Di Lampung Barat, satu bantal tidak selalu menampung mimpi
yang sama. Pemimpin berbicara tentang pembangunan, konservasi, dan
kesejahteraan, sementara rakyat membaca realita dari tanah yang mereka pijak,
dari jalan yang berlubang, dari sayur yang dijual murah, dari hutan yang
perlahan hilang, dan dari biaya hidup yang kian berat. Di sinilah jarak itu
terasa: halus seperti angin yang menyentuh dedaunan, namun cukup tajam untuk
mengikis kepercayaan dan harapan.
Ahli tata kelola pemerintahan menyebut, “Kesenjangan antara
visi dan kenyataan biasanya muncul dari kelemahan eksekusi, keberpihakan
kebijakan, dan konsistensi pengawasan.” Di Lampung Barat, hal itu terlihat jelas.
Jalan dan jembatan rusak yang menunggu terlalu lama akhirnya diperbaiki oleh
warga sendiri, bukan oleh pemerintah, sebut diantaranya Jembatan Seranggas dan
Tanjakan Sukarame. Pakar administrasi publik menamai ini
sebagai “gejala defisit pelayanan dasar”—di
mana rakyat menanggung beban negara karena kebutuhan tak bisa menunggu. Jalan
yang rusak bukan sekadar fisik; ia simbol janji yang tertunda, mimpi yang belum
disentuh.
Begitu pula sektor pertanian. Harga sayur dari petani selalu
rendah dan tidak pernah stabil. Ahli ekonomi daerah menegaskan: “Harga hasil
panen adalah indikator paling jujur dari keberpihakan kebijakan pemerintah.” Ketika kerja keras petani hanya menghasilkan
sedikit keuntungan, mimpi pembangunan terasa seperti burung yang terbang tinggi
di langit, namun tidak pernah singgah di ladang.
Konflik antara harimau dan masyarakat menambah lapisan lain
pada ketidakselarasan mimpi. Pemerintah hadir dengan himbauan dan pertemuan,
tapi solusi kongrit dan nyata belum terlihat. Ahli konservasi menekankan, “Konflik
manusia–satwa liar biasanya terjadi karena ruang jelajah satwa berkurang dan
mitigasi lokal lemah.” Ketika rasa aman
terganggu, rakyat membaca ketidakberdayaan pemerintah bukan dari pidato, tetapi
dari kehidupan sehari-hari yang rentan.
Perambahan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)
masih berlangsung, meskipun Lampung Barat telah mencanangkan diri sebagai
Kabupaten Konservasi. Ahli lingkungan menamai fenomena ini sebagai “konservasi deklaratif”—komitmen ada di
kertas, tapi pengawasan dan keberpihakan di lapangan lemah. Sementara sektor
pariwisata, yang seharusnya menjadi nafas ekonomi, tetap diam; objek melimpah,
namun akses jalan dan fasilitas minim. Pakar pariwisata menyebut: “Pariwisata tanpa infrastruktur hanyalah
pemandangan, bukan penggerak kesejahteraan.”
Kehidupan sehari-hari rakyat Liwa juga bercerita: biaya
hidup tinggi, BBM sering langka. Dua hal sederhana ini cukup untuk mengukur
apakah pembangunan benar-benar sampai ke rumah-rumah rakyat atau berhenti
sebagai narasi yang terdengar jauh dari kehidupan. Ahli kebijakan energi
menegaskan: “Distribusi yang tidak
efektif dan pengawasan yang lemah membuat energi dasar tak pernah stabil bagi
masyarakat.”
Kepercayaan publik lahir dari tindakan nyata, bukan sekadar
janji. Musrenbang dan forum pertemuan dengan masyarakat sering terasa
formalitas, bukan ruang mendengar yang tulus. Ahli komunikasi pemerintahan
menyebut: “Jarak emosional antara rakyat
dan pemerintah muncul bukan dari konflik besar, melainkan dari akumulasi
ketidakhadiran pemerintah dalam persoalan kecil sehari-hari.”
Moralitas pemimpin pun terbaca dari hal-hal sederhana:
integritas, pengelolaan anggaran, dan keberpihakan program pada rakyat kecil.
Ahli etika pemerintahan menegaskan: “Pemimpin
yang baik adalah yang mampu membuat rakyat merasa dekat meski fisik jauh.” Keteladanan terbaca dari konsistensi langkah,
dari perhatian yang nyata, dan dari kehadiran di saat rakyat paling
membutuhkan.
Jika semua indikator ini dijahit menjadi satu kain, terlihat
jelas perbedaan mimpi itu: pemerintah membayangkan kemajuan, sementara rakyat
berjalan di jalan berlubang, menjual sayur murah, menghadapi ancaman satwa
liar, menyaksikan hutan berkurang, melihat pariwisata tak tersentuh
infrastruktur, dan menanggung biaya hidup tinggi. Seolah mereka tidur di bantal
yang sama, tapi menatap langit yang berbeda.
Namun, tulisan ini bukan untuk menyalahkan. Lampung Barat
tidak kekurangan potensi, kekayaan alam, atau masyarakat yang siap bekerja.
Yang hilang hanyalah kesatuan mimpi—visi yang menyentuh pengalaman rakyat,
kebijakan yang berpihak, dan kepemimpinan yang hadir bukan hanya di podium,
tetapi di jalan-jalan, di ladang, di
hutan, dan di rumah rakyat.
Ketika mimpi itu bersatu, Lampung Barat tak lagi menjadi
rumah dengan “satu bantal beda mimpi.” Ia akan berjalan bersama, halus namun
mantap, melangkah dengan kesejahteraan nyata dan merata, seiring angin yang
menyejukkan setiap sudut bumi Lampung Barat. Di situlah mimpi bertemu
kenyataan, dan di situlah rakyat dan pemimpin akhirnya tidur dalam bantal yang
sama, menatap mimpi yang sama.

إرسال تعليق