Semua teman,
sahabat, dan keluarga yang menelpon dan mengirim pesan singkat lewat WA
mengatakan agar saya selalu semangat dan menghilangkan beban pikiran negatif,
bahkan ada yang to the point agar saya saat menjalani isolasi mandiri (isoman)
ini selalu bahagia. Nah inilah satu
perkara yang mudah di ucapkan namun faktanya bagi saya sangat sulit untuk di
wujudkan.
Betapa
tidak, dalam kondisi hendak membahagiakan diri untuk meningkatkan imunitas,
kawan satu-satunya yang masih menemani adalah HP, pernah satu ketika saya
matikan HP agar istirahat bisa lebih fokus, namun yang saya rasakan justru
sebaliknya pikiran gelisah dan seolah-olah saya sedang berada di negeri ntah
berantah yang sangat jauh dari peradaba.
Ahirnya hp tetap saya hidupkan dengan suara yang saya silent dengan
maksud kalaupun ada nada panggilan atau nada pesan masuk tidak harus langsung
saya angkat, tetapi seketika saya mulai bosan di tempat tidur hp biasa saya
buka.
Nah, lewat
HP inilah yang saya katakan sulit untuk membuat bahagia, dimana hari-hari kurva virus ini sedang naik-naiknya. Ada kenalan, teman, dan sahabat yang
dikabarkan terpapar dan tak lama kemudian dinyatakan meninggal dunia. Sampai-sampai saya sangat hapal bila ada
telepon yang di awali salam kemudian
berucap Innalillahi Wainnailaihi Rojiun ........ atau ada pesan WA yang juga di
awali kalimat yang sama berarti telah ada satu nyawa melayang setelah berjuang
keras melawan gejala akibat covid-19.
Setiap saya
abis menerima kabar yang berisi Innalillahi
Wainnailaihirojiun, sangat terasa bahwa badanpun makin lemas, apatah lagi kalau
teringat kisah-kisah pertemuan dengan almarhum yang sangat mengesankan.
Untungnya,
disaat saya barusan mendapat pesan duka tersebut, selalu ada saja teman,
sahabat dan keluarga yang menelpon atau kirim pesan: “Kamu harus kuat, kamu
harus semangat, kamu harus bahagia, karena kamu harus sembuh anak-anakmu masih
membutuhkan kamu” Kata mareka.
Sampailah di
pagi ini, saat ini saya masih berjemur di bawah sinar matahari pagi dari balik
jendela kamar; pikiran saya melayang kemana-kemana antara sedih dan duka atas
kepergian beberapa kawan sahabat, dan
tekad kuat ingin sembuh karena ingat tanggung jawab terutama kepada dua anak kami.
Saya kemudian mengalihkan pikiran duka dan sedih menjadi pikiran yang sebaliknya..
saat saya teringat dengan muka dan prilaku saat bertemu sahabat dan teman yang
telah mendahului; sekonyong-konyong saya mengingatkan pikiran saya bahwa beliau
yang telah mendahului telah bahagia, lepas dari penderitaan akibat menahan
sakit dan tidak enaknya akibat terpapar covid-19. Beliau-beliau yang telah pergi telah
meninggalkan pesan dan kesan yang sangat prinsip yang harus di teruskan,
beliau-beliau yang telah pergi meninggalkan keluarga yang hebat-hebat yang akan
meneruskan perjuangan mareka bersama almarhum dan meneruskan silaturahmi kepada
saya selanjutnya.
Alhasil;
saat pikiran saya memunculkan hal-hal yang mellow atau negatif agar imunitas
saya meningkat, disaat yang sama saya berjuang keras memutar pikiran negetif
tersebut menjadi pikiran-pikiran yang positif yang bisa membuat saya bahagia
dan atau minimal tenang.
Hal yang
sangat manusiawi bila bersedih dan berduka, tetapi kondisi tersebut tidak boleh
lebih dari 15 menit harus di ganti dengan pikiran-pikiran yang menenangkan dan
menyenangkan. Kondisi inilah yang saya
katakan dengan memanage pikiran dan rasa.
Apa yang
saya alami; menjadi bukti bahwa itu bisa dilakukan, walau tidak mudah, namun
semangat dan tekad dengan mengingat tanggung jawab yang harus di selesaikan
disertai dengan ikhtiar menjalankan nasehat dokter dan orang-orang terdekat,
tentu akan membuat cerita akan menjadi lain.
Hal kedua
selain tanggungjawab yang membuat pikiran dan rasa saya kearah positif yang
saya rasakan adalah; dengan mengingat dan membandingkan perjuangan orang lain
saat berjuang untuk sembuh dari sakit.
Untuk kasus ini, kebetulan di tetangga kami ada Bapak Suharman yang
sangat memotivasi saya untuk menanamkan pikiran bahwa saya harus sembuh..
Beberapa bulan lalu beliau (Saya memanggilnya Abang Herman), mengalami struk
pingsan di kursi teras rumahnya, pamit kepada istrinya hendak istirahat dari
aktivitasnya berjualan galon air isi ulang sekira pukul 10.30 WIB karena nggak
enak badan, sekira pukul 10.15 WIB masih bercanda dengan di pinggir jalan depan
rumah kami tentang ada rumah tetangga kami yang hendak di jual. Jarak rumah saya dengan rumah Bang Herman
sekiran 50 Meter dan masih satu blok bahkan masih satu RT.
Sekira
pukul, 11.30 Bang Herman di bangunkan oleh istrinya untuk siap-siap
melaksanakan sholat dhuhur di masjid. Tetapi, sungguh sangat kanget istrinya
karena muka bang Herman sudah pucat pasi dan saat di ajak bicara sudah tidak
menjawab lagi. Istri Bang Herman pun
meminta bantuan tetangga untuk mengangkat tubuh Bang Herman ke Rumah Sakit,
saat itu saya adalah salah satu yang mengangkat Bang Herman dan ikut
mengantarkannya ke Rumah Sakit. Saat di
rumah sakit istri bang Herman, saya, bang Fuad yang juga tetangga kami
dipanggil oleh dokter jaga ruang UGD yang pada intinya dokter menyampaikan
kepada kami bertiga bahwa telah terjadi pecah pembuluh darah di bagian kepala
Bang Herman karena tekanan darah yang terlalu tinggi yang mengakibatkan bang Herman saat itu dalam
kondisi kritis. Selanjutnya dokter juga
mengatakan bahwa tenaga dokter dan
peralatan di rumah sakit tersebut belum memungkinkan untuk merawat pasien
seperti Bang Herman sehingga harus di rujuk ke rumah sakit tipe B atau A. Sehingga
dirujuklah dan di rawatlah Bang Herman di Rumah Sakit tipe B dalam
keadaa pingsan, koma, atau kritis. Secara logika manusia tipis harapan Bang
Herman untuk sembuh, banyak cerita untuk kondisi yang demikian pasien akan di
operasi untuk membersihkan gumpalan darah di kepalanya dan tingkat
keberhasilannya sangat rendah.
Namun tidak
dengan bang Herman, sekira dua minggu beliau mintak pulang ke rumah walaupun
masih di gotong juga, artinya beliau sudah sadar namun masih belum bisa berdiri
atau duduk alih-alih mau jalan.. Selama di rumah beliau di terapi oleh terapis
dan kadang-kadang terapisnya dilakukan oleh anaknya sendiri. Dan hari ini sekira 4 bulan dari kejadian
beliau di gotong dalam keadan pingsan, beliau sudah jalan walaupun masih belum
selancar dulu, dan ngomong sudah lancar
tidak kaku lagi, Bang Herman sudah rutin lagi ke masjid setiap lima
waktu. Apa yang membuat bang Herman seperti sekarang tidak lain dan tidak bukan
adalah motivasi dan semangatnya untuk sembuh.
Waktu di
awal saya melakukan isolasi mandiri kebetulan Bang Herman Berkirim pesan lewat
Wahatshap dan pesan dari beliau pendek saat itu; “Jangan berpikir macam-macam,
inget saya saat kamu gotong ke rumah sakit, dan liat saya sekarang, kamu harus
sembuh”. Kata dia
Kalimat ini
pulalah yang memotivasi saya untuk terus berjuang dengan mengendali
pikiran-pikiran yang melemahkan menjadi pikiran-pikiran yang menguatkan.
Post a Comment