Negeri yang Berjalan oleh Bisik

 


Tidak semua pembisik sungguh memahami apa yang dibutuhkan masyarakat. Ada yang cerdas, namun tak peka. Ada yang pandai berkata-kata, namun hatinya tidak terlatih membaca jerit sunyi rakyat. Mereka membawa data yang dipetik sekenanya, analisis yang dijahit dari prasangka, bukan dari kejernihan nurani. Mereka mengajarkan jalan pintas ketika rakyat justru menunggu jalan terang. Dari tangan dan kata-kata mereka sering lahir kebijakan yang tampak gagah di podium, tetapi rapuh saat sampai di pangkuan masyarakat. Dari sinilah negeri perlahan mulai berjalan bukan oleh suara rakyat, melainkan oleh bisik-bisik yang menutup jalan kebenaran.

 

Dalam setiap lingkar kekuasaan, selalu ada sosok yang tak tampak oleh rakyat: para pembisik. Ada yang diberi nama resmi Tenaga Ahli, ada pula yang datang dari masa lalu sebagai teman seperjuangan, tim sukses yang dahulu rela begadang demi kemenangan. Setelah kursi kekuasaan didapatkan, mereka duduk di belakang tirai—senyap namun dekat, tak memimpin namun memengaruhi. Setiap bisikan mereka mungkin lembut, namun dalam lembut itu tersembunyi kemampuan menggoyahkan arah sebuah negeri.

 

Namun sering kali bisikan itu bukan lahir dari kebutuhan rakyat, melainkan dari kebutuhan mempertahankan kedekatan. Dalam menyampaikan persoalan dan alternatif solusi, terlalu banyak yang memilih berkata: “Yang penting Bapak senang.” Kalimat yang terdengar sederhana namun bekerja seperti racun tanpa bau; ia menumpulkan kejujuran, melemahkan keberanian, dan menutup telinga pemimpin dari suara rakyat yang jauh lebih penting. Negeri pun mulai berjalan pincang, bukan oleh kehendak rakyat, tapi oleh kepentingan segelintir orang yang pandai merayu telinga kekuasaan.

 

Dari sinilah kerusakan sering tumbuh diam-diam. Ketika pemimpin hanya mendengar apa yang menyenangkan telinganya, negeri berjalan seperti tubuh yang dibius: tidak terasa sakitnya, tetapi lukanya makin dalam. Masalah dianggap selesai hanya karena dilaporkan selesai. Pembangunan dianggap tuntas hanya karena dipotret dan diunggah. Rakyat tetap memikul derita dari keputusan yang dibuat bukan oleh kejujuran data, melainkan oleh kelembutan palsu para pembisik.

 

Lebih kelam lagi, banyak pembisik yang tidak hanya menyampaikan saran; mereka juga berdagang kedekatan. Mereka menjadi makelar proyek, pengatur anggaran, bahkan pengumpul keuntungan pribadi. Banyak dari mereka memang cerdas, tetapi kecerdasan tanpa kemapanan moral sering menjelma menjadi kelicikan. Ruang yang seharusnya diisi etika berubah menjadi pasar gelap transaksi pengaruh, dan kepentingan publik terlempar dari meja pembicaraan.

 

Di ruang-ruang tertutup pemerintahan, sering terdengar perbincangan yang lebih sibuk menentukan “siapa mendapat apa” daripada “rakyat membutuhkan apa.” Padahal tugas utama pembisik adalah menajamkan mata pemimpin agar melihat kenyataan apa adanya: petani yang bertahun-tahun menunggu harga wajar, nelayan yang kembali dari laut tanpa perlindungan, keluarga miskin yang menunggu bantuan bukan sebagai belas kasihan, tetapi sebagai hak.

 

Namun kita tetap harus adil: tidak semua pembisik memanfaatkan kedekatan. Ada yang tulus menjaga, yang bekerja diam-diam demi kebaikan negeri, yang menegur meski resikonya dimusuhi, yang tetap memegang nurani meski tidak populer. Tetapi suara mereka kini semakin tenggelam oleh riuh orang-orang yang lebih lihai menghibur telinga pemimpin daripada mengingatkannya akan kebenaran.

 

Bangsa ini tidak kekurangan orang pandai. Yang kita kekurangan adalah orang pandai yang jujur; yang berani berkata pahit meskipun pahit itu dapat mengakhiri kedekatannya dengan kekuasaan; yang lebih mencintai rakyat daripada kenyamanan berdiri di sisi sang pemimpin. Dan seorang pemimpin yang matang akan mampu membedakan mana bisikan nurani dan mana bisikan kepentingan; mana yang lahir dari keberanian, dan mana yang lahir dari ketakutan kehilangan peran.

 

Pada akhirnya, rakyat hanya menginginkan satu hal: pemimpin yang mengarahkan negeri dengan mata hati yang jernih, bukan dengan telinga yang dipenuhi oleh bisik-bisik yang menggerogoti keadilan dari dalam. Negeri ini hanya akan maju bila pemimpinnya mendengar suara rakyat, bukan suara yang paling dekat dengan kursi kekuasaan.

 

Pantun Penutup; Ke sungai pagi menimba air, sejuk mengusap wajah lelah; bila pemimpin mendengar suara yang benar, teranglah negeri, hilanglah gelap yang menyalah.

 

Post a Comment

أحدث أقدم