapi terminal di sampingnya membusuk.
Kolam atau rawa di belakang rumah makan
Kamang yang dulu dipagari kini tak terawat dan ditumbuhi rumput liar, pagar
yang dulu gagah mengelilingi kolam, kini di depan masjid At-Hijriah telah
rubuh. Begitupun jalan keluar dari terminal atas menuju Jalan ZA Pagar Alam
kini dihiasi lubang yang menuntut kehati-hatian.
Sementara di ujung jalan menuju Jalan
Kapten Abdul Haq atau dekat pasar tempel Rajabasa, truk sampah mangkal dengan
muatannya yang berceceran di sekelilingnya menyebabkan bau menyengat yang
membuat pusing bahkan mual saat aromanya terbawa angin masuk ke terminal,
apalagi saat berpapasan hendak keluar masuk terminal melalui jalan ini.
Janji-janji modernisasi yang pernah
diumbar Gubernur Lampung di depan Menteri Perhubungan kala itu, yaitu kehadiran
Mall Pelayanan Terpadu, hingga kini hanya tinggal wacana.
Dan di tepi jalan masuk di dalam areal
terminal Rajabasa, stom baby parkir, siap meratakan tambalan aspal yang besok
lusa akan rusak lagi. Siklus “rusak–dibetulkan–rusak lagi” itu menjadi simbol
betapa kita pandai menambal, tapi salah strategi. Sudah tahu yang akan lewat
bukan hanya bus kecil dengan muatan kecil tetapi bus besar dan truk dengan
muatan besar, pemadatan masih pakai stom baby, ya besok rusak lagi.
Terminal Rajabasa bukan sekadar
terminal. Ia adalah cermin yang memantulkan wajah birokrasi yang senang
memotong pita peresmian tapi abai pada rumput liar; wajah pemerintah yang fasih
menyebut “kenyamanan penumpang” tapi membiarkan sampah berbau busuk di pintu
masuk. Jika terminal—gerbang pertama kota saja kita biarkan kumuh, bagaimana
kita menatap wajah besar Lampung?
Mungkin, di balik pagar megah dan papan
nama kementerian, Rajabasa masih menyimpan harapan. Harapan bahwa suatu hari
nanti, ia tak lagi hanya menjadi tempat bus AC, mobil online, ojek pangkalan,
dan ojek online berteduh. Bahwa terminal ini bisa menjadi ikon yang menyambut
setiap tamunya dengan wibawa—perpaduan antara moda transportasi online dan
offline yang ramah pada masyarakat pengguna, ramah kepada driver, dan ramah
kepada pemilik moda.
Sampai saat itu tiba, setiap kali saya
melewati Rajabasa dan mencium bau sampah di pintu masuk, saya teringat: inilah
bau dari pajak rakyat yang diabaikan. Dan entah kenapa, bau itu lebih menusuk
daripada asap knalpot bus yang lalu lalang di tempat ini.

Post a Comment