Pada 4–6 Desember 2025, Lamban Aqil di Hamkebik-Sukarame Kecamatan Balik Bukit Liwa Lampung Barat menjadi ruang temu antara kampung dan ilmu. Empat alumni Sekolah Bisnis IPB yaitu: Rifky Permana Putra, Irodah Al-Malik, Raeystarafi Dzakhwan Nugroho, Zaim Syarif Alfaruq. Mareka datang dari Bogor mengendarai sepeda motor, dan tinggal di Pekon Sukarame, tidak sekadar berkunjung, untuk membaca langsung potensi pariwisata Lampung Barat dari dekat. Di rumah berlantaikan semen dan berdinding bambu itu, diskusi berlangsung sederhana namun terarah, membicarakan satu hal penting: bagaimana pariwisata dapat tumbuh tanpa meninggalkan kearifan lokal.
Selama berada di Lamban Aqil, keempat alumni tersebut tidak
hanya melakukan silaturahmi. Mereka juga melakukan perjalanan masih menggunakan
sepeda motor ke sejumlah destinasi wisata di Lampung Barat, di antaranya Puncak
Sumberjaya, Kebun Raya Liwa, dan Pasar Tematik Lumbok Seminung. Kegiatan ini
dilakukan untuk melihat langsung kondisi lapangan, potensi kawasan, serta pola
kunjungan wisatawan yang selama ini menopang aktivitas pariwisata setempat.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa Lampung Barat memiliki
kekuatan alam dan budaya yang besar, namun belum sepenuhnya didukung oleh tata
kelola yang terintegrasi. Sejumlah destinasi masih berkembang secara terpisah,
bergantung pada momen tertentu, tanpa perencanaan berkelanjutan yang jelas.
Selama menginap di Lamban Aqil, keempat alumni IPB tersebut
menyusun beberapa konsep pengembangan usaha yang dapat dilakukan Lamban Aqil
untuk menunjang pariwisata Lampung Barat. Gagasan ini dituangkan dalam kerangka
Business Model Canvas (BMC).
Salah satu benang merah dari konsep yang disampaikan adalah
konsistensi pada kearifan lokal. Pengembangan tidak dimulai dari membangun yang
baru, melainkan dari menguatkan yang sudah ada—rumah, keluarga, tradisi, dan
lingkungan sekitar.
Konsep-konsep tersebut disusun dengan pendekatan ilmiah dan
realistis, mempertimbangkan kapasitas lokal, kesiapan sumber daya manusia,
serta dampak sosial yang mungkin muncul.
Selama berada di Lampung Barat, empat sekawan ini juga
mengamati kehidupan sosial masyarakat Liwa, mulai dari pola komunikasi hingga
rumah adat yang sarat nilai.
Di Lamban Aqil, seluruh pengamatan itu menemukan tempatnya.
Pariwisata bukan tentang mendatangkan orang sebanyak-banyaknya, melainkan
menjaga makna agar tidak hilang ketika orang datang.
Post a Comment