Setelah lama tidak membahas apalagi melihat dari dekat keberadaannya, awal tahun 2020 lalu penulis bersama dengan beberapa kawan dari Ikatan Pelaku Pemberdayaan Masyarakat Indonesia (IPPMI) Lampung berkesempatan melakukan asesmen kelembagaan dan usaha Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) di beberapa Kabupaten di Lampung. Dari sekian BUMDes yang di asesmen; ada satu tempat yang paling menarik perhatian kami, pengalaman tersebut menjadi awal cerita dalam tulisan singkat ini..
Sebelum asesmen dilaksanakan; tim telah menerima beberapa informasi dan data terkait
keberadaan BUMDesa yang kini menjadi obrolan. Beberapa fakta mengemuka dari informasi dan
data yang ada.
Pertama, Bahwa
BUMDesa ini berdiri di desa yang
memiliki Kepala Desa yang berkapasitas cukup mumpuni dan sangat di
segani oleh rekan se-profesinya di level Kabupaten yang bersangkutan karena kemampuan berjejaringnya yang
cukup baik. Kedua,
bahwa BUMDesa ini merupakan salah satu BUMDesa dengan katagori baik se-
kabupaten yang bersangkutan berdasarkan hasil audit Inspektorat setempat.
Singkat
cerita, atas kesepakatan kedua belah pihak (IPPMI Lampung dan
Pengurus BUMDesa), kegiatan asesmen
pun dilakukan secara partisipatif
dengan melibatkan seluruh pengurus BUMDesa bersangkutan dan beberapa aparatur desa
yang bertugas mengawal kegiatan tersebut.
Awalnya
tim agak pesimis; bisa atau tidak melakukan asesmen BUMDesa tanpa melihat
aspek keuangannya, tetapi apa mau dikata maksud hati ingin memeluk gunung apa
daya tangan tak sampai, pengurus dan aparatur yang hadir pada saat itu dengan berbagai alasan sangat enggan untuk membuka laporan keuangan
yang selama ini mareka buat dan laporkan. Ya sudahlah, tim kemudian
memilih fokus untuk mengetahui skema bisnis yang telah dan sedang dijalankan
oleh pengurus BUMDesa.
Tidak
ingin mengesankan bahwa yang Tim lakukan adalah kegiatan
pemeriksaan, apalagi jelas-jelas dari awal kami
sampaikan bahwa Tim bukanlah auditor, dan bukan pula
petugas monitoring untuk memastikan
serangkaian aturan teknis dilaksanakan atau tidak. Tim menyampaikan hal ini selain agar suasana
tetap santai, harapannya juga agar pengurus BUMDesa dan aparatur desa yang
hadir tidak tegang.
Lagi-lagi atas kesepakatan bersama; Asesmen
ini di lakukan dengan metode “dimiripkan-miripkan” penguatan kapasitas/pelatihan,
dengan metode pendeketan orang dewasa. Dan alhamdulillah
seperti yang di harapkan, semua
berjalan lancar dan mengalir apa
adanya dengan partisipasi penuh dari peserta, semua yang
hadir menjadi narasumber. Dan dengan
metode ini, ternyata cukup efektif untuk mendapatkan
informasi sebanyak-banyaknya tentang kelembagaan dan usaha
yang telah dan sedang dijalankan oleh BUMDesa di tempat ini, bukan itu saja; masalah dan kendala yang di hadapi pengurus pun menyeruak
di forum ini.
Dari
proses ini, Tim menerima
beberapa informasi tentang kondisi BUMDesa yang sangat jauh dari ekspektasi sebelumnya, dan dari sekian temuan
tersebut; saat ini kegiatan usaha dan operasional BUMDesa staknan kalaupun tidak mau di katakan mati suri atau hidup segan
mati tak mau. Bagaimana tidak,
sudah empat tahun lebih BUMDesa ini berdiri, belum ada satupun unit usaha yang berjalan,
minimal agar lembaga keuangan tingkat desa
ini bisa menutupi biaya operasionalnya. Dua unit usaha terdahulu (Bisnis penyewaan
tarup dan bisnis keuangan/Dana Bergulir) saat ini nyanglak, bisnis penyewaan
tarup hanya berjalan 3 kali putaran, sisanya stop karena kalah bersaing dengan
bisnis serupa yang dilakukan oleh masyarakat.
Begitu juga dengan bisnis dana bergulir, hanya berjalan beberapa waktu
saat ini stop dan menyisakan cerita 60 % modalnya kini macet di masyarakat dan
belum ada tanda-tanda penyelesaian. Sementara penyertaan modal dari Dana Desa
(DD) berupa uang sejumlah Rp 140.000.000 dan berupa Bangunan Kantor yang
terpisah dari bangunan utama kantor desa.
Terhadap informasi-informasi yang ada, terutama informasi
kondisi usaha sebagaimana penulis sampaikan diatas. Tim kemudian melanjutkan asesmen yang jika
dirumuskan secara singkat kurang lebih berisikan beberapa hal sebagai berikut. Pertama, Apakah waktu pemilihan dan
penentuan jenis usaha sudah dilakukan proses secara mendalam dengan alat study
yang memadai berdasarkan potensi lokal yang ada, dengan kata lain apakah
pemilihan dan penentuan jenis usaha dilakukan dengan sebuah proses berdasarkan
masalah atau potensi yang ada di desa, atau karena ikut-ikutan daerah lain yang telah sukses
dengan bisnis/usaha serupa.? Kedua, Apakah saat bisnis mulai
dilaksanakan ada juga regulasi yang
disiapkan yang bisa di jadikan panduan
atau acuan untuk dijadikan payung hukumnya. Semisal regulasi bagaimana
menjual aset yang sudah tidak produktif agar bisa dirubah menjadi aset yang
produktif kembali, dan regulasi bagaimana mengatasi pinjaman masyarakat yang
pengembaliannya macet.? Ketiga, Apakah saat bisnis berlangsung
dilakukan pencatatan transaksi dengan menggunakan standar kerap dipakai dalam
sebuah penyelenggaraan bisnis.? Keempat,
Apakah dengan dimulainya bisnis BUMDesa juga di barengi dengan dimulainya peningkatan
kapasitas pengurusnya.? Kelima, Apakah penyerahan
tanggungjawab kepada pengurus BUMDesa juga di barengi dengan penyampaian hak
yang semestinya mareka dapatkan. Semisal berapa target yang harus di capai
pengurus selama mengelola BUMDesa dan berapa hak (Honor) yang mareka terima
dengan target sedemikian rupa. Keenam, Apakah peran kades dirasakan
oleh pengurus masih terlalu dominan di dalam semua urusan BUMDesa, semisal
masih sangat dominannya peran kades mulai dari penyusunan AD/ART sampai
mengurusi siapa yang akan menuliskan laporan keuangan yang akan dilaporkan
kepada inspektorat, mulai dari siapa yang hendak dijadikan pengurus sampai
kepada apa saja yang harus di urus pengurus.
Atas 6 aspek yang di bahas, hanya 2 aspek yang menurut
tim dan peserta yang sudah tepat sebagai sebuah syarat agar BUMDesa bisa tetap
eksis di tengah masyarakat, dan sisanya
ada 4 aspek yang masih belum tepat dilakukan oleh BUMDesa ini, dan inilah kemungkinan terbesar yang menjadi penyebab
mengapa BUMDesa ini belum bisa sesuai harapan atau sebagaimana mestinya.
Mengingat waktu, besarnya
sumberdaya, serta sumberdana yang telah di curahkan untuk pendirian BUMDesa,
agaknya memang penting untuk direfleksikan kembali apakah pendirian BUMDesa
yang sampai saat ini belum menghasilkan keuntungan bahkan terancam gulung
tikar telah memenuhi prinsip-prinsip
pendirian BUMDesa yaitu : a) BUMDesa didirikan bukan sekedar untuk mendapatkan keuntungan,
tetapi sekaligus untuk memberikan pelayanan kebutuhan warga desa. b) BUMDesa
tidak mengambil alih aktivitas ekonomi yang sudah dijalankan
oleh warga, tetapi menciptakan dukungan fungsi pelayanan (service function)
terhadap produk unggulan yang ada di desa. c) BUMDESA merupakan lembaga bisnis
yang didirikan untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial dan ekologi untuk
kesejahteraan masyarakat desa.
Selain prinsip pendirian hal berikutnya yang perlu juga
direfleksikan tentang prinsip pengelolaan BUMDesa yaitu: a) Partisipasi. b)Tranparansi,
dan c) Akuntabilitas. BUMDesa tentu bukan milik kepala desa atau segelintir orang
yang saat ini sedang menjadi pengurusnya, tetapi milik seluruh warga desa
setempat tanpa terkecuali. Sehingga
partisipasi seluruh warga masyarakat dalam mendirikan dan pengelolaan lembaga
ini sesuai tufoksinya masing-masing
tentu menjadi sangat penting.
Selanjutnya transparan menjadi sarat mutlah dalam pengelolaan BUMDesa,
jangan sampai menimbulkan kesan bahwa pengelolaan BUMDesa hanya milik pengurus
atau tempat oknum kades melakukan pencucian uang, yang agar bisa ia dan kroni-kroninya nikmati
setelah tidak menjabat lagi. Begitu seterusnya laporan yang dibuat dapat dipertanggungjawabkan
bukan hanya kepada auditor/tim pemeriksa keuangan tetapi kepada siapa saja
khususnya masyarakat desa setempat.
Penegakan dua prinsip (Prinsip Pendirian dan Prinsip
Pengelolaan) tentu belum cukup, karena soal selanjutnya bagaimana dengan Nilai
Produk, Siapa Segmennya, Bagaimana menjangkau pelanggannya, apa saja
sumber-sumber pendapatannya agar bisa eksis, dan seterusnya. Tetapi mementingkan usaha diatas prinsip pendirian dan prinsip
pengelolaan ibarat mementingkan sunnah ketimbang wajib, mementingkan aksesoris
ketimbang inti, mementing simbolik ketimbang substansi, mementingkan baju
ketimbang laku. Setidaknya inilah secuil
pelajaran yang dapat di petik dari asesmen yang telah dilakukan, bagaimana
menakar keseriusan pendirian dan pengelolaan BUMDesa saat ini, khususnya di
tempat ini.
Post a Comment