Cucokh Mandan, Upak, dan Selimpok Bungking Kudapan “Berenergi” Khas Lampung Barat

Foto : Istimewa

        Dari beberapa kudapan khas Lampung Barat tersebutlah  cucokh mandan, upak, selimpok bungking yang selalu menjadi pencarian saya saat mulang mit pekon/pulang ke Liwa, selain bentuk dan rasanya yang khas, ketiga kudapan ini mengingatkan saya pada perjalanan hidup saya dan bahkan perkembangan kemajuan Lampung Barat.

Betapa tidak, ketiga kudapan (Cucokh mandan, upak, dan selimpok bungking) ini mengingatkan saya pada masa kecil saya dan mungkin masa kecil anak-anak Liwa generasi 70-80 an.  Saat itu, ketiga kudapan ini selain hadir saat acara-acara adat dan hari-hari besar seperti lebaran Idul Fitri dan Idul Adha,  juga selalu hadir saat penanoman (musim tanam) dan penggetasan (musim ngetam/panen) padi baik di sawah maupun di ladang dimana anak-anak se usia saya waktu itu, ya, sekira usia 7 tahun dengan suka cita dan sukarela turut bebatok (gotong rotong)  membantu nugal (melubangi dan memasukkan bibit padi ke lubang yang telah di tugal) untuk padi ladang dan membawa buni (bibit padi hasil semaian) ke tengah sawah di mana para orang tua melaksanakan kegiatan bebatok (bergotong rotong) nanam padi. 

Begitu juga saat ngegetas (ngetam/panen), saya dan anak-anak se-usia saya akan hadir untuk mengangkat sengol,  sengol adalah kumpulan padi hasil ngetam yang di kumpulkan dan di ikat menjadi satu menggunakan batang padi itu sendiri yang besar kecilnya sangat tergantung dari besar kecilnya genggaman tangan orang yang melakukannya.   Kalau di ladang, maka saya akan memakai bebalang (alat angkut yang terbuat dari rotan dengan di pikul) untuk membawanya sampai ke tetungkuan (tempat/alat yang terbuat dari bambu dan batang kopi) tempat menyusun dan mengeringkan padi hasil ngegetas sebelum di bawa ke balai (lumbung) yang ada di pekon (kampung),  dan kalau di sawah saya akan  memakai biduk yang bentuknya sangat berbeda dengan jukung yang sering kita temui di pantai-pantai, walaupun sama-sama di buat dari kayu utuh, biasanya biduk dibuat persegi empat menyerupai kotak  dan pada bagian depannya di buat bonggolan yang biasa tempat memasang tali untuk menariknya,  maklumlah pada saat ngegetas  air sawahnya tidak kering seperti saat ini sehingga dengan di buatkan jalur biduk bisa jalan dan ikan-ikan tetap berkembang biak. 

Musim penanoman biasanya akan dimulai dengan belangok (mengambil ikan di sawah secara beramai-ramai), karena ikan hasil belangok biasanya akan di pakai untuk lauk saat babatok (gotong royong) nanom.  Disini biasanya saya akan lomba dengan adek atau kakan saya untuk mendapatkan ikan yang paling besar atau paling banyak, siapa yang dapat paling banyak atau paling besar hadiahnya boleh manggang ikan tersebut untuk di makan sendiri saat belangok selesai. Bergumul dengan air yang bercampur lumpur, berkejar-kejaran dan saling berebut ikan yang berlarian, sungguh suasana kini mulai langka. 

   Selain belangok penanoman biasanya diawali juga dengan ngambuk (mencabut) buni (sebutan bibit padi yang siap di tanam), dan  baru akan selesai bila semua buni yang di cabut dari pembunian (tempat nyemai buni) sudah di tanam semua di sawah-sawah yang sudah di siapkan, lalu menghijau dan debit air sudah di naikkan lagi, untuk proses ini memakan waktu antara 2 – 3 minggu sangat tergantung dengan luasan sawah dan jumlah orang yang dikerahkan untuk bebatok  (bergotong rotong).  Sedangkan masa penggetasan biasanya di mulai dengan membikin tetungkuan, ngegetas, menunggu padi kering di tetungkuan, dan terakhir adalah bebatok (gotong rotong) membawa sengol padi dari tetungkuan dan menyusunnya di balai (lumbung)  sebelum nantinya akan di ilik yaitu proses memisahkan tangkai dengan padi dan di jemur lalu di cecak (tumbuk) dan dimasak.  Semua berjalan secara organik; tidak ada pupuk kimia, tidak mesin potong, tidak mesin giling dengan pemutih, dan yang paling penting lagi hidup rukun guyub dengan warga pekon terjalin, mungkin inilah yang disebut dengan energi sosial yang sesungguhnya.

Oh ya.. selain membantu orang tua ngatat segol (membawa segol) pada musim pengetasan saya juga akan memasang kriding (bubu) atau tajur untuk menangkap ikan gabus. Hasil masang kriding atau najur akan digunakan menjadi lauk ngegetas.  Di sela-sela membantu orang tua, saya bersama anak-anak se usia saya yang hobi mikat (menjerat burung dengan menggunakan burung sebagai pemikatnya),   juga akan mikat burung bondol uban atau emprit yang selalu banyak pada saat musim panen padi. Selain mikat saya juga akan mencari salayan (sarang) bondol uban dan atau emprit, dan jika ketemu akan memasang salang (alat perangkap  yang di buat dari bambu) atau lapun (alat perangkap yang di buat dari tali rapia yang dibuat menyerupai jaring untuk membawa bola tetapi berukuran kecil, di buat dengan cara menjalin temali yang telah di pulas dengan hitungan ganjil 5, 7, atau 9 menjadi sebuah jaring.               

Kehadiran Cucokh, Upak, Selimpok Bungking Kini

Penanoman, penggetasan, belangok, najor, bebatok, mikat, dan ngelapun  seperti saat saya masih kecil  kini hampir tak di jumpai lagi, kalau pun masih ada tak akan selengkap dan se berkesan waktu itu. Hasil panen sekali setahun, tidak ada yang di jual dan rata-rata cukup di makan satu kelaurga selama setahun pula.  Kini  padi pendek dengan umur pendek seolah membuat masyarakat untuk bertindak praktis pula, nanom di upahkan, ngegetas berganti dengan ngarap/babat, hasil babat langsung di keret, dan terakhir gabah langsung di jual ke penggilingan.  Karena padi pendek sawah pun harus di keringkan dan  padi semprot dengan pestisida, ikan pun punah.  Begitu juga dengan bebatok (gotong royong) dan balai (lumbung) yang kosong dan lama kelamaan menjadi rusak dan hilang. Tapi masih ada yang patut di sukuri karena cucokh mandan, upak, dan seilimpok bungking masih eksis dan tetap menjadi salah satu kudapan khas Lampung Barat.

Cucokh mandan, kudapan yang bahannya harus dari gula aren pilihan berkualitas tinggi dan tepung beras yang berkulitas pula kini mulai banyak di jual di gerai-gerai pemjual oleh-oleh khas Lampung Barat di seputaran Balik Bukit, Batu Brak, dan Belalau.  Lalu bagaimana dengan upak (opak), kudapan berbahan singkong ini yang sepintas lalu tidak berbeda dengan opak-opak yang bisa di temui di pasar-pasar tradisional di Bandar Lampung, namun jika di perhatikan dengan seksama lalu dirasakan pasti akan dirasakan bedanya.  Tektur dan  rasa singkongnya bercampur daun bawang yang khas serta bentuknya yang bundar dan ada pula yang persegi empat seolah mengatakan bahwa upak ini memang berbeda dengan opak yang biasa dijumpai di tempat lain, kondisi ini seolah menguatkan bahwa wajar jika ia memang berkelas makanya selalu hadir saat acara adat dan hari-hari besar.  Begitu juga dengan selimpok bungking; kudapan berbahan baku ketan bercampur pisang, dan parutan kelapa di bungkus dengan daun pisang berbentuk memanjang atau segitiga lalu di kukus ini juga tiada duanya.  Mungkin kita akan banyak menjumpai selimpok bungking di Bandar Lampung, yang oleh pedagangnya di namai lemet, lagi-lagi rasanya akan beda ketika kita menikmati selimpok bungking dari Lampung Barat, mungkin karena jenis pisangnya; karena menurut emak saya (almarhumah) saat dulu masih hidup tidak semua jenis  pisang bisa di jadikan selimpok bungking.

Namun sayang, ketiga kudapan yang nikmat yang menurut lagi-lagi  emak saya (almarhumah) harus dibuat dengan gula aren yang super so pasti menyehatka ini belum bisa kita jumpai di seluruh wilayah Lampung Barat.  Beberapa sahabat yang pernah saya kasih oleh-oleh ketiga kudapan ini saat saya abis mulang mit pekon, beberapa kali mengungkapkan kekecewaannya karena saat yang bersangkutan berkunjung ke Lampung Barat dan hanya sampai wilayah kecamatan Sekincau tidak menemukan kudapan khas ini, bahkan baru-baru ini seorang kerabat yang mampir ke rest area Skala Bekhak Kecamatan Sumber Jaya juga menyayangkan karena di tempat yang ramai di datangi pengunjung ini belum menyediakan kudapan khas Lampung Barat khususnya ketiga kudapan ini.

Cucokh Mandan, Upak, dan Selimpok Bungking Kedepan

Saya tidak pernah membayangkan bahwa ketiga kudapan ini dibuatkan tugu seperti tugu kayu ara di Pasar Liwa, tugu sakura dan tugu kopi di Sekuting, tugu pengantin di Rest Area Sumberjaya, atau tugu tani di Sukau atau di buatkan festival seperti sekura.  Saya hanya membayangkan bahwa ketiga kudapan ini tetap eksis dengan kemasan yang memikat memenuhi standar kesehatan dan dengan harga yang variatif, dan pemasarannya yang tidak hanya di Lampung Barat sehingga saudara saya yang berada di Palembang, Tanjungkarang, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan lain-lain akan dengan mudah mendapatkannya.       

Saya sangat yakin, sesuatu yang  di mulai dan dikembangkan dengan energi positif   pasti akan banyak di sukai dan di cari oleh banyak orang, sebagaimana saya menyukai dan selalu mencari cucokh mandan, upak, dan selimpok bungking yang selalu mengingatkan saya pada pekon, indahnya masa anak-anak kala itu, energi babatok yang dulu mengisi kehdupan masyarakat Liwa yang kini sudah mulai tergerus, serta hal-hal yang selalu menggiring saya untuk mulang mit pekon  atau munggak  istilah masyarakat Batu Ketulis, Belalau, dan Batu Brak,  dan mudik istilah masyarakat jaman now. 


           Cucokh mandan, upak, dan selimpok bungking hanya tiga dari sekian banyak kudapan khas Lampung Barat yang membuat hati saya selalu terpaut pada kenangan yang menyertainya, bagaimana indahnya daratan  Lampung Barat yang subur di tumbuhi berbagai komoditi yang mendunia seperti kopi.  Saat menikmati ketiga kudapan ini saya juga terbayang akan perempuan-perempuan di pekon yang rajin penuh dedikasi pada suami, keluarga, dan adat istiadat.  Terbayang seorang perempuan istimewa yang selalu saya panggil emak; yang memakai sarung yang sangat gesit tak kalah gesitnya dengan perempuan jaman now yang bercelana jeans membawa paruh (bambu yang di ikat rotan/alat untuk membawa air bersih dari sawah kerumah), dengan muka ceria membantu suaminya saat penanoman, pengegetasan, lalu membuat dan menyiapkan kudapan lezat lagi sehat seperti cucokh mandan, upak, dan selimpok bungking.  Tabik            

Post a Comment

Previous Post Next Post