Bismillāhirraḥmānirraḥīm.
Segala yang
tumbuh di bumi ini adalah ayat-ayat Allah, tanda-tanda kebesaran-Nya yang dapat
dibaca oleh siapa saja yang hatinya terbuka. Ada yang berupa gunung menjulang,
ada yang berupa sungai mengalir, ada pula yang berupa bambu sederhana di tepian
hutan. Namun justru dari yang sederhana itulah, manusia sering diajak merenung
lebih dalam tentang makna kehidupan.
Di kaki
Gunung Pesagi gunung tertinggi di Lampung, terdapat sebuah pusaka hidup yang
dijaga oleh masyarakat sejak dahulu kala. Namanya Kawokh Bungkok, buluh buntu
yang tumbuh di tanah keramat Bah Tuba. Batangnya yang menunduk seolah sedang
berdoa, daunnya yang berdesir seakan melantunkan tasbih alam.
Ia bukan
sekadar tumbuhan. Ia adalah pusaka yang hidup, pusaka yang bernafas, pusaka
yang mengikat manusia dengan tanah kelahirannya sekaligus dengan Tuhannya.
Jejak
Pusaka, Ingatan yang Menyatu.
Kawokh
Bungkok telah menjadi bagian dari ingatan kolektif masyarakat khususnya Pekon
Sukarami kecamatan Balik Bukit Lampung Barat. Ia bukan hanya simbol identitas,
tetapi juga penjaga keseimbangan.
Batangnya kerap dijadikan tongkat, daunnya memberi teduh, sementara
kisahnya menjaga ruh tradisi.
Cerita
turun-temurun menyebut bahwa bambu ini sudah ada sejak zaman kolonial.
Penelitian yang dilakukan awal 2000-an pun menemukan jejak tertulis di arsip
Istana Bogor abad ke-19 tentang buluh dari kaki Gunung Pesagi. Artinya, pusaka
ini tidak hanya hidup dalam tutur rakyat, tetapi juga tercatat dalam sejarah
resmi bangsa.
Dengan
demikian, Kawokh Bungkok adalah pusaka yang memadukan dua ruang ingatan:
ingatan lisan dan ingatan tulisan, ingatan rakyat dan ingatan arsip.
Pusaka dari
Skala Brak, Amanah dari Sang Pencipta
Bumi Skala
Brak adalah tanah asal mula adat yang menyimpan banyak pusaka. Namun pusaka
tidak selalu berupa logam, batu, atau benda keramat. Pusaka juga bisa berupa
kehidupan itu sendiri—seperti Kawokh Bungkok.
Batangnya
yang bungkok adalah simbol kerendahan hati. Ia mengajarkan bahwa kekuatan
sejati ada dalam kelembutan, dan kebijaksanaan lahir dari kesediaan untuk
menunduk. Pesannya jelas: manusia harus menjaga alam, sebab dengan menjaga
alam, manusia sedang menjaga dirinya sendiri.
Maka, Kawokh
Bungkok adalah pusaka yang mengikat masa lalu, kini, dan masa depan. Ia berdiri
sebagai jembatan antara manusia dengan alam, antara adat dengan ekologi, antara
sejarah dengan spiritualitas.
Lebih jauh
dari itu, ia mengingatkan kita bahwa semua pusaka sejati hanyalah titipan Allah
SWT. Bambu ini bukan milik manusia, melainkan amanah yang harus dijaga. Menjaga
Kawokh Bungkok berarti menjaga janji kita kepada Sang Pencipta: janji untuk
merawat bumi, agar anak cucu masih bisa membaca kebesaran-Nya melalui pepohonan
yang tumbuh, air yang mengalir, dan angin yang berhembus di kaki Pesagi.
Dan pada
akhirnya, setiap kali kita berdiri di hadapan Kawokh Bungkok, sesungguhnya kita
sedang diajak untuk bersujud dalam hati: bersyukur atas pusaka hidup yang
diberikan Allah, dan berdoa semoga bumi Skala Brak tetap lestari dalam
lindungan-Nya.
Ya Allah,
Tuhan yang menumbuhkan setiap biji menjadi pohon, lindungilah pusaka hidup-Mu
di bumi Skala Brak. Jadikanlah kami hamba-hamba yang amanah menjaga alam-Mu,
agar anak cucu kami kelak masih bisa membaca ayat-ayat kebesaran-Mu dari buluh
buntu yang menunduk di kaki Pesagi.
إرسال تعليق