Hidup adalah perjalanan panjang, dan
setiap pertemuan adalah percikan makna yang kadang tak kita duga bisa menampar
hati yang diam-diam sedang lelah. Hari ini, 3 Agustus 2025, bukan hari besar
nasional, bukan juga hari ulang tahun siapa-siapa—setidaknya bukan bagi saya.
Tapi di balik kursi kemudi, saya menyimpan dua kisah yang entah kenapa membuat
saya berkendara pulang dengan dada yang sesak oleh perenungan.
Pukul 15.35 WIB — Matahari masih menyala
penuh ketika saya menerima pesanan ketiga sore itu. Penjemputan di Perumahan
Graha Indah 1, Gang Bukit Kasturi, Rupik, Sukabumi. Tujuannya: Gang Jambu 48,
Gunung Sulah, Kedaton. Penumpangnya: sepasang kakek-nenek dan tiga cucunya yang
masih kecil, dengan ongkos Rp30.200. Mungkin ini adalah perjalanan biasa bagi
banyak orang, tapi tidak bagi saya. Sebab sore itu, saya tidak sekadar
mengantar manusia, saya seperti sedang diajak masuk ke lorong waktu.
Sang kakek, yang rambutnya masih hitam ,
tubuhnya kurus tapi matanya masih tajam. Ia duduk di samping saya, sementara
istrinya dan tiga cucu mereka duduk di belakang. Dalam perjalanan yang sunyi
sesekali diisi tawa anak-anak, sang kakek mulai bercerita. Masa mudanya adalah
jalan panjang berdebu dan beraspal kasar dari Jakarta ke Riau. Ia dulu sopir
mobil boks ekspedisi—membawa sparepart mobil ke berbagai toko. Ia hafal jalan,
tahu bau solar, dan tahu betul rasanya tidur di balik setir. Kalau sopir
sekarang mah nggak ada apa-apanya mas. Kata dia
Lalu, di ujung perjalanan, sebelum turun,
ia berkata lirih, “tadi ini mantan bos
saya telpon, minta diantar ke Jakarta nanti malam, dan saya jawab mudah-mudah
bisa pak.” Saya spontan bertanya, “Bapak masih kuat?” Ia tersenyum sebentar,
“ Meski umur saya sudah 80 tahun,,masih… walau berat. Tapi saya nggak enak, Mas. Dulu anak saya yang nomor dua,
sekolah sampai nikah dibiayai bos itu.”
Diam saya mendengarnya. Dunia mungkin
sudah berubah, tapi rasa hormat dan utang budi masih menjadi bahan bakar
orang-orang tua seperti beliau. Padahal, tubuhnya sendiri sudah menua, namun
jiwanya seperti belum mau istirahat. Saya menatap kaca spion, melihat tiga
cucunya tertawa kecil di belakang. Mungkin mereka tidak tahu, bahwa kakeknya
adalah saksi dari zaman yang tidak lagi memberi ruang bagi lelah—tapi tetap
harus dijalani demi rasa terima kasih yang tak bisa ditolak. Hikmah pertama
hari ini: kesetiaan kadang lebih kuat daripada kelelahan.
Pukul 19.40 WIB — Langit gelap dan jalan
mulai sepi pertanda orang-orang mulai
meninggalkan aktivitas untuk istirahat, dan saya kembali menerima order.
Kali ini dari depan Uda Photocopy, Jalan Pramuka dekat Universitas Malahayati.
Tujuan: Warung Azka di Jalan Purnawirawan I, Gang Senen, Langkapura. Awalnya
saya pikir ini perjalanan biasa. Tapi sejak awal, ada rasa jengkel yang muncul.
Penumpangnya perempuan paruh baya. Saat
saya tiba di titik jemput, dengan suara datar ia berkata, “Tolong angkat pak,
barang saya banyak.” Saya menahan kesal. Bagi saya, kalau membawa barang
banyak, ya seharusnya pesan via layanan Car
Delivery atau setidaknya kasih tahu saat chat. Dengan nada tegas saya
bilang, “Silakan naikkan sendiri. Kalau nggak bisa, dibatalkan juga nggak
apa-apa sebab saya ada penyakit saraf kejepit yang nggak bisa angkat-angkat
berat.” Ia tidak membantah, hanya diam dan mulai mengangkat sendiri
barang-barangnya: satu kompor, satu tabung gas melon, piring, nampan, dan
beberapa nampan plastik berisi bahan dagangan bakso cilok yang belum laku.
Di dalam mobil, perempuan itu beberapa
kali mengeluh pelan, “Aduh capek… Ya Allah…” Saya diam dulu, tapi kemudian saya
ajak ngobrol. Lalu pelan-pelan, cerita itu mengalir seperti air mata yang tak
bisa ditahan.
Ia bekerja dari pukul 10 pagi, padahal
kesepakatan awal dengan bos outlet/grobak hanya sampai pukul 5 sore. Tapi
karena dagangannya belum habis, dia terus menunggu, tapi ya mau bagaimana lagi
pembeli sepi karena anak kuliah masih libur. Ia jalani semua ini sendirian.
Suaminya? Sudah beberapa tahun ini menganggur. Di-PHK. Lalu ketagihan main slot
online. Tak pernah lagi memberi nafkah, bahkan mengurus anak pun tidak sanggup.
Dengan suara lirih, ia bilang, “Saya
nggak tahu sampai kapan begini. Kadang saya cuma pengin berhenti… Tapi
anak-anak saya dua orang masih butuh makan.” Awalnya mereka bertiga bersaudara.
Tapi yang tertua sudah meninggal. Rumah yang dulu mereka miliki sudah berpindah
tangan—over kredit demi bertahan hidup.
Perjalanan ini hanya 18 menit, tapi
rasanya seperti menonton film penuh luka. Seseorang yang awalnya saya nilai
dari sikap tegasnya, ternyata menyimpan luka yang tak terlihat. Di kursi
belakang mobil saya, duduk seorang perempuan kuat yang tubuhnya mungkin sudah
capek, tapi hatinya tetap berdiri demi anak-anak yang masih berharap esok lebih
baik dari hari ini. Hikmah kedua malam ini: kadang kita menilai orang terlalu
cepat, tanpa tahu medan perang yang sedang mereka hadapi setiap hari.
Malam ini saya parkir mobil lebih cepat
dari kemaren. Bukan karena orderan, tapi karena saya duduk cukup lama di kursi
supir sambil memandangi kaca spion yang mulai buram. Ada lelah yang tak bisa
saya sebut. Ada haru yang tak bisa saya tumpahkan. Saya menulis catatan ini
agar tak lupa: bahwa di balik roda yang terus berputar, ada cerita-cerita
manusia yang tak kalah berat dari ban yang menapak aspal.
Satu hari, dua pertemuan, dan dua hikmah
besar. Mungkin itu cukup untuk membuat saya bersyukur, bahwa saya masih bisa
bekerja. Masih bisa mendengar. Masih bisa belajar dari mereka yang tak pernah
masuk koran, tapi menyimpan pelajaran lebih banyak dari ribuan seminar.
Karena hidup ini sejatinya bukan tentang
seberapa jauh kita mengemudi, tapi seberapa dalam kita memahami mereka yang
ikut menumpang dalam perjalanan ini.
Post a Comment