MEMBACA dan mendengar
berita tentang kunjungan Gubernur Lampung ke terminal induk Rajabasa, dengan
dalam berita tersebut Gubernur Lampung Bapak M Ridho Ficardo berjanji akan
menjadikan Terminal Rajabasa sebagai terminal modern yang jauh dari kesan
menyeramkan, aman, dan nyaman sama dengan dengan terminal-terminal lainnya di
Indonesia, membuat saya teringat dengan tulisan saya yang dimuat di Harian Umum Lampung Post.
Dalam tulisan yang saya beri judul Terminal Rajabasa Dulu, Kini, dan Akan
Datangtersebut saya menceritakan bagaimana Terminal Rajabasa yang
pada awalnya sangat bersahabat, bagi kami anak indekos pada era 1980-an, selain
tempat naik-turun mobil ketika dari dan akan pulang kampung, tempat yang asri
karena dilengkapi dengan taman tempat duduk, kolam ikan yang terawat, juga
sebagai tempat mengambil kiriman yang dititipkan lewat sopir bus dari orang tua
kami di kampung.
Fase berikutnya Terminal Rajabasa berubah menjadi tempat yang
tidak nyaman; ada oknum berbaju krem yang meminta retribusi yang terkadang di
luar kewajaran (selain di pintu masuk juga meminta di atas bus) dan terkadang
tanpa uang kembali, taman dan tempat duduk-duduk hilang dijadikan tempat parkir
bus, kolam di bagian bawah antara terminal bus luar dan angkutan dalam kota
dipagar tetapi justru terlihat tidak terawat dan kotor, harga tiket yang
dipungut oknum petugas agen bus kerap melebihi jumlah yang tertera pada papan
informasi yang dipasang di depan kantor terminal, pedagang asongan naik bus dan
kerap memaksa penumpang untuk membeli barang dagangannya di luar batas
kewajaran, para kuli panggul yang memasang tarif tidak pakai kira-kira di luar
batas, penumpang kerap kecopetan. Pada bagian akhir tulisan, saya memimpikan bahwa Terminal Rajabasa
yang waktu itu masih direnovasi yang belum selesai, setelah difungsikan akan
menjadi tempat yang menerapkan nilai-nilai luhur budaya ulun Lampung; piil pesengiri, juluk adok, nemui nyimah,
nengah nyappur, sakai sambayan diterapkan melalui pemasangan simbol artibut dan
aktivitas petugas yang ada di terminal sehingga kesan dan rasa tidak aman dan
tidak nyaman di Terminal Rajabasa yang merupakan terminal kebanggaan masyarakat
Lampung dan terbesar di gerbang Sumatera akan hilang dan berganti dengan situasi
dan kesan aman dan nyaman.
Membayangkan Janji Gubernur
Kembali
pada membaca berita dan mendengar statement Gubernur
saat meninjau Terminal Rajabasa ketika menghadapi arus mudik Lebaran 1438 H
yang baru saja berlalu, saya kembali berpikir-pikir, bertanya-tanya dalam hati,
dan setengah berkhayal seperti apa terminal modern ke depan yang dijanjikan Pak
Gubernur Lampung. Mengingat, pascarenovasi tidak banyak hal yang berubah
di Terminal Rajabasa selain gedung yang megah, bahkan sebaliknya terminal jadi
sepi, bus-bus lebih suka menaikkan penumpang di terminal bayangan, seperti di
lampu merah pramuka, Bundaran Hajimena, Jalan Soekarno-Hatta mulai dari sekitar
lampu merah DAMRI sampai depan wisma haji, di bawah flyover Way Kandis,
di bawah flyover Way
Halim, di sekitar flyover Antasari,
setelah Panjang, Jalan Imam Bonjol Kemiling setelah Terminal Kemiling, sampai
gerbang perumahan BKP.
Beberapa kalimat tanya mengiringi kalimat modern tersebut.
Apakah kalimat modern dimulai dari plang papan nama Terminal Rajabasa yang kini
berada di dua titik; di Jalan ZA Pagaralam/depan Kantor PU dan di Jalan Abdul
Haq/dekat pasar tempel Rajabasa. Plang papan nama ke depan dibuat elegan dan
ramah dan memungkinkan sebagai tempat berfoto ria, tidak seperti saat ini yang
terkesan seadanya dan jauh dari kesan bahwa terminal ini adalah terminal besar
yang berada di Provinsi Lampung yang kaya akan khazanah budaya dan adat
istiadat, memiliki aksara, dan memiliki hasil bumi yang mendunia, dan memiliki
destinasi dan event wisata yang tidak kalah dengan
Pulau Dewata yang membutuhkan promosi secara terus-menerus.
Apakah Terminal Induk Rajabasa ke depan juga akan menyediakan lahan parkir yang
nyaman dan aman? Faktanya banyak penumpang, terutama jalur Rajabasa—Kotaagung,
Rajabasa—Metro, Rajabasa—Sukadana, Rajabasa—Bandarjaya/Kotabumi adalah
penumpang pulang-pergi (PP) yang untuk menuju dan saat turun dari bus
menggunakan kendaraan pribadi. Hal inilah yang mungkin menyebabkan munculnya
terminal bayangan di Imam Bonjol dan Bundaran Rajabasa karena di dua tempat ini
ada tempat penitipan kendaraan yang aman dan nyaman. Saya membayangkan jika
saja pihak pengelola Terminal Rajabasa menyediakan lahan atau gedung parkir
yang aman, beberapa penumpang yang kini naik dari terminal bayangan akan
berpindah naik dari terminal dan dengan sendirinya terminal bayangan akan sepi
dan lama-kelamaan akan hilang.
Apakah kalimat modern yang Bapak Gubernur maksudkan di dalamnya ada loket
pembelian tiket satu pintu dan bisa diakses di mana-mana untuk semua tujuan bus
layaknya di bandara, apa pun nomor penerbangannya loket tiketnya tetap satu dan
bisa dibeli lewat online di mana pun
dan kapan pun sehingga kerinduan masyarakat akan hadirnya pemerintah dalam
mengatasi pelanggaran tarif yang kerap terjadi, terutama di jalur
Rajabasa—Kotaagung, Rajabasa—Metro tampak nyata. Yang ada di khayalan saya
semua penumpang akan membayar ongkos di satu loket yang benar-benar sesuai
dengan ketentuan atau membeli lewat online melalui
transaksi elektronik melalui gadget atau di minimarket atau gray biro
perjalanan yang ditetapkan, baru kemudian tugas loket atau pihak biro
menyerahkan ke petugas otobus saat bus akan berangkat. Sanksi tegas diterapkan
kepada perusahaan otobus yang terdaftar di Terminal Rajabasa, bagi awak dan
atau oknum pengurus bus yang ketahuan mengambil ongkos kembali setelah mobil
meninggalkan terminal atau tidak sampai ke tempat tujuan (mengoper penumpang di
tengah jalan dengan perusahaan otobus lain yang tidak jelas) akan diberi sanksi
peringatan dan bila masih melanggar akan dikenakan sanksi keras berupa
pencabutan izin trayeknya.
Apakah Terminal Induk Rajabasa ke depan juga akan memiliki gudang dan portir
barang? Saya berkhayal semua penumpang yang akan naik dan turun di Terminal
Rajabasa, terutama bagi mareka yang membawa barang dalam jumlah banyak, tidak
perlu lagi khawatir akan ditarik-tarik dan setelahnya harus beradu mulut karena
tarif yang di luar batas kewajaran. Semua penumpang yang akan naik dan turun di
Terminal Rajabasa cukup membayar kelebihan bagasi sesuai ketentuan lalu dapat
mengambil barangnya di tempat yang telah disediakan. Semua perusahaan otobus
yang masuk ke Terminal Rajabasa memiliki gudang barang yang setiap saat bisa
menampung barang bawaan penumpang yang akan diambil keluarga penumpang dan akan
dikirim ke tempat lain, oknum petugas yang selama ini menarik-narik berubah
menjadi petugas yang ramah yang setiap saat membantu penumpang.
Apakah Terminal Rajabasa ke depan juga memiliki lokasi pusat jajanan serbaada?
Saya membayangkan ke depan tidak ada lagi penjual asongan naik-naik kendaraan
untuk menjajakan barang dagangannya. Saya membayangkan ke depan di Terminal
Rajabasa ada lokasi yang mudah diakses semua penumpang yang dikelola secara
profesional tempat menjual semua barang oleh-oleh, jajanan, dan aneka makanan
yang terjamin, baik dari sisi halalnya dan tanggal kedaluwarsa. Penumpang
berhak memilih dan menentukan pilihannya untuk membeli barang apa saja dan
membayarnya dengan harga yang sesuai dan penuh kenangan.
Akhirnya, semodern apa pun Terminal Rajabasa ke depan di dalamnya harus ada
aman, nyaman, dan menyesankan. Dan yang penting juga untuk dicermati adalah
perbaikan jalur keluar-masuk ke Terminal Rajabasa karena dari moto pada sopir
bus antarkota antarprovinsi (AKAP) yang kita kerap dengar adalah para pemburu
waktu dan pemburu dolar. Rasanya sulit berharap para sopir bus AKAP membelokkan
mobilnya ke Terminal Rajabasa bila akses menuju terminal ini adalah kawasan
macet seperti yang saat ini kerap terjadi di jalur Jalan ZA Pagaralam sekitar
Jalan Pramuka dan Jalan Soekarno-Hatta di sekitar lampu merah DAMRI. Tabik.
Post a Comment