“Lampung Barat 34 Tahun: Janji Setia, Sungai Mengeluh, dan Jalan yang Tak Pernah Selesai”



Di peta Provinsi Lampung, Lampung Barat hanyalah seujung kuku—6,05% luas provinsi, 2.141,57 km² saja. Tapi siapa pun tahu: kuku kecil yang tersayat bisa membuat seluruh tubuh gemetar. Sejak 24 September 1991, Liwa berdiri—menatap Bukit Barisan yang anggun, menghirup kabut subuh, dan menyimpan janji: tanah ini akan lestari, setia, dan tak mudah ditukar dengan amplop tipis.

 

Tema HUT ke-34, “Berbudaya Menuju Lampung Barat Setia,”  terdengar merdu, seperti kaset lawas yang diputar ulang. Tapi setia bukan cat sablon di baliho. Setia bukan tepuk tangan di bawah tenda VIP. Setia adalah menjaga hutan, bahkan ketika suara gergaji lebih menggoda daripada suara burung. Setia adalah menenangkan Way Gunung Sari sebelum ia meluap jadi air mata lagi. Setia adalah berdiri di tanah ini—mendengar keluh petani tentang harga kopi dan sayuran yang dipermainkan tengkulak, atau jalan berlumpur yang setiap hujan berubah jadi danau dadakan.

 

Lampung Barat pernah di nobatkan sebagai Kabupaten Konservasi. Peraturan Bupati Nomor 48 Tahun 2009 jadi prasasti kebanggaan. Namun, hutan-hutan kini bercerita lain: 11.102 hektare sudah berpindah fungsi, dan total 29.207 hektare di TNBBS dijejali lebih dari 16 ribu keluarga. Itu bukan sekadar angka; itu desah rimba yang kehilangan lagu.

 

Banjir bandang di Suoh dan Bandar Negeri Suoh 10 September lalu hanyalah surat pendek dari alam—lima rumah hanyut, sepuluh rusak, tiga puluh keluarga mengungsi. Way Gunung Sari meluap bukan karena ia kurang sopan, tetapi karena kita abai pada hulunya.

 

Dan masalah-masalah lama masih saja betah nongkrong, seolah waktu tak pernah bergerak:

-       Jalan Liwa–Sukau yang tiap musim hujan berubah jadi kolam renang gratis.

-       Kopi harum dan sayur segar yang harganya masih dipermainkan tengkulak, seperti boneka di tangan anak nakal.

-       Objek wisata yang indahnya bikin iri Bali, tapi jalannya bikin lutut turis gemetar.

-       Para pejabat yang lebih nyaman di Bandar Lampung—datang Senin, pulang Jumat—seolah tanah ini cuma rumah kontrakan.

-       Petani dan harimau yang saling curiga, padahal keduanya hanya sedang mempertahankan rumah yang sama.

 

Di sela semua itu, ada kisah lirih yang tak kalah perih: jalan-jalan di Lampung Barat kini banyak dibangun dengan keringat swadaya warganya. Jalan Sukarno–Hatta—nama yang di kota lain menjadi lambang kemajuan—di sini hanyalah monumen kesabaran rakyat. Dibuka sejak zaman Bupati Umpusinga, tujuh bupati telah lewat, idealnya dua jalur dari Pekon Tanjung Raya ke Pekon Sukarami di Balik Bukit, tapi hingga kini baru separuh. Jembatan penghubung Sukarami–Islamic Center Watas pun masih belum berdiri. Beberapa titik bahkan lebih sering jadi kolam dadakan ketimbang jalan. Jalan itu sendiri, kalau bisa bicara, mungkin berkata: “Aku bosan jadi setengah. Sampai kapan kalian menanggung setia dengan setengah hati?”

 

Di saat dunia sibuk menawar karbon dan menyelamatkan bumi, Lampung Barat pun layak membuat regulasi, tim kerja, dan menjajakan karbonnya—bukan sekadar menjual angka, tetapi menawarkan napas hutan kepada bumi. Dengan kompensasi yang bukan recehan, yang mengurangi ketergantungan pada transfer pusat dan pajak rakyat, yang memberi napas pada petani, dan menenangkan harimau di tepi hutan.


Ulang tahun bukanlah panggung gemerlap, bukan musik bising yang dibungkus balon warna-warni. Kado terbaik untuk Lampung Barat adalah keberanian menatap cermin dengan hati iklhas dan jujur: memperbaiki  jalan  agar tak lagi jadi sungai,  menegakkan harga adil untuk kopi dan sayur, menata wisata bukan dengan brosur, tetapi dengan infrastruktur yang membuat siapa pun rindu kembali. Dan untuk para pejabat, setia bukan hadir saat seremoni, lalu pulang ke rumah nyaman di kota. Setia adalah menetap, mendengar, dan merasakan tanah ini dengan telapak kaki sendiri.

 


Selamat ulang tahun ke-34, Lampung Barat. Semoga kita tak lagi hanya mahir berslogan. Karena hutan, sungai, kopi, sayuran, dan jalan yang setengah jadi tak menunggu janji indah—mereka menunggu kesetiaan yang nyata, bahkan setelah musik panggung berhenti dan kabut pagi kembali turun di Liwa.

Post a Comment

أحدث أقدم