Rumah sakit adalah tempat orang datang
dengan luka, doa, dan harapan. Tapi di gerbang RSUD Abdul Moeloek (RSUAM)
Bandar Lampung, keluarga pasien sering kali dihadapkan pada beban lain yang tak
kalah menyakitkan: retribusi parkir yang terasa lebih tajam dari biaya.
Fenomena yang terjadi sederhana tapi
mengiris: kendaraan yang hanya lewat mengantar pasien, meski tak memanfaatkan
lahan parkir, tetap dikenai tarif Rp3.000, atau dihitung satu jam penuh. Di
titik-titik vital seperti IGD, Rawat Jalan, hingga Gedung Cuci Darah—yang setiap
hari ramai oleh kendaraan antar jemput—logika kemanusiaan seolah absen.
Bukankah seharusnya kendaraan antar jemput, apalagi angkot dan atau kendaraan
online, dibebaskan dari pungutan?
Beberapa rumah sakit swasta di Bandar Lampung sudah melangkah lebih bijak.
Mereka memberi kebijakan: hanya yang benar-benar parkir yang dikenai biaya.
Kendaraan yang sekadar menurunkan pasien dibiarkan lewat tanpa pungutan. Ada
empati di sana, ada kepekaan. Maka wajar jika kita berharap RSUAM—sebagai rumah
sakit rujukan terbesar di Provinsi Lampung—mampu meniru kebijakan baik itu.
Yang terasa ganjil justru ketegasan
petugas pintu keluar. Mereka begitu sigap saat menarik bayaran, tetapi minim
dalam pelayanan. Saat berada di dalam areal parkir, umumnya kendaraan dibiarkan mencari tempat
parkir sendiri, tanpa arahan, tanpa pengaturan. Pertanyaan pun muncul: adakah
rasa adil ketika yang dikejar hanya retribusi, sementara pelayanan tak sepadan?
Dan lebih dalam lagi: benarkah retribusi parkir ini sepenuhnya masuk kas
daerah, atau justru ada celah-celah yang hilang di jalan? Ntaaahlaah.
Seorang ahli tata kota pernah
mengingatkan, “Retribusi parkir tidak boleh melukai rasa keadilan publik.”
Parkir di rumah sakit mestinya menjadi instrumen pengaturan, bukan ladang
mencari rupiah. Apalagi bagi keluarga pasien yang sedang berada di ujung daya
dan doa.
Sebelum pemerintah mengeluarkan regulasi
yang lebih tegas—membebaskan parkir untuk kendaraan antar-jemput di seluruh fasilitas
public di Bandar Lampung seperti: Universitas,
mall, hotel, dan rumah sakit—RSUAM mestinya bisa menjadi pelopor. Karena ukuran
sebuah rumah sakit besar idealnya tidak hanya pada luas bangunan atau jumlah
pasien, tapi juga pada kemampuannya menjaga nilai kemanusiaan di setiap detail
pelayanan, bahkan sampai soal parkir.
Dan di sinilah nurani publik harus
bersuara. Jangan biarkan gerbang rumah sakit berubah menjadi loket retribusi
yang menghisap di saat keluarga tengah berjuang dengan doa dan air mata. Jangan
biarkan RSUAM, yang mestinya jadi simbol pelayanan kesehatan tertinggi di
Lampung, justru tercatat di hati rakyat sebagai tempat di mana kemanusiaan
dipaksa kalah oleh karcis parkir.
Kini saatnya pemerintah daerah meninjau
ulang. Hentikan pungutan untuk kendaraan yang sekadar antar jemput. Tunjukkan
bahwa empati bisa lebih berharga daripada tiga ribu rupiah. Sebab sejarah akan
mencatat, apakah rumah sakit ini benar-benar berdiri untuk menyembuhkan rakyat,
atau sekadar berdiri untuk menghitung receh dari gerbang penderitaan.

إرسال تعليق