Sektor dengan jumlah kasus korupsi terbanyak
adalah sektor desa, dengan 187 kasus yang menyebabkan kerugian negara sebesar
Rp162,25 miliar. Hal ini mencerminkan betapa masih tingginya penyalahgunaan
dana desa yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan
masyarakat desa. Berikut adalah jumlah
kasus korupsi di Indonesia berdasarkan sektor tahun 2023:
Adapun yang menjadi salah satu penyebab tingginya praktek korupsi di desa adalah Badan Permusyawaratan Desa (BPD) tidak berdaya menghadapi pemerintah desa. Ini adalah salah satu kutipan pembicaraan Ir.Fredy S.M.,M.M,CGCAE Inspektur Inspektorat Provinsi Lampung saat menyampaikan materi pada acara; Rapat Konsolidasi Pengendalian P3PD Tingkat Daerah Tahun 2024 bertempat di Hotel Grand Tulip, Bandar Lampung 10 September 2024.
Tentang jumlah korupsi yang besar ini, tentu
bukan hal yang mengejutkan (meskipun tidak seharusnya begitu), mengingat jumlah
desa dan jumlah anggaran sejak Dana Desa dikucurkan terbilang besar yaitu :
Ungkapan Ir. Fredy tentang tidak berdayanya BPD menghadapi pemerintah desa ternyata juga sejalan dengan hasil monitoring Peran BPD dan Kelembagaan Desa Dalam Pembangunan Desa pada akhir 2023 sampai pertengahan 2024 di 40 desa, 21 kecamatan, 13 Kabupaten Provinsi Lampung yang dilakukan oleh Tenaga Ahli Kelembagaan Regional Management Consultant P3PD Lampung.
Dalam pemetaan yang dilakukan dengan mengajukan 16 pertanyaan ini diproleh beberapa hasil diantaranya bahwa : Semua BPD telah memiliki SK yang diterbitkan oleh Bupati setempat, namun sebaliknya bahwa dari 40 BPD yang menjadi sampel hanya 1 yang melakukan pengawasan kinerja kepala desa. Sedangkan sisanya belum melakukan dengan berbagai alasan diantara: SDM BPD masih lemah, tidak memahami teknis pengawasan, tidak ada anggaran, ewuh pakewuh, tidak pernah diminta oleh pemerintah kecamatan/kabupaten, takut menimbulkan kesalah pahaman yang kesemuanya bila tarik akar masalahnya karena masih lemahnya kapasitas pengurus dan anggota BPD. Berdasarkan dua fakta ini, maka wajarlah bila korupsi di desa adalah yang tertinggi dari korupsi yang terjadi pada sektor lainnya.
Hal yang membuat makin miris adalah karena rielnya,
hampir di setiap desa hari ini BPD menjadi “stemple” dalam setiap pengambilan
kebijakan, terlebih lagi dalam pengambilan Keputusan yang terkait dengan
penggunaan anggaran Dana Desa. Dapatkah
kesejahteraan masyarakat desa dapat terwujud seperti yang dicita-citakan dengan
kondisi seperti ini..? Jawabnya tentu
sangat tergantung dengan bagaimana kebijakan penguatan kapasitas BPD kedepan.
Ditengah tidak berdayanya BPD, menyeruak juga
anggapan yang kerap di kaitkan dengan tidak berdaya nya BPD saat ini. Dan sebelum kebijakan tentang penguatan
kepada BPD dilaksanakan, ada baiknya beberapa anggapan yang hari ini
menggelayuti BPD juga di hilangkan, anggapan tersebut adalah :
1. Anggapan Bahwa BPD Bukan Instrumen Pemerintahan
di Desa.
Meskipun dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa sangat
jelas bahwa BPD lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya
merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan
ditetapkan secara demokratis, tetapi rielnya masih
banyak ditemukan masyarakat mengganggap
bahwa BPD bukan instrument pemerintahan desa, BPD tak lebih hanyalah
kelembagaan yang ditunjuk oleh kepala desa sebagai pembantu kepala desa. Efek dari anggapan ini yaitu keberadaan BPD
dianggap sebagai bawahan kepala desa bukan sebagai mitra, sehingga kepedulian
masyarakat untuk mendorong BPD agar mengawasi kinerja kepala desa rendah bahkan
tidak ada.
2. Anggapan Bahwa BPD Bukan Saluran Aspirasi
Masyarakat
Belum banyak anggota masyarakat di
desa yang memposisikan BPD sebagai saluran aspirasi (menampung, mengelelola,
menyalurkan aspirasi masyarakat), yang lebih miris lagi di beberapa tempat yang
penulis temui, anggapan bahwa BPD bukan saluran aspirasi juga muncul dari
anggota BPD itu sendiri. Di beberapa tempat, penulis menjumpai ada oknum BPD
mengatakan bahwa; biarlah urusan aspira masyarakat menjadi urusan pemerintah
desa mengingat mareka yang menjadi kuasa pengguna anggarannya.
3. Anggapan Bahwa Dengan Menguatnya BPD akan
Menurunkan Wibawa Pemerintah Desa
Ada anggapan dari oknum aparatur
pemerintah desa yang penulis jumpai, bahwa dengan menguatnya peran BPD akan
menurunkan wibawa pemerintah desa di mata masyarakat. Oleh karena itu BPD jangan sampai kuat,
apalagi melebihi kepala desa, hal ini agar wibawa kepala desa di depan mata
masyarakat tetap terjaga. Dari obrolan
dengan oknum aparatur pemerintah desa ini menyeruak juga bahwa masih lemahnya
BPD ketimbang kepala desa lebih disebabkan system politik pemilihan kepala desa
secara langsung oleh masyarakat, artinya kalau BPD nya menguat di khawatirkan
akan menjadi rival kepala desa dalam pemilihan kepala desa berikutnya.
4. Anggapan Bahwa Setiap Gerak Gerik BPD harus ada
Anggarannya
Anggapan oknum anggota dan pengurusnya
bahwa setiap gerak gerik BPD harus ada uangnya juga menjadi penyumbang tentang
lemahnya kapasitas BPD saat ini. Dengan anggapan ini oknum yang bersangkutan tentu tidak akan
berbuat apa-apa kalau tidak jelas ada uang di depan matanya, yang sekaligus
menjadi tembok penghalang bagi penguatan kapasitas BPD yang bersangkutan. Hal ini juga tentu menjadi penghalang
keaktipan kehadiran BPD di kantor desa, sehigga banyak moment yang harusnya
difasilitasi oleh BPD terlewatkan.
5. Anggapan Bahwa Hasil lebih penting ketimbang Proses
Anggapan ini biasanya muncul dari
mareka-mareka yang seharusnya menjadi penguat BPD itu sendiri, yang ingin serba
cepat dan instan tanpa ingin berlama-lama menjalani proses. Hal sederhana misalnya bila ada pertemuan
dengan masyarakat yang idealnya di fasilitasi oleh BPD, tetapi karena alasan
untuk percepatan, maka yang memimpinnya langsung di tunjuk kepala desa atau mareka yang marasa
lebih mampu ketimbang pengurus atau anggota BPD yang hadir. Hal lain lagi yang
belum pernah kita dengar adalah ketika
memeriksa dokumen perencanaan/musdes yang di ajukan oleh desa, belum
pernah kita mendengar pertanyaan apakah benar prosesnya di fasilitasi oleh BPD,
yang ada hanya bila sudah ada tanda tangan BPD nya maka dianggap sah dan
benarlah dokumen tersebut.
6. Anggapan bahwa Pembinaan Kepada Desa hanya
untuk Pemerintah Desa.
Hari-hari ini banyak sekali
lembaga/instansi yang melakukan penguatan kepada desa, sebut saja misalnya P3MD
dari Kemendes dan P3PD dari Kemendagri,
dan lain sebagainya. Namun dari semua
yang ada bila mau jujur berapa prosentase materi penguatan yang dilakukan yang
ditujukan kepada BPD dibandingkan dengan untuk pemerintah desa. Maka wajarlah
bila kapasitas BPD lebih rendah ketimbang pemerintah desa terutama kepala desa
dan sekretaris desa.
7. Angapan bahwa Pembina Teknis Pemerintahan Desa
(PTPD) Kurang strategis Dalam Membina Desa.
Adanya anggapan bahwa PTPD kurang strategis dalam membina desa setidaknya menampak rendahnya keterlibatan bahkan penyebutan PTPD dalam setiap program penguatan masyarakat/pemerintah desa. Sebut saja misalnya P3PD yang hanya memprogramkan penguatan PTPD pada 10 Provinsi di seluruh Indonesia. Belum lagi maraknya keluhan pihak kecamatan yang selalu di lompati ketika hendak melalukan urusan dengan desa, dari Provinsi Langsung ke desa dan dari Kabupaten Langsung ke desa.
Mungkin masih banyak lagi anggapan-anggapan yang kurang tepat, yang hari ini menjadi penyebab dan penyubur lemahnya BPD untuk melakukan pengawasan kepada kepala desa guna mendorong dana desa bebas dari korupsi. Namun dari 7 point ini saja cukuplah sebagai gambaran bagi kita untuk menakar sejauhmana penguatan BPD guna mendorong dana desa yang berkualitas.
Dan dengan tidak bermaksud mendahului, bila anggapan-anggapan
ini tidak dibenahi, maka adanya BPD yang berkapasitas tinggal hanya cerita,
yang akan dituturkan setiap menyaksikan penyimpangan anggaran di desa. Mandat
pengawasan terhadap kinerja Kepala Desa yang oleh regulasi menjadi tugas BPD,
akan di ambil alih oleh mareka yang gelisah dan tak nyaman dengan keadaan yang
sedang berlangsung. Semoga
Post a Comment