Anak Lembah



Bayi mungil yang lahir di lembah  di antara rerumpunan bambu itu sedang merenung.

Ibu yang melahirkannya  tanpa seorangpun kawan telah lama berpulang.

Bapak yang ketika dia lahir sedang pergi ke kampung sebelah membeli minyak tanah kini menyusul sang ibu.

Direnunginya kenangan, pesan, cercaan, dan makian yang diterimanya sejak berpuluh-puluh purnama.

 

Empat puluh Sembilan tahun si anak lembah berpeluh dan selalu bertanya dia siapa, dari mana dan hendak kemana.

Berteriak di tengah deru angin jalanan.

Berbisik pada hati yang kadang bimbang.

Tentang perjalanannya yang tanpa menyerah, berpeluh kisah.

 

Ingatan waktu kecil si anak lembah, 

Tentang ladang jagung di ujung kampung.

Tentang gembalaan sapi bak kisah sang Nabi. 

Tentang si kulit kayu manis yang mengiris hati menumpahkan air mata. 

Tentang sepasang sepatu dan ikan nila.

Tentang keistimewaan hari Selasa dan Jum'at.

Tentang kandang ayam petelor dan sepeda pederal.

Tentang Palembang dan Tanjung Karang.

Tentang Lampung dan Jakarta.




Sepuluh tahun kemudian si anak lembah dijauhkan dari keheningan dan gemercik pancuran bambu.

Menatap petala langit

Menjauh dari lampu teplok

Mendengar kisah para pejuang 

Mengais sayang dari yang berhati lapang

Merajut mimpi bersama perempuan dari bambu seribu.

 


Sekarang,

Si anak lembah hidup sunyi dalam keramaian.

Menghirup napas dengan udara penuh debu.

Berimajinasi dalam dunia penuh basa-basi.

Sambil sesekali menerka arah angin dan suara Toa masjid.


Sekarang,

Si anak lembah harus menerima obor yang tidak pernah diterima oleh mareka yang berada di kegelapan sekalipun. 

Menerima dan memulai dengan berdamai

Menerima segala tiba dengan hati lapang

Merawat otot kaki agar bisa terus berjalan

Merawat pesan sampai matahari terbenam


 

Bekape, 28 September 2024


Post a Comment

أحدث أقدم