BUDAYA bukan untuk dipajang dalam festival, melainkan dihidupkan dalam keseharian. Sebab, nilai tidak tumbuh dari sorak penonton, tetapi dari peluh di dapur kehidupan.
Dalam
“ Dulu Kami Jatuh Cinta Kami di Dapur
Hajtan”, Saya bercerita tentang bagaimana muli-meranai (gadis dan perjaka) di kampung ikut
dalam acara nayuh (pesta
pernikahan). Nayuh ini
tidak sekadar kegiatan pesta, tetapi juga ruang belajar yang begitu alami dan
membumi.
Rangkaian kegiatan yang diikuti muli-meranai itu saya kisahkan berturut-turut,
mulai dari himpun, nyani buwak, tandang dan belangok, buinjaman (meminjam
perabot), ngekis gantang dan membuat kelapa goreng (ngikis kentang dan
mengoseng kelapa), rambak
bura (mengolah bumbu), nyambai,
mengan mi sarlai daleh ngupi rik nganik buwak (makan nasi
goreng, ngopi, dan makan kue), ngukor dan ngecil taboh (memarut
dan memeras kelapa), begulai, pangan (makan
bersama), bebasuhan dan beulohan (bersih-bersih
dan mengembalikan barang) hingga nangguh (laporan
dan pamit).
Dari
rangkaian panjang itu, muli-meranai mendapat
pelajaran penting. Mereka bukan hanya belajar memasak, tetapi juga belajar
hidup: belajar bertanggung jawab, bekerja dalam sistem, berkata baik lewat
pantun, hingga diam-diam belajar mencintai dengan cara yang sederhana. Generasi
yang tumbuh di era nayuh mengenal
makna saudara bukan hanya yang serumah, tapi juga yang beda pekon (desa).
Banyak
kawan lama yang memberi tanggapan terhadap tulisan. Ada yang sekadar menekan
jempol, ada yang berkomentar ringan, tetapi ada juga yang menulis dengan serius
sekali. Dari beberapa tanggapan itulah saya menyadari satu hal: nayuh bukan
sekadar tradisi, tetapi mesin pembentuk karakter. Dari situ tumbuh kemandirian
dan rasa tanggung jawab. Saat para muli
meranai merantau, mereka tidak gagap dengan dapur, tidak
canggung dengan rumah. Mereka sudah ditempa oleh tradisi.
Ada yang berpendapat, proses nayuh itu
ibarat komponen kendaraan bermotor: satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Ruhnya baru terasa kalau semua dilalui dari awal hingga akhir. Bayangkan jika
kendaraan hanya punya ban—apakah bisa melaju dengan nyaman? Tentu tidak. Ia
butuh mesin, rem, karburator, dan onderdil lain agar berfungsi utuh.
Begitu
pula nayuh. Bila yang
diambil hanya satu komponennya, misalnya nyambai, lalu kita berharap lahir karakter remaja yang
tangguh, tentu itu mustahil. Sebab nyambai hanyalah salah satu bagian dari
keseluruhan proses. Ia memang indah di panggung, tapi nilai kemandirian,
gotong-royong, dan tanggung jawab justru tumbuh di dapur, di bawah lampu
minyak, di tengah tawa dan peluh yang tak terlihat penonton.
Seorang
kawan sempat menyentil tentang nyambai yang
acapkali tampil di Festival Sekala Brak, Lampung Barat. “Apakah itu sekadar
hiburan untuk nostalgia atau benar-benar wadah untuk menumbuhkan karakter
generasi muda?” Pertanyaan itu menampar lembut. Sebab, kini peserta nyambai dalam
festival justru lebih banyak ibu-ibu, bapak-bapak, bahkan anak-anak SD. Muli-meranai tampak
hanya sebagai penonton, bukan pelaku.
Boleh jadi kegiatan itu memang dimaksudkan untuk hiburan, untuk menjaga agar budaya tak hilang di tengah zaman. Tapi, kalau yang tampil hanya generasi lama dan yang menonton hanya generasi baru, maka kita sedang menonton budaya yang dirawat, bukan dilanjutkan.
Tanpa
bermaksud menyalahkan siapa pun, apalagi menggurui–terlebih kita tahu bahwa
biaya penyelenggaraan festival budaya juga tidak kecil–alangkah baiknya bila
setiap kegiatan dalam Festival Sekala Brak dikembalikan pada ruh asalnya. Tidak
sekadar mempertontonkan tarian, tetapi menanamkan nilai-nilai kepemimpinan,
kemandirian, persaudaraan, dan kecintaan pada tanah Lampung Barat dari hal-hal
sederhana sebagaimana yang tumbuh dalam nayuh di
masa lalu.
Budaya
seharusnya tidak hanya menjadi panggung yang terang, tetapi juga dapur yang
hangat. Ia hidup bukan karena sering ditonton, melainkan karena terus
dilakukan. Bila budaya diibaratkan kendaraan, maka nayuh adalah mesin yang
membuatnya bergerak. Dan nyambai hanyalah
salah satu onderdilnya—indah, tetapi tidak akan membawa kendaraan jauh bila
yang lain dibiarkan hilang.
Kini, mungkin kendaraan budaya kita masih tampak utuh, catnya masih mengilap,
musiknya masih nyaring. Tapi bila diperiksa perlahan, ada onderil yang hilang.
Ada sekrup nilai yang longgar, ada baut kebersamaan yang mulai lepas, dan ada
karburator keikhlasan yang tak lagi mengalirkan bahan bakar semangat seperti
dulu. Kita masih bisa menyalakan mesin, tapi suaranya sumbang—karena sebagian
komponennya tinggal kenangan.
Sementara itu, di pinggir jalan sejarah, para orang tua kita menatap diam, dan jika di izinkan mareka akan berkata,
“Nak, jangan biarkan kendaraan ini hanya jadi pajangan. Rawatlah onderilnya, jangan ganti dengan yang palsu. Sebab budaya bukan sekadar tampilan luar, tapi napas yang membuat hidup terasa punya arah.”
Dan, bila suatu hari nanti kita bertanya, kenapa kendaraan budaya ini tersendat di tengah jalan; barangkali jawabannya sederhana: karena ada onderil yang hilang. Tidak dari mesin, tetapi dari hati kita sendiri.

إرسال تعليق