Terminal Rajabasa (bagian 1)



Bagi masyarakat Lampung  yang sering melakukan perjalanan darat menggunakan moda transportasi bus Antarkota dalam propinsi (AKDP) maupun Bus Antar Kota Antar Propinsi (AKAP) pasti merasakan ada yang kurang lengkap dalam setiap memasuki dan akan meninggalkan kota Kota Tapis Berseri. Betapa tidak, terminal induk Rajabasa sebagai tempat turun naik yang dikenal sekaligus di kenang sebagian orang dengan segala cerita; mulai dari yang positif  dan cerita negatif yang menyeramkan kini tak kunjung selesai dan difungsikan.

Era tahun 90 an terminal Rajabasa begitu refresentatif untuk katagori sebuah terminal.  Bangunan terminal yang terdiri dari 2 blok; atas dan bawah, di antara kedua blok terdapat kolam yang membawa kesan ketenangan, taman yang asri yang membawa kesan sejuk. Masing-masing blok tersusun untuk dan atas nama tujuan kenderaan yang parkir di bawah plang papan namanya.  Begitu juga halnya dengan ruang atau tempat menunggu yang memungkinkan setiap calon penumpang/penjemput/pengantar untuk sedikit bersantai.  

Selain suasana yang tampak asri, terminal Rajabasa juga di lengkapi tempat parkir yang memadai bagi penjemput dan pengantar,  masjid,  puskesmas dan tak lupa adalah petugas polisi yang selalu berkeliling terminal hampir setiap satu jam sekali.  Kondisi ini membuat nyaman mempergunakan fasilitas ini, bahkan bagi mahasiswa seperti kami yang berasal dari luar Bandarlampung waktu itu, terminal Rajabasa adalah tempat menunggu kiriman berupa uang atau sembako dan cara cepat berkirim surat ke orang tua di kampung, maklumlah waktu ponsel belum merambah ke mahasiswa.  Dengan di titip pada sopir/kernet dan atau penumpang yang kebetulan di kenal surat pasti nyampai, kiriman uang atau sembako pun datang di tempat dan mobil yang sama .  Lebih dari itu untuk menemui keluarga yang kebetulan melakukan perjalanan dari luar kota dan melintasi Bandarlampung, namun tidak bisa mampir maka terminal Rajabasa juga sebagai media tempat janjian.

Namun sayang, kenyamanan waktu itu tidak berlangsung lama, sekitar tahun 1998 ruang taman yang ada berubah menjadi kios tempat jualan pedagang kaki lima, begitu juga dengan pintu masuk yang sebelumnya bebas hambatan telah di jaga oleh aparat berseragam cream-biru meminta uang pada setiap orang atas nama retribusi memasuki areal terminal, terutama bagi mareka yang terlihat kutcru (yaa sedikit kelihatan nga gaul gitulah) pasti diminta . 

Anehnya  uang yang diberikan ke petugas tadi harus dengan uang pas, sebab jika memberikan uang yang harus ada kembaliannya kalau tidak di minta sang oknum petugas pasti pura-pura lupa untuk ngasih kembaliannya.  Sebaliknya jika uang yang d berikan kurang, maka bentakan dan pelotototan pasti di terima.  

Keganjilan lagi akan dirasakan oleh penumpang; sebelum melakukan perjalanan di atas bus, petugas dengan seragam yang sama pun datang lagi meminta uang retribusi atau biasa mareka menyebutnya TPR dan peron.  Kalau kebetulan ada penumpang yang mempertanyakan hal ini dan atau tidak dengar saat dimintai bayaran walaupun sudah membayar di pintu masuk, tetapi tidak bisa menunjukkan  selip tanda bayarnya pasti akan tetap di minta bayaran kembali.

Disisi lain, di dalam terminal yang tadinya nyaman berubah; jika sebelumnya pedagang asongan hanya menawarkan dengan rayuan, berubah menjadi pedagang asongan yang menawarkan barang dagangannya dengan mata mendelik. Begitu juga dengan saat turun dari bus; para kuli panggul berseragam dengan sangat  sigap menarik barang siapa saja menawarkan tenaganya untuk mengangkut barang bawaan tadi ke tempat menunggu jemputan di dalam terminal dan atau mobil yang di tuju untuk melanjutkan perjalanan. Untuk urusan yang satu ini, jika tidak ada perundingan sebelumnya maka tunggu saja penumpang bersangkutan di kenakan tarif mahal yang tidak masuk akal.  Saat menjaga barang agar tidak di tarik-tarik, tak kalah pusingnya meladeni/menjawab pertanyaan para petugas agen perjalanan atau yang biasa di sebut cakil. Jika  belum menjawab saat di tanya hendak kemana mas/pak/bu/bang/de/ jadilah yang bersangkutan "dikawal" dan di ikuti terus sampai menjawab.  Jika menjawab tetapi sayup-sayup tunggulah pasti bentakan akan di terima.  

Nama terminal Rajabasa begitu mudah di ingat, bahkan memory sebagian besar masyarakat Lampung jika mendengar kata Rajabasa pasti yang terlintas dalam benak adalah mobil atau terminal. Selain karena beberapa hal yang di sebutkan diatas juga karena letak dan posisinya yang sangat refresentatif waktu itu.  Sebagai terminal terbesar di ujung timur pulau Sumatra sebelum dan setelah penyembrangan Bakauheni-Merak memungkinkkan semua kenderaan menyinggahinya, ini berdampak pada minimnya terminal bayangan yang lebih besar mudorot ketimbang manfaatnya. 

Bagi pengemudi bus, terminal bayangan tentu hanya menjadi tempat fungli dari preman yang mangkal atas nama jasa calo menaikkan penumpang.  Sedangkan bagi penumpang yang naik dari terminal, kerugian waktu karena bus harus mampir yang terkadang dalam waktu yang lama.  Bagi penataan kota tentu terminal bayangan menimbulkan problem tersendiri karena semrawut dan macet.

Sebagai tempat persinggahan turun naiknya penumpang terminal Rajabasa tempo doeloe berada di luar kota BandarLampung yang sangat memungkinkan semua semua armada bus dari semua jurusan mampir dalam waktu cepat dan singkat tanpa harus mengganggu kenyamanan penumpang lain yang akan melanjutkan perjalanan, hal ini di sebabkan tidak adanya hambatan berupa lampu merah dan atau kemacetan yang menghadang.

Kini terminal Rajabasa masih dalam masa perbaikan, tak tau jadi seperti apa dan bagaimana terminal ini kedepan. Hanya menjadi tempat merajalelanya pungli kah?, tempat berkumpul dan  beroperasinya para preman dan copet kah?, atau seonggok bagunan besar terbengkalai yang di tumbuhi rumput kumuh tak terurus.  Atau sebaliknya menjadi salah satu ikon  kebanggaan Lampung, mesin penghasil PAD dan juga sebagai laboratorium mini tempat di laksanakannnya nilai-nilai budaya ulun Lappung (nemui nyimah, pi'il pesenggiri, sakai sambayan, dll).   Beberapa tanya muncul bukan tanpa alasan, pemandangan di beberapa terminal di Lampung yang telah di bangun dengan dana bejibun, tetapi hari ini mubazier; tak terurus, dipenuhi rumput, dan kumuh.  Bahkan ada terminal yang sejak di bangun hanya papan nama tanpa ada fasilitas dan aktifitas layaknya sebuah terminal, hanya menjadi tempat parkir, tempat berlangsungnya pasar malam, dan bakti sosial.    

(Tulisan ini telah dimuat di HU Lampost edisi Sabtu, 05 Juli 2008)

Post a Comment

Previous Post Next Post