Pembicaraan tentang desa tampaknya tidak pernah benar-benar selesai.
Belum habis upaya meyakinkan publik bahwa desa adalah masa depan pembangunan
Indonesia, kini datang kabar pahit: desa menjadi sektor dengan jumlah kasus
korupsi terbanyak. Sebanyak 187 kasus dengan kerugian negara mencapai Rp162,25
miliar. Fantastis. Ini adalah sesuatu yang belum pernah muncul pada era sebelum
pelaksanaan Undang-Undang Desa.
Dana yang seharusnya menjadi alat pemberdayaan dan kemakmuran, justru
berubah menjadi pintu masuk kejahatan. Apakah ini hasil dari proses pembinaan
selama sepuluh tahun terakhir? Atau mungkin, ini pertanda bahwa kita lebih
sibuk menggelontorkan dana daripada membangun sistem pengawasan?
Ir. Fredy S.M., M.M., CGCAE, Inspektur Inspektorat Provinsi Lampung,
dalam sebuah rapat konsolidasi pada September 2024, mengatakan bahwa salah satu
akar persoalan ada pada lemahnya Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Lembaga yang
seharusnya menjadi mitra sekaligus pengawas kepala desa ini, nyatanya sering
kali tidak berdaya menghadapi kekuasaan yang terlalu dominan di level desa.
Hal ini bukan hanya asumsi. Dalam pemantauan yang dilakukan oleh Tenaga
Ahli Kelembagaan Regional Management Consultant P3PD Lampung di 40 desa pada
akhir 2023 hingga pertengahan 2024, hanya satu BPD yang menjalankan fungsi
pengawasan secara nyata. Selebihnya hanya menjadi alat administratif: tanda
tangan, hadir saat dibutuhkan, lalu hilang tanpa jejak dalam pengambilan
keputusan. Ironis, karena semua BPD yang disurvei sebenarnya sudah memiliki SK
dari bupati — tapi peran mereka tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Alasan-alasan yang muncul tak kalah menyedihkan: SDM lemah, tidak paham
teknis pengawasan, tidak ada anggaran, takut disalahpahami, hingga mengaku
tidak pernah diminta ikut terlibat oleh kecamatan atau kabupaten. Sebagian
bahkan merasa sungkan untuk sekadar bertanya kepada kepala desa.
Kalau ditarik ke akar, semuanya bermuara pada satu titik: kapasitas
kelembagaan BPD yang belum pernah benar-benar diperhatikan secara serius.
Lebih dari itu, ada juga persoalan-persoalan laten berupa
anggapan-anggapan keliru yang menjelma menjadi budaya diam. Misalnya, masih
banyak yang menganggap bahwa BPD bukan bagian dari sistem pemerintahan desa —
hanya pelengkap, pembantu kepala desa. Ada pula yang meyakini bahwa semakin
kuat BPD, maka wibawa kepala desa akan terancam. Bahkan, beberapa aparatur desa
terang-terangan menyatakan kekhawatiran bahwa BPD yang aktif bisa jadi lawan
politik di pilkades mendatang.
Tidak sedikit pula yang menganggap bahwa setiap aktivitas BPD harus
dibarengi uang. Maka tak mengherankan, ketika tidak ada anggaran, tidak ada
pula gerakan. BPD hadir hanya jika jelas uangnya, bukan karena tanggung jawab
atau komitmen terhadap amanah yang diembannya. Dalam beberapa musyawarah desa,
proses partisipatif sering kali dilewati karena dianggap lambat — maka kepala
desa langsung ambil alih. Proses diloncati, hasil dipaksakan.
Lebih runyam lagi, ketika lembaga pembina teknis seperti kecamatan,
tidak benar-benar dilibatkan dalam pengawasan berjenjang. Banyak program yang
langsung melompat dari provinsi ke desa, atau dari kabupaten ke desa, melewati
PTPD begitu saja. Akibatnya, pembinaan dan pengawasan terhadap desa menjadi tumpul,
fragmentaris, dan tidak terintegrasi.
Lalu siapa yang memperkuat BPD? Siapa yang memberi mereka pemahaman,
pelatihan, dan keberanian untuk menjalankan fungsi kontrolnya?
Kita boleh bicara besar soal pemberantasan korupsi. Kita boleh menepuk
dada atas besarnya dana desa yang dikucurkan. Tapi selama BPD tetap dianggap
bukan bagian penting dari sistem pemerintahan desa, dan selama
anggapan-anggapan keliru itu masih terus dibiarkan tumbuh — maka BPD yang
berfungsi hanya akan jadi cerita, dan dana desa yang bebas korupsi hanya akan
jadi mimpi.
Yang tersisa nanti hanyalah ketidakpercayaan, dan pada akhirnya,
kontrol sosial akan diambil alih oleh pihak-pihak yang gelisah — mereka yang
tidak tahan lagi melihat desa terus dirusak oleh diamnya pengawasan.
Pertanyaannya sederhana: apakah
kita benar-benar ingin melihat desa sejahtera, atau kita hanya puas dengan
narasi besar yang kosong dari dalam?
Karena kalau memang ingin serius membenahi desa, membenahi BPD adalah
titik awal yang tak bisa ditunda. Semoga.
.jpg)
إرسال تعليق