Pengemudi dan Pendamping Desa



Suatu hari di sebuah lapangan kosong saya mengajari anakku mengendarai mobil.   Setelah menyampaikan teknik dan hal-hal yang harus diperhatikan dalam mengendara, selanjutnya saya mengajak anakku bertukar posisi duduk untuk memulai belajar.   Sesaat sebelum anakku mulai menjalankan kenderaan seperti yang saya ajarkan,  saya melihat anakku melakukan pengamatan situasi dan kondisi lapangan khususnya di sekitar kenderaan.     

Tidak terlalu lama, saya persilakan anakku menjalankan kenderaan dengan melaksanakan tata urutan atau tahapan seperti yang telah saya sampaikan.  Dan seperti yang sudah saya duga sebelumnya,  begitu mobil di jalankan ndat ndut ndat nduuut anakku bilang aaa..aw kok malah  mesinnya  mati.  Anakku terlihat grogi, lalu  anakku memulai lagi dan breeeng dengan agak meraung kenderaanmu melaju perlahan ndat ndut  layaknya orang tua yang berjalan tertatih-tatih, bergeser sekitar 3 meter  lalu mesin mati lagi, begitu seterusnya.  Dalam hitungan  4 kali berulang, ahirnya anakku bisa membawa lalu kenderaan dengan memutar-memutar di lapangan. 

Setelah beberapa kali putaran, saya mengajak anakku menyudahi bejalar  menyetir mobil pada hari itu,  kami kembali bertukar posisi kembali dan keluar lapangan menuju arah jalan pulang. Dalam perjalanan pulang kerumah anakku membuka obrolan; anakku  menangkap sebelum memulai menjalankan mobil  harus ada teori yang di jadikan dasar,   setelah teorinya di yakini barulah menghitung segala kemungkinan atas apa yang akan terjadi saat kegiatan di lakukan,  terus berlatih  untuk melatih insting  dan untuk menambah pengalaman baik,  baru nanti dari pengalaman baik itu akan melahirkan ilmu baru yang akan dipakai saat mengemudi.  Mendengar apa yang disampaikan anakku, saya  menganggukkan.

Sesaat pikiran saya terbayang pada seorang kawan yang dulu pernah saya ajari juga dan kini sudah sangat mahir mengendarai mobilnya.  Sebelum kawanku mahir seperti sekarang, proses yang dia lalui kurang lebih sama dengan apa yang di alami anakku saat ini.   Proses menuju mahir di lalui kawan dengan fase memahami teori – praktek - menganalisa – menyimpulkan – praktek begitu selanjutnya sampai mahir dan sampai pada suatu ketika beliau membuat  Surat Ijin Mengemudi (SIM), hal ini beliau lakukan bukan karena takut di tilang polisi kalau ada razia tetapi dia merasa bahwa memiliki SIM adalah eksistensi/menunjukkan kepada orang bahwa dia memang bisa mengendarai mobil yang di keluarkan oleh lembaga negara,  jaminan kenyamanan kepada orang yang akan dia bawa selama di menyetir, dan SIM bisa menjadi salah satu indikator tahapan kemampuan dalam dia mengemudi.   

Kawan ini menganggap bahwa mengemudi adalah keterampilan yang banyak dipengaruhi oleh jam terbang selain kematangan emosional yang semua bersumber dari : teori/ilmu, latihan, dan pengalaman selama menyetir. Oleh karenanya tidak ada alat ukur yang bisa menyatakan tingkat kemampuan seorang membawa kenderaan selain dari SIM, katakanlah untuk mobil : ada SIM A pribadi, SIM A Umum, SIM B pribadi, SIM B Umum, dan SIM Khusus untuk jenis kenderaan atau mesin tertentu, serta SIM C hanya untuk kenderaan bermotor saja.  Pernah kawan ini mengatakan; hanya dengan melihat SIM lah kita tahu dengan mudah dan cepat menilai kemampuan seseorang membawa kenderaan yang sesungguhnya, kecuali kalau SIM yang di pakai hasil nembak melalui calo/KKN dengan oknum petugas. Kata dia

Pada kesempatan lain kawan ini juga menambahkan, menurutnya system yang sudah terbangun begitu adil; bagi yang hanya membawa penumpang satu orang cukup mempunyai SIM C dan seterusnya semakin banyak tanggungjwab SIM nya pun akan berbeda.  Keterampilan atau kemampuan pengemudi yang dibuktikan dengan SIM  memegang peranan penting, bahkan terkadang lebih penting dari kondisi kenderaannya sendiri.  Karena bagi sopir yang mahir, apapun kondisi kenderaan dan medan  yang akan dilalui baginya tidak ada masalah.  Sopir atau pengendara yang sesungguhnya bukan mareka yang pintar mengebut walaupun masih muda atau sebaliknya orang tua yang jalannya pelan sekali sehingga orang yang ada di dalam kenderaan akan tertidur pulas ketika bersamanya.  Sopir yang sesungguhnya menurut kawan ini adalah mareka-mareka yang mengkombinasikan pemahaman teori mengendarai mobil, kondisi kenderaan, dan kebutuhan isi kenderaan semisal menyesuaikan kecepatan dengan targetan waktu yang di harapkan penumpang, kondisi kenderaan, dan kondisi jalan.   Pernah kita mendengar anak di bawah umur mengendarai mobil umum berpenumpang dan beberapa diantaranya mengalami kecelakaan lalu lintas, itu tadi karena dia hanya mengandalkan bisa bawa tetapi belum terampil/mahir karena umur dan jam terbangnya belum ada. Tambah kawan..

Pendamping Desa

Menyimak pada saat proses belajar dan mengemudikan mobil yang di alami dan anakkku dan kawan yang  sudah sangat mahir,  ternyata banyak kesamaannya dengan  dengan apa yang harus di lalui dan dilakukan ketika seseorang memilih pendamping/fasilitator/pelaku pemberdayaan masyarakat sebagai profesi.

Layaknya sopir dan profesi-profesi lain pada umumnya, menjalani profesi sebagai pendamping masyarakat juga membutuhkan keterampilan. Tiga aspek yang  disasar agar muncul dari diri pendamping saat pelatihan awal  (Pengetahuan, sikap, dan keterampilan) hanyalah pengantar untuk memunculkan ketarampilan yang sesungguhnya.  Mampu membawa masyarakat untuk memetakan dan memotret kondisi masyarakat serta menempatkan masyarakat sebagai narasumber yang akan menghantarkan mareka pada perubahan adalah kemampuan yang harus hadir dalam diri dan pribadi pendamping saat berada di tengah-tengah masyarakat.   

Masih menyerupai profesi sopir, tingkatan keterampilan juga menjadi ukuran dalam menetapkan  jumlah gaji yang akan diproleh sang pendamping, tentunya melalui serangkaian asesmen selain dengan melihat usia dan jam terbang. Dan disinilah salah satu bentuk hadirnya negara dalam pemberdayaan masyarakat selain memastikan sang pendamping memiliki “SIM” agar penumpang yang di bawanya nyaman dan aman. 

Sebaliknya bagi sang sopir; hendaknya membuat “SIM” bukan karena takut di tilang, tetapi lebih di dorong karena untuk memberikan rasa  nyaman kepada masyarakat dan untuk mengetahui sejauhmana kemampuannya dalam membawa kenderaan (baca; memfasilitasi).  Dalam kontek ini; tua atau umur tentu bukan jaminan, tetapi sebaliknya yang muda tentu harus taat azaz dan melewati proses yang dapat dipertanggungjawabkan karena “SIM” tidak mungkin di berikan kepada mareka yang belum cukup umur.

Sama seperti pengemudi yang terampil dirindukan oleh penumpangnya, seorang pendamping terampil juga pasti dirindukan oleh masyarakat.  Hal ini bisa terjadi bukan hanya karena sang pendamping mampu memfasilitasi kemauan penumpang (baca; cita-cita masyarakat yang di dampingi), tetapi pendamping yang terampil juga tidak akan egois yang akan berakibat pada rusaknya “kenderaan”,  oleh karenanya “sopir” yang terampil pasti akan menyesuaikan kecepatan dengan kondisi kenderaan (baca; visi, misi program).  Begitu selanjutnya “sopir” yang terampil pasti akan pandai mengendarai kenderaan di segala medan (baca; kondisi sosial masyarakat tempat pendampingan).

Bila dalam perjalanan ditemukan seorang “sopir” selalu menyalahkan jalan yang ia lalui, kenderaan yang ia bawa, atau penumpangnya yang tidak bisa ia kendalikan,   Maka  disinilah perlunya sang sopir intropeksi kemudian membekali diri melalui serangkaian proses  untuk meningkatkan kapasitas  dan kompetensinya.  Dan sebaliknya bagi  masyarakat  penerima jasa “sang sopir” tentu harus menjatuhkan pilihan, terus ikut “sopir” yang tidak bisa menimbulkan rasa nyaman dengan segala resiko, atau turun di tengah jalan mencari dan ikut dengan “sopir” yang lebih terampil.   Masyarakat Desa berhak untuk begitu bila dipandang perlu.    

Mewujudkan nawacita ketiga membangun indonesia dari pinggir menuju terwujudnya trisakti tentu sangat dipengaruhi oleh hadirnya pendamping-pendamping yang terampil, lebih daripada itu bahwa keuangan negara yang di habiskan untuk membiayai pendamping tentu harus dimaknai sebagai dana pembangunan yang harus dipergunakan secara efektif, efisien, dan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai pemilik anggaran yang sesungguhnya karena sesungguhnya prinsip aspiratif, transparan, dan akuntabilitas bukan hanya berlaku bagi masyarakat desa tetapi juga berlaku bagi pendamping Desa..

 

(Tulisan ini telah dimuat di Harian Umum Lampung Post Kamis, 15 September 2016 ) 


Post a Comment

Previous Post Next Post