Berjalan di Bawah Dua Matahari


 

BERJALAN di bawah dua matahari. Kalimat ini mungkin cocok untuk menggambarkan kondisi implementasi UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa yang secara resmi diundangkan pada 15 Januri 2014. Betapa tidak, sejak diimplementasikannya Undang-Undang Desa (sebutan bagi UU No. 6 Tahun 2014), pengendalian atas desa kini dilakukan dua kementerian. Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Desa, segala pernak-pernik di desa secara terpusat dikendalikan satu kementerian, kemudian kebijakannya diteruskan ke pemerintah provinsi, kabupaten, dan kecamatan, baru sampai desa.


Bagi sebagian masyarakat, “dua matahari” tentu tak masalah, karena secara logika semakin banyak orang yang memikul suatu pekerjaan, semakin ringanlah pekerjaan dimaksud. Begitu seterusnya, semakin banyak kepala yang memikirkan suatu urusan, semakin banyaklah alternatif solusi yang bisa dihasil untuk mengatasi masalah dimaksud. Tetapi, hal ini sepertinya tidak berlaku dalam dunia pengambilan kebijakan kita, apalagi kalau kita bicara kebijakan pada level puncak. Di dalam masyarakat kita mengenal pribahasa yang mengatakan rambut boleh sama hitam, tapi isi kepalanya tidak, apalagi kalau dikaitkan dengan pribahasa lainnya, yaitu lain lubuk lain ikannya; lain beckround lain pula cara mengambil kebijakannya.


Pada konteks ini, mungkin awalnya hanya sebuah perbedaan pendapat, perbedaan cara pandang, perbedaan cara menyampaikan kalimat, tetapi ya namanya perbedaan bisa dibayangkan dan dirasakan bila ini sudah mengalir dari pusat-provinsi-kabupaten-kecamatan dan masuk ke satu titik akhir bernama pemerintahan desa tentu akan sangat besar bedanya. Ibarat menarik dua garis lurus yang jarak ujungnya tidak sama, semakin jauh garis ditarik, tentu akan semakin jauh pula jarak kedua garis tersebut alih-alih mau mencapai satu titik yang sama.


Dalam melihat fenomena ini (dua matahari) tentu tak sesederhana ketika kita membayangkan ada dua LSM yang mempunyai bidang garapan yang berbeda masuk ke desa menemui aparatur desa dan masyarakat menyampaikan program, lalu melaksanakan kegiatannya masing-masing. Atau, katakanlah dua SKPD masuk ke satu desa dengan melaksanakan program yang berbeda dalam satu periode waktu yang sama. Bila berbeda seperti ini, tentu tak jadi masalah, selain kepala desa akan sangat mudah membagi personel yang ada di kantor desa dan masyarakat yang akan hadir atau melaksanakan kegiatan dimaksud.


Kalaupun ada yang membuat kepala desa atau masyarakat ragu atas kedua kegiatan berbarengan tadi, biasanya kepala desa akan meminta petunjuk ke level atasnya. Tetapi, dalam konteks implementasi Undang-Undang Desa, kepala desa dan masyarakat tetap berkutat pada satu urusan: perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan pembangunan desa dan kawasan perdesaan. Dapat dibayangkan pada saat sang kepala desa kurang/belum memahami teknisnya implementasi UU Desa lalu yang bersangkutan bertanya pada level atasnya (kecamatan, kabupaten, provinsi) dan setelah itu sang kepala desa mendapat dua versi jawaban atas pertanyaannya (versi A dan versi B bergantung matahari mana yang dijadikan panutan), tentu hal ini akan mengganggu dan jauh dari rasa nyaman.


Masih bicara dampak matahari kembar bagi desa, di level pusat misalnya, bayangkan bagaimana dampaknya bagi desa, semisal ada ketersinggungan pihak tertentu karena kementerian A terlalu menstigma bahwa pola pembangunan desa yang lama yang diterapkan pada masa kementerian B terlalu mekanis dan terlalu administratif, sementara kementerian B alih-laih melestarikan best practice dari pola sebelumnya dan secara lahiriah belum pernah memperlihatkan bukti perbedaan/perbaikan atas apa yang dilakukan kementerian A selain berteori pembangunan desa harus dilakukan dengan musyawarah desa berdasarkan kewenangan berskala desa dan hak atas asal usul, pendampingnya harus kreatif, swadaya, dst.


Apatah kalau seumpamanya di antara dua kementerian selalu bicara kaveling dan background warna dengan mengatakan bahwa ini kavelingan kami warnanya A dan Anda silakan dengan kavelingan dan warna Anda B. Tentu bukan ini yang diharapkan dari lahirnya UU Desa, karena Undang-Undang Desa adalah harapan rakyat dan masyarakat desa dalam mewujudkan perubahan kehidupan dalam naungan NKRI dengan ciri yang sangat khas dan belum pernah termuat dalam aturan sebelumnya, yaitu keharusan proses pemberdayaan masyarakat.

 

Pendampingan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Bicara Undang-Undang Desa dan pemberdayaan masyarakat, tentu kita akan bicara pendampingan, sebab pemberdayaan masyarakat desa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Desa dilaksanakan dengan pendampingan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan pembangunan desa dan kawasan perdesaan.


Selanjutnya, disebutkan pendampingan desa adalah kegiatan untuk melakukan tindakan pemberdayaan masyarakat melalui asistensi, pengorganisasian, pengarahan, dan fasilitasi desa. Bila merujuk pada UU desa dan turunannya serta realitas yang ada di lapangan, sangatlah jelas pendampingan yang dilakukan di desa tidak sebatas pemantauan dengan melaporkan progres serapan DD dan ADD yang telah diserap desa dalam satu periode/tahun anggaran saja ke kementerian melalui provinsi. Tetapi, melakukan asistensi, pengorganisasian, pengarahan, dan fasilitasi.


Bunyi UU Desa dan turunannya mengisyaratkan pendampingan desa harus dilakukan secara keseluruhan. Ini juga berarti tidak boleh ada dua matahari atau hanya berpatron pada satu matahari (kementerian A atau B) dalam melahirkan dan mendidik pendamping desa. Alasan utamanya bahwa pendampingan desa berbeda dengan pendampingan pada umumnya yang hanya bicara dan melakukan pendampingan/pemberdayaan masyarakat pada satu bidang isu saja semisal korupsi, perempuan, petani, nelayan, lingkungan, dst.


Pendampingan/pemberdayaan masyarakat desa tertuju kepada seluruh isu pembangunan yang ada di masyarakat bergantung pada hasil pemetaan masalah dan potensi yang ada di desa yang bersangkutan. Selain itu, pemantauan pembangunan tentu harus diawali dari perencanaan hingga bagaimana menyusun RPJM, RKPDes, dan APBDes. Tentu tak bijak menyalahkan desa tidak taat asas dalam penyaluran/memanfaatkan dana desa, sementara dalam menyusun RKPDes dan APBDes desa bersangkutan tidak pernah didampingi.


Adanya dua matahari dalam kebijakan membangun desa bagi pendamping desa tentu akan membingungkan (walaupun kondisi ini tentu tidak berlaku bagi pendamping yang telah memiliki banyak jam terbang). Selain mengganggu performance pendamping, jelaslah bahwa adanya dua matahari juga berpotensi menimbulkan rendahnya ketaatan masyarakat atau pemerintah desa kepada pemdamping. Dalam hitung-hitungan matematika, daripada ragu mengikuti asistensi pendamping, tentu akan lebih baik walapun ragu tetap mengikuti ajakan oknum pemerintah di atasnya.


Maka, tak heran bila kerap kita mendengar di suatu daerah terindikasi bahwa jenis kegiatan dalam tahun anggaran berjalan dirumuskan bukan berdasarkan musyawarah desa, tetapi dirumuskan di kantor badan pemberdayaan masyarakat dan pemerintah desa (level) kabupaten yang bersangkutan, yang berahir pada munculnya kegiatan studi banding massal (seluruh desa) ke Bali (tanpa melihat potensi dan masalah yang ada di desa bersangkutan).


Dari apa yang disampaikan, jelas dua matahari dalam menyinari perjalanan pelaksanaan Undang-Undang Desa ternyata justru memperlambat implementasi undang-undang ini. Oleh karena itu, tak berlebihan rasanya bila dua matahari yang menyinari perjalanan Undang-Undang Desa segera disudahi sehingga masyarakat desa tidak bingung dan tidak ada tarik-menarik kepentingan pada level yang lebih tinggi yang kesemuanya mengatasnamakan desa. Membangun desa memang hak siapa saja di Republik ini, tetapi membangun desa tentu tak harus diawali dengan mempertontonkan nafsu berkuasa dan pertentangan. Semoga


**Tulisan ini sudah dimuat di HU Lampung Post, 26 Januari 2017

Post a Comment

Previous Post Next Post