Parpol dan Kehilangan Rasa Malu



Ada satu keganjilan yang makin hari makin terasa di negeri ini: partai politik tumbuh subur, tetapi rasa malu justru mengering. Parpol seharusnya menjadi ladang persemaian gagasan, tempat nilai dirawat dan kader ditempa. Namun yang sering kita saksikan hari ini, justru sebaliknya—ia melahirkan pejabat-pejabat oportunis, pragmatis, dan entah mengapa, begitu kebal terhadap rasa malu.

 

Mereka piawai membaca arah angin, cekatan berpindah posisi, fasih mengucap jargon perubahan, tetapi gagap ketika diminta menjelaskan apa yang sungguh mereka perjuangkan. Kekuasaan menjadi tujuan, bukan alat. Jabatan menjadi altar, bukan amanah. Dalam situasi seperti ini, politik kehilangan dimensi etiknya; ia tinggal hitung-hitungan kursi dan peluang.

 

Yang lebih membagongkan, pengkaderan di partai politik kita kerap berubah menjadi lelucon yang tak lucu. Ada yang baru dua hari tercatat sebagai kader, tahu-tahu sudah menjadi ketua. Ada pula yang sejak zaman poster masih hitam-putih, tetap setia menjadi ketua—seumur hidup. Demokrasi internal berubah menjadi mitos yang diceritakan dari podium ke podium, tetapi jarang dipraktikkan di ruang rapat.

 

Kaderisasi yang sehat seharusnya melahirkan kepemimpinan melalui proses: belajar, berdebat, kalah, bangkit, dan matang. Namun yang terjadi sering kali adalah jalan pintas: kedekatan, kekuatan modal, atau sekadar restu segelintir elite. Akibatnya, partai tidak lagi menjadi sekolah politik, melainkan mesin kekuasaan yang bisa dioperasikan siapa saja yang punya akses dan ongkos.

 

Dalam kondisi demikian, jangan heran bila sulit menemukan partai yang benar-benar ideologis. Yang tampak menonjol justru praktik bagi-bagi kekuasaan. Koalisi dibangun bukan atas dasar kesamaan visi, melainkan kecocokan kepentingan. Ideologi dipakai sebatas aksesori kampanye—indah di spanduk, menguap setelah pelantikan.

 

Padahal ideologi bukan sekadar kata besar. Ia adalah kompas. Tanpanya, politik berjalan seperti kapal tanpa arah: mudah berbelok, mudah karam. Ketika ideologi ditinggalkan, kebijakan pun mudah dinegosiasikan, bahkan ditukar. Yang tersisa hanyalah transaksi.

 

Kita bisa melihat wajah asli politik itu saat bencana datang. Ketika Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat diuji oleh musibah, banyak partai justru mengecilkan badan. Spanduk dicopot, suara direndahkan, empati ditakar dengan cermat agar tak mengganggu kalkulasi politik. Ada yang datang sebentar untuk foto, lalu pergi. Ada pula yang memilih diam, seolah penderitaan rakyat adalah urusan di luar kalender politik.

 

Di saat seperti inilah seharusnya partai hadir tanpa syarat—bukan sebagai pemilik logo, melainkan sebagai sesama manusia. Bencana tidak meminta afiliasi. Air bah tidak bertanya kartu anggota. Tetapi politik kita terlalu sering sibuk menjaga citra, takut salah langkah, takut kehilangan simpati yang sebenarnya hanya angka.

 

Tan Malaka, jauh sebelum republik ini mapan, telah mengingatkan bahwa perjuangan kebangsaan harus bertumpu pada kesadaran rakyat dan keberanian berpikir merdeka. Baginya, nasionalisme bukan sekadar cinta tanah air, melainkan keberpihakan yang nyata kepada kaum tertindas. Politik tanpa keberanian moral, dalam pandangannya, hanya akan melahirkan elite yang jauh dari rakyat.

 

Pesan Tan Malaka tentang wawasan kebangsaan terasa relevan hari ini: bahwa kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari penjajah, tetapi juga dari mentalitas feodal, oportunisme, dan ketergantungan pada kekuasaan. Ia menuntut politik yang berakar pada penderitaan rakyat, bukan pada kenyamanan elite.

 

Jika parpol ingin kembali dipercaya, tidak ada jalan lain selain berbenah dari dalam: memulihkan kaderisasi, menegakkan demokrasi internal, dan menghidupkan kembali ideologi sebagai penuntun. Lebih dari itu, parpol perlu belajar satu hal yang tampak sederhana tetapi mahal harganya: rasa malu.

 

Sebab tanpa rasa malu, politik akan terus menjadi panggung sandiwara. Dan rakyat, lagi-lagi, hanya kebagian peran sebagai penonton yang lelah—menunggu kapan tirai ini benar-benar ditutup, dan pertunjukan baru yang lebih jujur dimulai.

Post a Comment

Previous Post Next Post