Tangisan Tanah Tua yang Tak Pernah Kita Dengar

 




Pergi ke ladang menanam padi,

Padi tumbuh di tepi rawa.

Jangan lalai menjaga bumi,

Bumi tua selalu berkabar kepada kita

 

Di tanah yang renta namun perkasa ini, kita lahir dan tumbuh. Kita diberi naungan oleh awan, disapa oleh embun pagi yang setia, dan dijamu oleh tanah yang tak pernah hitung-hitungan. Tapi hari ini, tanah tua itu menangis—bukan karena ia lemah, melainkan karena kita tak lagi tahu cara mendengarkan.

 

Tanah itu bernama Lampung Barat, tanah tertua di selatan Sumatera. Ia berdiri bukan di atas beton, tapi di atas denyut patahan aktif. Ia tak bernaung di bawah menara, tapi di bawah punggung Gunung Pesagi,Seminung, Sekincau, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), dan lereng-lereng hijau yang dulu anggun dan sabar. Kini, satu demi satu, tanda-tanda kesabaran itu mulai pudar. Dan tanah ini mulai berbicara dalam bahasa yang tak bisa kita tolak.

 

Kita hanya perlu sedikit membuka hati untuk mendengar bahwa tanah ini tak diam. Ia pernah menggeliat pada 25 Juni 1933, saat gempa 7,5 SR mengguncang jantung tanah Liwa. Dan lagi, 16 Februari 1994, pukul 00.07 WIB, ia mengingatkan kita lewat gempa 7,0 SR yang merobohkan Liwa dan menelan lebih dari 200 jiwa. Tapi entah kenapa, setiap kali tanah memberi kabar, kita justru memilih lupa.

 

Kita masih lupa ketika longsor menutup jalur Liwa–Krui. Kita pura-pura sibuk ketika banjir bandang menyapu Suoh, menghanyutkan sawah dan rumah. Kita tetap melaju di jalur Liwa–Ranau, meski longsor terus menutup jalan dan air bah mengubur batu dan pasir di Hamkatir dan Padang Cahya. Dan baru-baru ini, langit pun ikut bicara: 29 September 2025, hujan es turun di Kecamatan Balik Bukit, membawa isyarat bahwa alam sedang tak baik-baik saja.

 

Namun ada luka yang lebih dalam dari gempa, lebih sunyi dari banjir: 11.102 hektare hutan TNBBS telah dirambah. Hutan yang seharusnya menjadi kitab suci alam, tempat anak cucu kita membaca kehidupan, kini bolong, botak, dan sekarat. Ratusan, bahkan ribuan keluarga sudah masuk jauh ke dalam zona konservasi. Tapi yang lebih menyedihkan: apakah kita benar-benar tahu siapa mereka?

 

Sudah saatnya kita mendata ulang. Jangan sampai ada yang mengaku petani Lampung Barat, tapi sejatinya adalah penyerobot dari luar, membawa mental perusak dan kepentingan jangka pendek. Kita butuh keberanian, bukan hanya menertibkan, tetapi memastikan bahwa yang memiliki dan mengolah tanah ini adalah mereka yang ber-KTP Lampung Barat, mereka yang punya akar, bukan yang datang untuk menebang dan menghilang.

 

Kita tahu bahwa sebagian dari mereka masuk karena desakan ekonomi. Tapi tetap, tanah ini bukan tempat pelarian, apalagi ladang spekulasi. Kita butuh verifikasi data, kita butuh kepastian identitas. Harus jelas siapa yang benar-benar petani, siapa yang hanya ingin mengeruk.

 

Dan di titik inilah, Peraturan Bupati tentang Kabupaten Konservasi harus lebih dari sekadar arsip. Ia harus membumi—masuk ke musyawarah pekon, didengar di sekolah, diresapi dalam khutbah, dan dijadikan azimat dalam setiap langkah pembangunan. Kita tidak bisa lagi menutup mata dengan istilah "pembangunan", padahal yang tumbuh hanyalah luka.

 

Sementara itu, Instruksi Gubernur Lampung tentang pengosongan kawasan TNBBS  harus segera dijalankan dengan adil dan manusiawi. Bukan asal gusur. Kita tidak sedang memusuhi petani—kita sedang menyelamatkan tanah untuk petani yang sesungguhnya. Mereka yang terverifikasi, yang tinggal turun-temurun, harus dibedakan dari yang datang tiba-tiba dengan cangkul dan keserakahan.

 

Dan sesungguhnya kita tidak kekurangan cara. Lampung Barat telah lama mengenal Repong, kebun kayu buah-buahan yang hidup berdampingan dengan hutan. Kita punya akar yang kuat dalam Sistem Perhutanan Sosial—di mana rakyat bukan perusak, tapi penjaga. Sudah saatnya pola ini kita hidupkan kembali. Tidak semua lahan harus dijadikan ladang, tidak semua pohon harus tumbang untuk jadi uang.

 

Kita tak sedang melawan rakyat. Kita sedang menyelamatkan tanah yang akan diwariskan kepada anak-anak rakyat. Tanah ini bukan benda mati. Ia adalah makhluk yang sedang memberi tanda-tanda. Bambu dan aren pernah menjadi pelindung tanah di lereng-lereng kita. Menanamnya kembali bukan sekadar penghijauan, tapi doa hijau yang tumbuh dalam senyap. Bambu menyimpan air, memeluk tanah, menenangkan lereng. Aren memberi buah, nira, ijuk—nafkah yang sabar namun pasti.

 

Tanah perlu pelukan akar, bukan pukulan alat berat. Lereng butuh kelembutan, bukan keserakahan.

 

Sementara itu, kita juga harus berani mengatakan cukup pada penambangan pasir dan sumur bor ilegal. Setiap kali tanah dikorek tanpa kasih, setiap kali gunung digerus demi kepentingan sesaat, kita sedang mengiris tubuh kita sendiri. Luka itu tak kemana-mana. Ia hanya menunggu musim hujan tiba untuk berubah menjadi air mata—banjir, longsor, dan kehilangan.

 

Tanah tua ini tidak sedang murka. Ia hanya ingin kita berhenti lupa. Ia ingin kita mengerti bahwa setiap getaran, setiap guguran batu, setiap kristal es yang jatuh dari langit, adalah teguran. Dan teguran itu bukan hanya untuk pejabat atau pemimpin. Tapi untuk kita semua—yang hidup, yang lewat, yang diam, yang tahu namun memilih tak peduli.

 

Lampung Barat adalah rumah bagi banyak kisah—kisah tentang ketabahan, tentang kehilangan, tentang harapan yang harus terus disemai. Jika hari ini tanah ini menangis, maka yakinlah, tu bukan hanya tangisan bumi. Itu adalah tangisan kita sendiri. Tangisan yang tak pernah benar-benar kita dengar.

 


Post a Comment

أحدث أقدم