Ada seorang pakar tata kota pernah
berkata, “Jalan adalah urat nadi peradaban.” Namun di Sukarame, jalan bukan
hanya urat nadi—ia adalah denyut jantung kehidupan. Jalan menentukan apakah
anak-anak bisa berangkat sekolah tanpa tergelincir dan pulang dengan seragam
yang tetap bersih, apakah pedagang bisa membawa dagangannya tanpa ada yang
pecah di perjalanan, apakah orang sakit bisa sampai rumah tanpa harus merintih
kesakitan di setiap guncangan, dan apakah motor tua bisa menanjak tanpa harus
didorong ramai-ramai oleh tetangga.
Beberapa bulan terakhir, masyarakat di
tiga pekon—Bahway, Hanakau, dan Sukarame—hidup dengan jalan yang lebih banyak
lubangnya daripada aspalnya. Setiap kali ada yang jatuh karena menghindari
lubang, atau malah terperosok ke dalamnya karena sedikit ngebut, selalu
terdengar keluhan yang bercampur tawa getir. Ada warga yang sempat bergurau, “Jatuh
di jalan tidak seindah jatuh cinta.” Gurauan yang pahit, karena di baliknya ada
luka, ada biaya berobat, ada dagangan yang rugi, bahkan ada harga diri yang
ikut terinjak.
Namun pekon yang jauh dari sorotan ini
memilih untuk tidak menyerah. Sebuah kalimat sederhana menjadi cambuk: “Kalau
menunggu orang lain, entah kapan jalan ini akan diperbaiki. Lebih baik kita
bangun sendiri, meski dengan apa adanya.” Dari situlah gotong royong dimulai.
Ada yang menyumbang uang, ada yang
menyumbang batu, ada yang menyumbang tenaga. Ada pula yang hanya mampu
menyumbang doa, tapi doa yang tulus itu justru terasa lebih mahal daripada
kontrak bermilyar-milyar.
Terkumpullah dana sebesar Rp108.000.000,
dipakai untuk rabat beton dan lampu penerangan jalan. Luar biasanya, ada
kembalian Rp1.052.000. Kecil nilainya, tapi besar maknanya. Mungkin inilah cara
Allah ingin mengajarkan kepada segenap panitia arti amanah—bahwa setiap rupiah
pun kelak akan ditanya pertanggungjawabannya.
Pesan Paksu Qilta Hasan:
“Jalan ini bukan milik satu orang, bukan
milik satu kelompok. Jalan ini milik kita semua. Maka mari kita jaga bersama.
Jangan biarkan jalan yang dibangun dengan doa dan keringat ini rusak hanya
karena kita abai.”
Kalimat itu sederhana, tapi dalam. Sebab
membangun bisa dilakukan ramai-ramai, tetapi menjaga harus lahir dari kesadaran
masing-masing.
Mendengar itu, saya teringat sabda
Rasulullah SAW:
“Seorang muslim adalah saudara bagi
muslim lainnya; ia tidak menzaliminya dan tidak menyerahkannya (kepada musuh).
Barang siapa memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi
kebutuhannya.” (HR. Bukhari-Muslim).
Menjaga jalan ini hakikatnya menjaga
persaudaraan. Jalan yang rusak bisa membuat kita saling menyalahkan, saling
mengeluh. Tetapi jalan yang baik akan mengajarkan kita untuk saling
mengingatkan: jangan kebut-kebutan, jangan bebani jalan dengan muatan
berlebihan, jangan biarkan selokan mampet oleh sampah. Jalan adalah cermin
hati—apakah kita benar-benar peduli pada sesama, atau hanya pandai menuntut
tapi malas merawat.
Kini saya membayangkan hari Jumat, 29
Agustus 2025, saat jalan Penataran–Sukarame dibuka kembali. Saya yakin, ketika
melintasinya nanti, saya dan banyak orang lain tidak sekadar berjalan di atas
rabat beton, melainkan menapaki doa yang dijawab Allah melalui tangan-tangan
saudaraku semua. Setiap tetes keringat yang jatuh, setiap rupiah yang
terkumpul, setiap doa yang dipanjatkan—semuanya menyatu di permukaan jalan ini.
Kelak, jika anak cucu kita bertanya, “Siapa
yang memperbaiki jalan ini?” maka kita bisa menjawab dengan bangga: “Bukan
kontraktor yang dibiayai pemerintah, tapi rakyat sendiri. Sanak daghak yang
bersatu, yang berani berkata: ini jalan harga diri kami.”
Dan semoga ketika mereka melewati jalan
ini, mereka tidak hanya melihat beton yang rata, melainkan juga merasakan cinta
yang mengalir di dalamnya. Sebab jalan ini sesungguhnya bukan sekadar untuk
lewat, melainkan untuk menyatukan langkah-langkah kita menuju ridha Allah.

إرسال تعليق