Ketika Rakyat Menambal Jalan, Siapa yang Sebenarnya Retak?

 


Di Lampung Barat, dua kisah mengalir seperti air yang mencari jalannya sendiri: kisah rakyat yang bekerja dalam diam, dan kisah pemerintah yang justru hadir dalam suara, bukan dalam tindakan.

Di Seranggas dan Sukarame, tanah yang amblas dan jalan yang rusak bukan hanya melumpuhkan akses, tetapi juga menyingkap celah besar dalam amanah kepemimpinan yang mestinya menjadi penopang kehidupan masyarakat.

 

Warga Seranggas menurunkan bambu, kayu, seng, dan keteguhan hati. Mereka tidak menunggu sirine mobil dinas atau rapat koordinasi yang tak kunjung usai. Mereka hanya tahu: jika mereka tidak bergerak hari ini, maka hidup akan terhenti esok.  Di Sukarame, puluhan juta rupiah dikumpulkan dari saku-saku rakyat yang tak seberapa.  Beton itu mengeras, tapi hati mereka jauh lebih keras dari apa pun yang dituangkan di jalan itu. Gotong royong menjadi bukti bahwa cinta pada kampung halaman lebih kuat daripada kekecewaan.

 

Dari tengah kerja keras itulah pertanyaan lahir, bukan sebagai amarah, melainkan sebagai luka yang pelan-pelan mencari suara: “Pemerintah ke mana saat jalan kami rusak? Mengapa masyarakat sendiri yang memperbaiki?”

 

Pertanyaan itu ringan di bibir, tetapi berat di dada. Karena jalan bukan sekadar aspal dan kerikil—ia adalah denyut hidup tempat anak sekolah melangkah, tempat petani membawa hasil, tempat ekonomi berputar,  tempat harapan bergerak.  Dan ketika denyut itu putus, yang bergetar bukan hanya tanah,  melainkan rasa percaya yang perlahan kehilangan pijakan.

 

Dalam suasana getir ini, kita tersentuh pada firman Allah SWT, ayat yang sering dibacakan pemimpin di podium,  tetapi belum tentu dihidupkan dalam tindakan:

 

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya…”(QS. An-Nisa: 58)

 

Dan lebih keras lagi peringatannya:

“Janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu…”(QS. Al-Anfal: 27)

 

Amanah adalah beban suci—bukan slogan, bukan poster, bukan pidato.

 

Namun justru di sinilah ironi itu terasa menyesak:  Slogan “Lampung Barat Hebat”  yang digembar-gemborkan pemimpin  nyatanya lebih hidup di tangan rakyatnya sendiri.  Rakyatlah yang hebat, yang bekerja tanpa panggung, yang menolong tanpa seremonial.  Sementara pemerintah hadir dengan janji yang baru muncul setelah rakyat selesai setengah perjalanan.

 

Lebih pahit lagi, ketika pemimpinnya marah-marah di media sosial,

menghimbau agar para bawahannya hadir  bergotong royong membantu masyarakat, namun kemarahan itu menguap begitu saja—tak menjelma menjadi alat berat, tak menjadi perbaikan jalan,

tak berubah menjadi kehadiran pemerintah yang nyata.  Yang marah adalah kata-kata,  yang bekerja adalah rakyat.

 

Dan di situlah kita bertanya dalam hati:  apakah kemarahan di media sosial bisa menambal jalan?

Apakah nada tinggi bisa menggantikan amanah?

Rakyat telah mengajarkan sesuatu yang lebih elegan dari semua itu:  bahwa ketulusan tidak perlu diunggah, bahwa kerja tidak perlu diumumkan,  bahwa kehadiran tidak perlu dirayakan.

 

Rakyat Lampung Barat tidak menuntut kemewahan.  Mereka hanya ingin pemerintah hadir sebelum mereka letih bekerja sendiri.  Sebab ketika rakyat turun ke jalan bukan untuk berdemonstrasi, melainkan untuk memperbaikinya, yang sebenarnya retak bukan hanya aspal—melainkan hubungan kepercayaan yang semestinya saling menguatkan.

 

Dan dari jalan-jalan yang dicor dengan keringat masyarakat itu, seakan muncul pesan lembut namun penuh makna:

 

“Jika Lampung Barat benar-benar ingin hebat, maka biarkan kehebatan rakyat menjadi cermin—cermin bagi para pemimpin agar berhenti marah di layar,dan mulai hadir di dunia nyata.”

Post a Comment

أحدث أقدم