Seranggas Mengingatkan, Kita Jangan Terlalu Pandai Melupakan

 



Tanah punya bahasa yang halus. Ia tidak berteriak, tidak membuat keramaian. Ia hanya berbisik lewat tanda-tanda: retak kecil di tebing, air yang tiba-tiba keruh, akar pohon yang menegang sebelum amblas. Tapi manusia sering tak mendengar. Atau pura-pura tak mendengar.

 

Di Liwa, bisikan itu kini berubah menjadi seruan. Jalan Seranggas kembali putus. Bahu jalan menganga, aspal terburai, kendaraan terhenti di tengah kabut. Warga hanya bisa menatap, menakar antara keselamatan dan keperluan. Polisi menutup jalur itu, keputusan yang bijak—meski tetap terasa getir.

 

Lampung Barat, seharusnya tengah gagah menatap masa depan. Usia muda, semestinya penuh tenaga dan ide segar. Tapi, apa yang selalu jadi berita dari kabupaten ini? Longsor. Jalan amblas. Banjir. Seperti takdir yang berulang setiap musim hujan datang.

 

Kita pun terbiasa dengan berita duka itu, seolah ia bagian dari rutinitas. Kita hafal narasinya, tapi tak juga belajar dari pesannya.

Apakah tanah Lampung Barat memang selemah itu? Ataukah manusianya yang tidak benar-benar serius mempersiapkan diri hidup di wilayah yang rawan bencana?

 

Bencana ini, kalau mau jujur, bukan semata soal curah hujan atau struktur tanah. Ia juga tentang struktur kesadaran. Tentang cara kita memandang alam—sebagai ruang untuk ditaklukkan, bukan dijaga. Tentang cara pejabat memandang laporan—sebagai dokumen yang aman di meja, bukan peringatan dari bumi yang mulai rapuh.

 

Kita terlalu cepat menambal jalan, tapi terlalu lambat menambal kesadaran. Terlalu cepat bicara proyek, tapi terlalu lambat bicara peringatan. Padahal, pembangunan sejati bukan tentang jalan yang mulus, melainkan hubungan yang halus antara manusia dan tanah yang dipijaknya.

  

Para pejabat di Liwa mestinya belajar sedikit menunduk, bukan hanya di hadapan atasan, tapi di hadapan bumi yang memberi mereka tempat berpijak. Sesekali dengarkan suara tanah, bukan hanya suara pimpinan. Karena posisi yang aman tak ada artinya jika bumi tempat berpijak perlahan hilang di bawah kaki.

 

Liwa, dengan kabut yang selalu jatuh di antara lembah dan punggung gunungnya, sesungguhnya sedang terus mengingatkan kita. Bahwa hidup di tanah bergoyang bukan tentang keberanian, melainkan tentang kebijaksanaan. Tentang bagaimana manusia belajar mendengar sebelum terlambat.

 

Tanah Seranggas berbicara, dan kita semestinya menjawab dengan tindakan, bukan hanya rencana. Karena setiap retak di bumi sejatinya adalah cermin dari retak dalam diri manusia. Yang amblas bukan hanya jalan, tapi juga kesadaran. Yang longsor bukan cuma tanah, tapi juga kepekaan kita sebagai makhluk yang mestinya tahu berterima kasih pada bumi.

 

Maka biarlah tulisan ini menjadi semacam doa kecil dari ujung barat Lampung. Doa agar tanah ini kembali tenang, agar jalan Seranggas segera bisa dilewati, dan agar hati para pengurus negeri ini tidak terlalu pandai melupakan bisikan bumi.

 

Sebab, ketika tanah mengingatkan dan manusia tetap merasa paling tahu, maka jarak antara peringatan dan petaka hanya sependek retakan kecil yang kita abaikan.

Post a Comment

أحدث أقدم