Way Ghubok: Aliran Kenangan, Sekolah Kehidupan (Bagian 2)



Di sudut Pekon yang kini sedang ramai diperbincangkan karena semangat gotong royong memperbaiki tanjakan Halian Ghubok—yang saat tulisan ini diposting telah mencapai lebih dari 70 persen dari target swadaya yang direncanakan—mengalir sebuah sungai yang pelan tapi pasti terus membawa cerita: Way Ghubok.

 

Bukan sungai besar, tapi juga tak bisa disebut kecil. Tak jelas pula apakah Ia tak tercantum dalam peta salah satu sungai di Lampung Barat atau tidak, namun bagi kami—anak-anak tahun 80-an ke atas dari Pekon Sukarami—Way Ghubok adalah pusat semesta kecil kami. Tempat kami tumbuh, bermain, dan belajar, bukan dari guru berseragam, tapi dari air yang dari awal sudah jujur dan tidak pernah menghakimi.

 

Way Ghubok adalah sekolah tanpa pagar. Tak ada papan nama, tak ada ruang kelas, tapi setiap arusnya menyampaikan pelajaran yang lebih dalam dari sekadar teori: tentang kehati-hatian, tanggung jawab, kehilangan, dan bagaimana menerima kenyataan bahwa tidak semua yang kita cintai bisa kita jaga selamanya.

 

Pagi dan sore, Way Ghubok menjadi saksi dari lalu lintas yang tak lazim—bukan kendaraan bermotor, tapi kuda, sapi, dan kerbau beban yang melintas perlahan membawa hasil bumi, barang dagangan, atau sekadar lewat dari pekon lain di kecamatan balik bukit menuju Pekon Bahway, Sukarami, dan Hanakau. Mereka bukan hanya hewan. Mereka adalah mitra kerja, sahabat diam dalam perjuangan hidup masyarakat kecil yang menggantungkan harapan pada punggung yang tak pernah mengeluh.

 

Saat banjir datang, suasana berubah jadi tegang. Air naik, arus menjadi deras. Tapi bagi kuda-kuda yang sudah mengenal aliran Way Ghubok sejak kecil, pemiliknya tak perlu ikut menyebrang. Cukup berdiri di jembatan, sambil memberi aba-aba: “kiri… kanan… tahan… pelan…” dan kuda itu akan melintas dengan yakin. Namun bagi yang baru belajar, pemilik harus turun langsung ke air, menyertai setiap langkahnya, memandu dengan doa dan dada berdebar.

 

Saya masih ingat betul—suara air yang bergemuruh diikuti teriakan panik pemilik kuda saat satu ekor hewan beban itu terbawa arus. Talinya tidak putus, tapi beban yang dibawanya terendam. Kami, anak-anak di tepian, hanya bisa berdiri terpaku. Belum cukup dewasa untuk menolong, tapi cukup tua untuk merasakan kehilangan. Hari itu Way Ghubok kembali mengajarkan kami, bahwa tidak semua perjalanan berakhir sesuai harapan.

 

Lalu datanglah zaman motor trail. Di masa awal, pengendara juga masih harus menerobos sungai karena jerambah bambu yang ada waktu itu tak layak dilintasi. Saya pernah menyaksikan sendiri—sebuah motor trail dipaksa melaju saat air meluap. Arus tak memberi ampun. Mesin mati, dan si pengendara harus bersusah payah mendorongnya melintasi sungai yang dingin dan ganas. Berjam-jam waktu habis hanya untuk menghidupkan kembali satu kendaraan yang terlalu memaksa.

 

Setelah jerambah bambu diganti dengan jembatan kayu beratap seng, pengendara motor mulai bisa melintas tanpa harus basah. Tapi ada satu hal yang tak tertulis, namun disepakati secara diam-diam: saat jalanan becek dan rantai dipasang di ban, rantai itu harus dilepas sebelum masuk jembatan. Bukan karena peraturan, tapi karena kesadaran—rantai bisa melukai lantai kayu jembatan yang harus dijaga bersama. Dan itulah salah satu pelajaran tak tertulis dari Way Ghubok: lewat boleh, merusak jangan.

 

Namun semua itu kini tinggal kenangan.  Sejak tanjakan Way Ghubok bisa dilalui oleh kuda Jepang—motor bermesin yang tak kenal lelah, tak butuh rumput atau istirahat—pemandangan itu perlahan menghilang. Tidak ada lagi kuda beban yang menyeberang hati-hati. Tidak ada lagi kerbau yang digiring dalam hujan. Tidak terdengar lagi suara aba-aba dari jembatan yang bersahut dengan arus sungai. Semua lenyap perlahan, seperti kabut pagi yang dijemput matahari.

 

Kami, anak-anak Way Ghubok, kini adalah orang dewasa. Kami tidak lagi bermain di aliran itu, tapi kami membawa Way Ghubok dalam dada. Sungainya masih ada. Airnya masih mengalir. Tapi maknanya telah bergeser. Anak-anak kini hanya mengenalnya sebagai aliran biasa. Mereka tak tahu bahwa di sana dulu ada sekolah kehidupan yang mengajarkan lebih banyak dari yang pernah kami kira.

 

Way Ghubok, meski aliranmu mulai mengecil di musim kemarau dan sangat besar di musim hujan, makna yang kau bawa tak pernah surut.  Kau ajarkan kami diam-diam, bahwa kerja keras tak selalu terlihat, bahwa keberanian bisa berarti bertahan di tengah arus, dan bahwa kesetiaan adalah tentang tetap tahu arah, bahkan tanpa komando.

 

Dan kami, para murid yang tak tercatat namanya, akan terus menyimpan namamu dalam ingatan. Bukan karena besar jasamu pada sejarah, tapi karena kau pernah mengajarkan kami menjadi manusia—tanpa berkata-kata, hanya lewat air yang mengalir dan pasir yang terus bergerak.

  

Post a Comment

أحدث أقدم