Bisik yang Tak Lagi Bisik



Suatu ketika, seorang Bapak tua di beranda masjid selepas sholat Isya, pernah mengatakan “Bangsa hanya setangguh cara pemimpinnya menaruh hati.” Ia tidak bermaksud menggurui siapa pun; ia hanya menuturkan apa yang dilihatnya sepanjang hidup. Baginya, kehidupan manusia di negeri ini berjalan seperti aliran air yang tak pernah berani mengalir ke tanah tinggi. Air selalu mencari cekungan paling rendah, dan di situlah rakyat kecil berkumpul: menjadi korban dari keputusan-keputusan yang lahir jauh dari jangkauan tangan mereka. Bapak tua itu selalu tersenyum getir ketika mengatakan, “Kita Rakyat kecil ini harus sabar, Nak kesabaran kita bahkan sudah over dosis, saking sabarnya sampai-sampai disalahartikan sebagai keikhlasan menerima nasib.”

 

Ketika kita menatap lebih dekat, gambaran itu tampak bukan sekadar keluhan orang sepuh, melainkan kenyataan yang setiap hari kita baca, dengar, dan rasakan. Banyak pejabat hari ini berdiri bukan untuk rakyat, tetapi untuk mereka yang suaranya lebih nyaring dari suara nurani: para pemegang tampuk kuasa, para pemilik dompet tebal, dan mereka yang telah lama menukar masa depan bangsa dengan kenyamanan pribadi. Pejabat yang semestinya menjadi pelayan masyarakat justru berubah menjadi pelayan para pejabat di atasnya. Mereka lebih takut kecewakan pimpinan daripada mengecewakan orang-orang yang memilih mereka.

 

Di ruang-ruang rapat, keputusan sering lahir dari kompromi kepentingan, bukan jeritan kebutuhan rakyat. Dari luar terlihat indah: jas yang licin, senyum yang rapi, pidato yang penuh kata-kata manis. Namun di baliknya, kita menemukan sesuatu yang kosong—ruang hampa yang tak terisi oleh kesungguhan untuk membela rakyat.

 

Dan di tengah kehampaan itu, muncullah ironi yang semakin menyayat: banyak pejabat begitu sibuk mengejar kehormatan, tetapi tak sempat belajar menjadi terhormat. Jabatan dianggap sebagai mahkota yang bisa diserahkan, diwariskan, atau dibeli. Seolah menjadi pejabat bukanlah panggilan, melainkan peluang. Perjalanan menuju jabatan pun semakin jauh dari kata layak. Ada tiga jalur yang dikenal rakyat—disebutkan dengan lirih, namun dengan keyakinan pahit bahwa jalur-jalur inilah yang membuat negeri ini berjalan pincang.

 

Pertama, Perda atau Pertalian Darah. Di banyak daerah, jabatan tak ubahnya warisan keluarga. Seseorang bisa duduk di kursi pemerintahan bukan karena kecakapannya, tetapi karena ia adalah kakak, adek, anak, cucu, keponakan, atau kerabat dari pejabat sebelumnya dan atau yang sedang menjabat. Keturunan dianggap setara dengan kompetensi. Di masyarakat, ini bukan rahasia. Orang-orang menyebutnya sambil tersenyum pahit: “Memang sudah garis keluarga, keluarga istana, atau keluaga rumah …menunjuk tempat tinggal sang pejabat semisal cendana, cikeas, hambalang, dan lain sebagainya.”

 

Kedua, PP atau Perintah Pimpinan. Di sini, naik jabatan bukan soal layak atau tidak, tetapi soal patuh atau tidak. Loyalitas ditempatkan di atas kemampuan. Seseorang akan naik justru ketika ia selalu mengangguk, selalu bilang iya, siap,  dan tak pernah berani berbeda pendapat. Integritas menjadi barang mewah; di banyak kasus, ia dikalahkan oleh kecakapan bersikap manis kepada pimpinan.

 

Ketiga, UUD atau Ujung-Ujungnya Duit. Jalur ini yang paling sering dibicarakan rakyat dengan suara pelan namun penuh luka. Ada kursi yang seolah dijual. Ada jabatan yang berpindah tangan lewat amplop, bukan lewat prestasi. Ketika uang menjadi jalan, maka bekerja untuk rakyat hanya akan dianggap sebagai gangguan pada kepentingan pribadi.

 

Dan seolah semesta ingin membuktikan bahwa keluhan itu bukan bualan, kita menyaksikan bagaimana pejabat bersikap saat musibah datang bertubi-tubi. Banjir besar di Aceh, Sumut, dan Sumbar memperlihatkan wajah pemerintahan kita dengan sangat jelas. Ketika air bah merendam rumah-rumah, ketika warga berlari menyelamatkan diri, ketika anak-anak menangis kedinginan karena tak ada tempat berteduh, para pejabat justru bergerak dengan lambat. Tidak ada kebijakan sigap. Tidak ada langkah cepat. Tidak ada koordinasi yang rapi. Yang muncul justru kunjungan mendadak untuk diabadikan kamera, janji bantuan yang tak jelas, dan konferensi pers yang lebih banyak bicara daripada bekerja.

 

Di mata rakyat, semua itu tampak seperti sandiwara lama yang dimainkan ulang. Dan tanpa perlu banyak kata, masyarakat mulai meyakini bahwa kegagapan itu lahir dari sebuah sistem rekrutmen yang buruk. Seseorang yang naik karena Pertalian Darah, Perintah Pimpinan, atau Ujung-Ujungnya Duit tentu tak memiliki kompetensi yang cukup untuk turun ke lapangan, mengambil keputusan cepat, atau memimpin dengan tenang di tengah bencana. Cara mereka bekerja seakan menjawab seluruh bisikan rakyat: benar, jabatan kita hari ini memang banyak lahir bukan dari kemampuan, tetapi dari kedekatan dan transaksi.

 

Tidak berhenti sampai di situ. Di pelosok-pelosok tanah air, cerita lain menambah panjang daftar ironi. Masyarakat berkali-kali meminta pemerintah daerah memperbaiki jalan rusak—jalur penting untuk ekonomi, pendidikan, dan keselamatan warga. Namun bertahun-tahun tak kunjung diperbaiki. Ada yang dijanjikan tahun depan, ada yang diminta menunggu anggaran, ada pula yang bahkan tak mendapat respons. Pada akhirnya, rakyatlah yang turun tangan. Mereka patungan membeli semen. Mereka bergotong-royong menambal jalan dan membuat jembatan. Mereka bekerja tanpa gaji, hanya karena mereka tahu: menunggu pemerintah kadang sama saja dengan menunggu hujan di musim kemarau.

 

Di sini kita mempertanyakan sesuatu yang sangat mendasar: Untuk apa pejabat duduk dalam jabatan, bila jalan atau jembatan kampung saja akhirnya rakyat yang harus memperbaiki? Untuk apa ada pemerintah, bila rakyat terus dipaksa menjadi pemerintah bagi diri mereka sendiri? Untuk apa bayar pajak bila saat ada bencana pemerintah kembali menarik donasi?

 

Bangsa ini sesungguhnya tidak kekurangan orang pintar. Yang kurang adalah orang jujur, orang berani, dan orang yang menaruh kepentingan rakyat di atas egonya sendiri. Karena itu, perbaikan tak boleh lagi sekadar menjadi wacana forum atau hiasan pidato. Kita perlu kembali pada semangat UUD 1945 yang asli—semangat negara yang melindungi seluruh bangsa, bukan sebagian kelompok. Kita perlu merombak sistem pemilu agar tak memberi ruang bagi politik uang dan politik keluarga. Kita perlu menegakkan meritokrasi yang benar-benar menghargai kemampuan. Dan yang lebih penting, kita perlu menghidupkan kembali pendidikan moral di sekolah-sekolah, agar generasi mendatang tumbuh dengan keberanian untuk jujur dan malu untuk berbuat salah.

 

Pada akhirnya, tulisan ini bukan ingin mencela siapa pun, melainkan mengingatkan kita semua. Negeri ini milik bersama. Ia akan runtuh bila dibiarkan berjalan tanpa arah, tetapi ia akan bangkit bila kita berani menuntut perubahan. Kita membutuhkan pejabat yang hadir sebelum rakyat meminta, bekerja sebelum diminta, dan bertindak tanpa perlu disorot kamera. Kita membutuhkan pemimpin yang terhormat bukan karena jabatannya, tetapi karena jalan hidupnya.

 

Semoga suatu hari nanti, bisik-bisik rakyat itu benar-benar hilang. Bukan karena rakyat menyerah untuk bersuara, tetapi karena negara akhirnya kembali pada hati nuraninya. 

Post a Comment

Previous Post Next Post