"Kami tidak punya aplikasi kencan, tapi hafal siapa saja yang datang."
"Kami tak tahu algoritma, tapi tahu
betul siapa yang sedang bekhasan."
"Dan ya, kami jatuh cinta... di
sela ulegan sambal dan suara rebana."
Di zaman ketika cinta tumbuh dari
tatapan diam di balik panci dan suara pantun yang saling sindir, ada satu
panggung utama bagi para muli mekhanai—nayuh. Hajatan pernikahan yang dulu
bukan hanya soal pesta, tapi ajang belajar hidup, menumbuhkan rasa, bahkan
kadang menumbuhkan cinta. Kami menyebutnya dapur hajatan. Tempat di mana suara
piring dan sendok lebih romantis dari notifikasi ponsel.
Tiga hingga lima hari sebelum hari H,
para muli mekhanai baya—anak-anak muda dari keluarga satu kampung—sudah datang.
Bukan untuk ikut pesta, tapi justru ikut repot. Mereka berkumpul dalam sebuah
himpun, musyawarah kecil yang dipimpin seorang batin dari keluarga tuan rumah.
Di sana dibahas apa saja yang kurang, mulai dari tikar, panci, hingga garam
dapur. Siapa yang pinjam ke siapa, kapan tandang ke hutan, dan siapa yang ikut.
Semua dibahas rinci. Tapi tetap saja, dalam setiap rapat itu ada yang diam-diam
saling lirik. Biasanya si muli yang lihai motong daun pisang, atau si mekhanai
yang bicaranya pelan tapi bisa nyusun jadwal masak tanpa lihat catatan. Manusia
memang suka pada yang teratur.
Setelah himpun, giliran berburu bahan.
Kami menyebutnya tandang. Berangkat ke ladang, kebun, bahkan hutan. Mencari serai,
lengkuas, daun salam, pisang, dan kadang singkong. Di situlah biasanya
perkenalan dimulai. Tidak ada "hai" ala media sosial. Yang ada:
"Aku yang bawa parang, kamu yang pegang karung, ya?" Begitu saja
sudah cukup untuk membangun kepercayaan awal.
Sehari sebelum hari H, datanglah muli
mekhanai walian dan qokhi. Mereka dari luar kampung—kerabat dari pihak ibu
pengantin dan tamu undangan adat. Biasanya ditempatkan di rumah terpisah.
Lucunya, ada juga mekhanai jebus—datang tanpa surat, tapi rajin bantu dan
paling aktif nyambung obrolan. Mungkin itu definisi cinta tanpa undangan.
Ketika semua bahan sudah terkumpul, dimulailah
proses yang disebut khambak bukha. Mengiris, menggiling, dan menyiapkan semua
bumbu. Pekerjaan ini umumnya dilakukan oleh qokhi, tamu kehormatan, yang
diam-diam paling kuat motong bawang tanpa nangis. Walian duduk menemani sambil
ngobrol dan sesekali ikut ngulek. Sementara baya, tim rumah, bertugas
menyediakan alat. Yang menarik, saat khambak bukha, para mekhanai mulai nyambai—berbalas
pantun, kadang asal, kadang lucu, kadang gombal tipis. Ada gong/tetawak, ada
terbangan, dan ada getar-getar rasa yang tak bisa dijelaskan.
Malam pun tiba. Nyambai jadi agenda
utama. Yang tadi ngiris bumbu, kini duduk bersila. Tarian, pantun, dan suara
tawa bersahut-sahutan. Saling sindir, saling goda, kadang ada yang pura-pura
tidak bisa pantun, padahal hafal sampai tiga bait. Tapi begitulah, di sana,
cinta tak langsung tunjuk tangan. Ia lewat suara. Lewat kata-kata yang dilempar
seperti main kelereng, siapa tahu nyangkut di hati lawan main.
Tepat tengah malam, saat pantun mulai
kehabisan rima, dapur kembali hidup. Makanan ringan dikeluarkan: nasi goreng,
kopi kental, cucur, kumbang luyang, dan buak tat. Istirahat sambil mengganjal
perut. Tapi hati tetap jalan. Setelah itu, nyambai berlanjut. Yang tadi hanya
saling lirik, mulai saling sapa. Yang sebelumnya hanya rekan motong daun
pepaya, kini mulai bertukar cerita masa kecil.
Sekitar pukul tiga pagi, saat ayam belum
sempat bangun, giliran parut kelapa. Ngecil—memeras santan. Bukan cuma kelapa
yang diperas, tapi juga perasaan yang mulai tumpah lewat tawa kecil. Di sinilah
biasanya bekhasan—pendekatan pelan-pelan—berlangsung paling lancar. Tak ada
musik, tak ada lilin. Hanya santan, tangan basah, dan tatapan yang pelan tapi
jelas.
Menjelang subuh, para muli mekhanai
mulai memasak. Dipimpin juragan, seperti kepala koki di restoran mahal.
Masakan-masakan mulai menguap ke udara, mencampur aroma rempah dan perasaan.
Semua bergerak cepat. Karena tepat pukul sembilan pagi, semuanya harus selesai.
Para jebus mulai pamit. Tapi yang hatinya masih menggantung biasanya tetap
tinggal, menunggu acara adat—siapa tahu, dapat restu sebelum acara behakhak.
Setelah arak-arakan dan pemberian gelar
adat (butetah), semua duduk makan bersama dalam acara pangan. Makanan yang tadi
diolah ramai-ramai, kini disantap pelan-pelan. Yang dulunya saling bantu potong
daging, kini duduk satu piring. Ada yang saling curi pandang. Kalau kata orang
tua: "Kalau sudah makan bareng, tinggal bawa ke rumah saja."
Besok paginya, muli mekhanai baya
kembali ambil tugas: bebasuhan. Mencuci piring, perabot, dan alat-alat
pinjaman. Setelah bersih, mereka keliling kampung, mengantar kembali apa yang
dipinjam. Tapi sebelum bubar, dilakukan pelaporan ke batin—si pemimpin awal.
Disampaikan alat apa saja yang dipakai, rusak atau tidak, dan kalau rusak,
bagaimana gantinya. Transparan, jelas, dan penuh tanggung jawab. Biasanya,
batin hanya mengangguk sambil berkata, “Terima kasih. Kalian sudah bantu, sudah
jalankan amanah.” Dan pada momen itu, meski lelah, semua merasa bangga. Ada
yang diam-diam menyeka peluh, dan ada juga yang diam-diam menyimpan satu nama
di dalam hati.
Sekarang, semua terasa jauh. Generasi
baru lebih kenal kamera dari pada alat parut. Mereka lebih suka membagikan
senyum di layar ketimbang di dapur. Tak banyak lagi yang tahu rasanya jatuh
cinta lewat ulegan sambal. Padahal di situ ada proses, ada gotong royong, ada
kerja sama, dan ada hikmah yang sulit diajarkan di kelas mana pun.
Kami bukan hanya belajar masak. Kami
belajar hidup. Kami belajar bertanggung jawab, belajar berkata baik lewat
pantun, belajar bekerja dalam sistem, dan diam-diam belajar mencintai dengan
cara yang sangat sederhana.
Hari ini, mungkin rambut kami sudah
diselingi uban. Tapi setiap kali mencium aroma santan yang dimasak dengan daun
salam, atau dengar suara terbangan, kami serasa kembali ke masa itu. Masa di
mana cinta itu tak perlu janji, cukup hadir dan ikut nyambai.
Jadi kalau suatu hari kamu diajak ke
nayuh, jangan tanya: "WiFi-nya kencang nggak?" Tanyalah: "Saya
bantu bagian mana, dan siapa yang di situ?"

إرسال تعليق