Jalan Pulang yang Tak Pernah Selesai

 


Ada masa ketika Saya menyangka hidup ini berjalan seperti garis lurus: melangkah, belajar, lalu tiba pada satu titik yang disebut selesai. Namun waktu, bersama luka-luka kecil yang menjadi guru diam, akhirnya membuatku mengerti bahwa hidup bukan soal tiba, tetapi soal menemukan jalan pulang, lagi dan lagi, setiap kali kita tersesat oleh ambisi dan kesombongan diri.

 

Perjalananku sendiri bukanlah cerita mulus yang bisa diceritakan dengan kepala tegak. Saya berasal dari salah satu Pekon di Bilangan Balik Bukit Lampung Barat, tempat tanah menjaga rahasia dan angin lebih sering mengajari pasrah dibandingkan kemenangan. Dari kecil Saya lebih sering menatap hutan daripada menatap masa depan. Lalu tumbuh menjadi remaja yang berlari dari ujian ke ujian lain, dari dan menjadi dewasa yang akhirnya sadar bahwa ingatan dan luka sama-sama membentuk siapa kita.

 

Saya belajar dari banyak jalan kecil: dari buku-buku yang kadang membuatku semakin bingung daripada paham, dari orang-orang yang hadir sebentar namun meninggalkan bekas panjang, dari mimpi-mimpi yang patah justru ketika sedang Saya genggam, dan dari hidup yang tidak selalu ramah tetapi selalu menyediakan celah untuk bangkit.

 

Dari semua perjalanan itu, ada satu pelajaran yang paling sering mengetuk dada Saya: belajarlah sampai merasa bodoh. Sebab saat merasa pandai, pintu hati tertutup. Saat merasa cukup, cahaya padam. Tetapi ketika kita merasa bodoh, ruang kosong justru terbuka; di sanalah Allah menurunkan pemahaman, kejernihan, dan petunjuk. Al-Qur’an mengingatkan kita dalam QS. Yusuf ayat 76 bahwa di atas setiap orang berilmu, ada yang lebih mengetahui. Kalimat itu seperti menamparku setiap kali kesombongan kecil mulai tumbuh di sudut hati.

 

Di antara semua nasihat yang kuingat, suara Bak adalah yang paling sering pulang ke telinga. Ia berkata dengan bahasa Lampung yang sederhana: Anakku, Di lom hurik ji acak injuk ucul manuk bay. Nggak usah ngaya. Jangan sok jago. Perbanyak teman. Dulu Saya menganggapnya candaan orang tua yang entah apa maksudnya. Namun semakin jauh Saya berjalan, semakin terasa dalam maknanya. Ucul manuk bay: jadilah seperti ayam betina dalam mejalani kehidupan, tidak banyak ribut, tidak banyak mengepak, tapi membawa makna. Jangan ngotot menjadi yang paling benar. Jangan memamerkan kepandaian untuk menutupi rapuhnya hati sendiri. Hidup bukan gelanggang untuk saling menantang. Kadang yang kuat bukan yang paling keras, tetapi yang paling tenang. Yang menang bukan yang paling lantang, tetapi yang paling sabar. Di akhir nasihatnya, Bak selalu menambahkan: Kalau mau besar, besarkan dulu hatimu.

 

Kini Saya memahami bahwa perjalanan ini masih panjang, dan mungkin tidak pernah benar-benar selesai. Setiap langkah adalah undangan untuk kembali menjadi kecil, kembali merendah, kembali meminta petunjuk, kembali sadar bahwa kita hanyalah debu yang diberi kesempatan berjalan sebentar di bumi Allah. Mungkin di situlah letak kekuatan manusia: bukan pada keberaniannya, bukan pada kepintarannya, melainkan pada kerendahan hati untuk terus belajar, bahkan ketika lelah, bahkan ketika dunia bergerak terlalu cepat, bahkan ketika diri sendiri mulai kehilangan arah.

 

Perjalanan pulang memang tidak pernah selesai. Yang penting adalah tidak berhenti melangkah, tidak berhenti belajar, dan tidak berhenti merasa bodoh, agar langit tetap menurunkan cahayaNya.

Bekape, 28/11/2025  pukul: 17:25 WIB

Post a Comment

أحدث أقدم