Di negeri ini, kita sering tidak perlu membayar tiket untuk menonton
komedi. Cukup buka Instagram Kemenkop UKM Senin malam lalu: pengumuman seleksi
PMO Koperasi Merah-Putih tiba-tiba menjelma panggung lawak tak berbayar.
Nama-nama kelas berat—Prabowo, Susilo Bambang Yudhoyono, Gibran, Sahrini,
hingga Megawati—muncul dalam daftar kelulusan. Bukan karena mereka mendadak
butuh kerja sampingan, tetapi barangkali karena file Excel kita sedang
bercanda.
Pengumuman yang seharusnya keluar Ahad, bergeser ke Senin. Mungkin
bukan karena panitia sibuk memverifikasi data, melainkan sedang menimbang
bintang tamu mana yang paling pas untuk melengkapi drama birokrasi ini.
Sementara itu, para pelamar sejati—mereka yang bertahun-tahun memeras keringat
membangun koperasi dari kampung ke kampung—justru tersingkir. Rupanya
pengalaman panjang tak lagi semahal ID ganda yang mabuk data.
Belum cukup? Taburkan bumbu pungli. Ada oknum yang menawarkan “bimtek
via Zoom plus tiket kelulusan” seharga sejuta rupiah. Jumlah itu tak cukup membeli
tas bermerek, tetapi cukup untuk menggadaikan integritas birokrasi. Diskon
besar-besaran rupanya sedang tren. Tidak heran muncul sindiran: mungkin KDKMP
bukan lagi Koperasi Desa/Kelurahan Merah-Putih, melainkan “Konsultan Duluan, Kandidat Menang Pun
Belakangan.”
Sejarah pun memberi kita cermin: KUD tempo dulu gagal bukan karena
rakyat tak mampu, melainkan karena
“Ketua Untung Duluan.” Apakah
KDKMP ini akan bernasib sama dengan KUD?
Ntah laah… may be yes, may be no.
Padahal negeri ini punya rambu yang jelas: Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Di sana, suap dan pungutan liar bukan sekadar salah kaprah, tetapi kejahatan
serius—ancaman penjara 4 hingga 20 tahun dan denda Rp200 juta sampai Rp1
miliar. Sayangnya, undang-undang itu sering lebih mirip poster motivasi:
dipajang rapi, dibaca sekilas, lalu dilupakan.
Dan kini nama Ferry Juliantono dipanggil. Ia bukan wajah baru: mantan
aktivis mahasiswa, politisi senior, dan pengusaha yang paham betul pahit-manis
perjuangan ekonomi rakyat. Ia pernah berdiri di garis depan reformasi,
menentang ketidakadilan dengan suara lantang. Harapan kita sederhana tapi
dalam: Ferry bukan sekadar menteri yang memadamkan api kecil di meja panitia,
tetapi pemimpin yang menyalakan kembali obor integritas yang pernah dijanjikan
republik.
Koperasi—warisan Bung Hatta yang semestinya menjadi simbol
gotong-royong—kini tampak seperti boneka etalase, dibungkus Merah-Putih hanya
untuk pajangan. Dan, seperti kebiasaan lama yang terlalu sering kita dengar,
keluar lagi mantra sakti: “Maaf, kesalahan teknis.” Kalimat yang telah kita
dengar lebih sering daripada lagu wajib 17 Agustus.
Pekerjaan rumahnya bukan sekadar membersihkan daftar nama atau memecat
konsultan. PR sejatinya adalah memulihkan makna: bahwa Merah-Putih bukan kostum
badut, dan koperasi bukan panggung komedi murahan. Ferry, dengan rekam
jejaknya, harus bergerak lebih dari sekadar klarifikasi. Ganti konsultan,
selidiki jaringan yang bermain, beri sanksi tegas hingga ke akar. Tunjukkan
bahwa Merah-Putih bukan mainan di tangan yang salah.
Sebab malam itu kita belajar satu hal yang pahit: di republik ini,
bahkan lowongan kerja pun bisa menjadi stand-up comedy. Bedanya, penontonnya
tertawa—bukan karena lucu, tetapi untuk menyembunyikan getir di balik bibir
yang tergigit.
Dan di sinilah kita, para penonton yang juga warga negeri ini, diajak untuk berhenti tertawa getir. Bung Hatta pernah mengajarkan bahwa koperasi bukan sekadar soal usaha ekonomi, melainkan ruh kebersamaan: gotong-royong, keadilan, dan kejujuran.
Jika Merah-Putih telah tergelincir di lembar
pengumuman, kini saatnya —untuk diangkat kembali, dibersihkan dari noda, dan
mengibarkannya dengan hormat. Karena bangsa ini hanya akan seteguh makna yang
kita jaga di balik warnanya.

إرسال تعليق