Awalnya saya tidak percaya mendengar cerita kakak di
Sukarami Liwa “dengan sedikit” bercanda, bahwa wortel tak punya harga dan
mempersilahkan para tetangga yang punya kambing dan sapi untuk memanennya
sendiri. Tetapi setelah melihat beberapa video viral di medio tiktok milik
petani di Lambar, kini haqqul yaqin, saya percaya kalua wortel hanya di berikan ke kambing karena saking
nggak ada harganya hanya Rp 500/kilo kurang lebih seharga 1 buah permen jajanan
anak-anak di warung.
Kenapa cerita hasil pertanian di buang Kembali terulang?? Setelah tahun 2023 lalu ada petani membuang labu di pinggir jalan, dan sebelumnya petani tomat juga membuang hasil panennya karena tidak ada harga atau murah. Dan sempat beberapa kali saya melintas di seputar dua jalur Jl Sukarno-Hatta Lampung Barat juga melihat beberapa karung sayuran di pinggir jalan di buang oleh si empunya, ternyata karena harganya murah sehingga petani lebih suka membuangnya. Apakah Kedepan kejadian ini akan Kembali dan Kembali terulang??
Wortel adalah salah satu produk unggulan petani sayuran di bilangan Lampung Barat, selain labu, sawi, kol, tomat, rampai, cabe, dll. Konon untuk menanam wortel luasan 12 rantai/0,5 HA dibutuhkan biaya setidaknya Rp 15.000.000,-. Biaya yang tidak sedikit, secara logika tidak mungkin petani akan membuang hasil panennya begitu saja kalau sekedar murah, tanpa di latar belakangi emosi dan ras kecewa yang mendalam.
Wortel digandrungi banyak orang, selain karena rasanya juga karena menurut para ahli wortel merupakan sumber nutrisi yang kaya dan lengkap. Selain dikenal sebagai sumber pro-vitamin A (beta-karoten), juga mengandung berbagai zat gizi penting lainnya yang berhasiat untuk Kesehatan mata, meningkatkan system kekebalan tubuh, mencegah kanker, menjaga Kesehatan jantung, menjaga saluran cerna, menurunkan resiko diabetes, mendukung system keebalan tubuh, menurunkan resiko penyakit jantung.
Tak heran bila wortel dari Lampung Barat “menggelinding” menembus pasar di daerah Sumsel, Pesisir Barat, Way Kanan, Tanggamus, Lampung Utara, Lampung Tengah, Tulang Bawang Barat, dan Bandar Lampung, di bawa oleh para agen-agen sayuran dengan harga ditentukan oleh pasar.
Petani Lampung Barat membuang Wortel, Labu, tomat,?? adalah potret masih
rapuh kehidupan petani, dan sekaligus mempertontonkan kegagalan kebijakan dalam
mensejahterakan petani, serta semakin mengukuhkan bahwa dalam kontek ini, nasib
petani tergantung pasar, dengan system pasar bebas.
Dulu system yang di anut oleh sebagian besar
masyarakat petani di Lampung Barat yaitu
3 N (Ngebun, Nyabah, Nyebak) seiring bertambahnya kepadatan penduduk dan
keterbatasan lahan kini mulai ditinggalkan, kalaupun masih ada yang melaksanakannya
tentu sudah tak seberapa.
Ngebun/berkebun yang di dalamnya ada budidaya tanaman keras
dan sayur mayur, Nyabah/Bersawah yang di
dalamnya ada budidaya tanaman pani dan ikan, Nyebak/Nyadap yang di dalam nya
ada kegiatan nyadap aren adalah pola
yang saling berseyawa dan saling topang.
Sehingga jika ada satu bidang mengalami kegagalan akan ditutupi oleh
bidang lainnya, bertahun-tahun pola ini terbukti telah mensejahterakan masyarakat adat Lampung
Barat dan mengantarkan generasi 50-80 di bumi Skala Brak menembus jenjang
pendidikan tinggi.
Dulu, meskipun padi hanya panen sekali tetapi
tersimpan di lumbung-lumbung yang di dirikan di areal khusus cukup untuk makan
sekeluarga sampai panen lagi, Hasil ikan yang ditebar pada sela-sela padi yang
rumpunnya sangat besar cukup untuk
kebutuhan hari-hari besar dan perhetalan social seperti nayuh/pesta, hasil
panen kopi yang hanya sekali setahun cukup untuk biaya membuat rumah dan biaya
bulanan anak kuliah, sayuran yang di tanam di sela kopi atau sebelum kopi
membesar cukup untuk kebutuhan sehari-hari,
hasil menjual gula aren cukup untuk menutupi kebuhan sehari-hari dan
tambahan biaya kegiatan sosial di masyarakat.
Tak banyak teori, tak banyak basa basi, dan tak perlu
membungkusnya dengan kata ketahanan pangan.
Cukup ada kemauan, tekun, dan bermasyarakat, sehingga setiap akan
memulai nanam dan memanen selalu memanggil jiran tetangga dan saudara untuk
bebatok (gotong royong) semua tuntas kebutuhan teratasi dan kekerabatan
keluarga dan adat terjaga.
Sebagai anak petani, yang lahir dan besar di Lampung
Barat, kejadian wortel hanya untuk makanan kambing tentu membuat saya sangat
sedih, aah, mungkin karena saya bukan
politisi, kalau saya jadi politisi saya
akan tetap bilang saya bangga jadi anak petani, apatah lagi sekarang sudah
memasuki masa kampanye pilkada 2024.
إرسال تعليق