Ada tanjakan yang tidak hanya menanjak
tanah, tapi juga menanjak batin: Tanjakan Haliyan Ghubok. Di sanalah hidup
menguji kita dengan pertanyaan sederhana namun dalam: apakah kita memilih
menjadi si optimis yang berkeringat atau si pesimis yang berisik?
Bagi anak-anak, ia adalah jalan menuju
sekolah; bagi petani, jalan menuju ladang; bagi orang sakit, jalan menuju rumah
sakit. Tetapi bagi kami, ia lebih dari sekadar jalan. Ia adalah kitab terbuka,
halaman demi halaman yang ditulis dengan cangkul, sekop, dan keringat.
Kami memang sanak daghak, anak kebun,
anak umbul—julukan yang kerap dilontarkan dengan nada merendahkan. Tapi kami
tidak pernah merasa hina. Sebab harga diri tidak tumbuh dari seragam atau
jabatan, melainkan dari keberanian menghadapi jalan curam dengan bahu sendiri.
Kami tahu, menunggu negara hadir di
tanjakan ini sama saja menunggu hujan di kemarau panjang. Janji yang ditabur
hanya sebentar jadi mendung, lalu hilang ditiup angin. Proposal hanyalah kertas
kusam yang tertinggal di meja staf. Sementara rakyat dipanggil ke upacara,
dikirimi spanduk bendera, diberi pidato tentang kemajuan, tetapi tidak diberi
jalan yang bisa dilewati.
Karena itulah kami berhenti menunggu.
Kami bekerja. Dengan baju lusuh yang menjadi seragam kebesaran kami. Dengan
cangkul yang lebih jujur daripada semua baliho. Dengan sekop yang lebih setia
daripada janji-janji. Kami tidak pernah memotong pita, tapi kami memotong
keringat sendiri demi menambal jalan.
Dan lihatlah hasilnya: Tanjakan Haliyan
Ghubok kini nyaris rampung (99%). Tidak ada papan proyek, tidak ada nama
kontraktor, tidak ada foto pejabat tersenyum dengan gunting pita. Yang ada
hanyalah rabat beton sederhana—lahir dari doa dan tekad warga yang memilih
optimisme, walau dicemooh si pesimisme.
“Kik khanglaya ji di lewati Mobil nyak
aga lapah Jurak, kalau jalan ini bisa di lewati mobil saya mau jalan terbalik!”
kata seorang pesimis.
“Potong kuping saya kalau pekon Sukarami
bisa ditembus kendaraan!” seru yang lain.
“Sampaiko mit adek-adekmu (Sampaikan kepada adek-adekmu)…….., membangun jalan secara swadaya nggak kalau
mudah” kata dia yang mengaku pejabat.
Awalnya ucapan itu menyakitkan.
Lama-lama justru jadi bahan tertawaan. Biarlah mereka memanggul kata-kata, kami
memanggul batu. Biarlah mereka menabur sinis, kami menabur kerja. Sejarah sudah
berulang kali membuktikan: yang dicatat bukan suara nyinyir, melainkan keringat
yang menetes di tanah.
Setiap meter jalan yang terbentang
adalah doa untuk si optimis dan sekaligus teguran bagi si pesimis—terutama yang
duduk di kursi empuk, rajin memotret rapat, tapi lupa memotret solusi.
Sanak daghak memang anak kebun. Tetapi
dari kebun inilah kopi yang harum ke kota, dari kebun inilah sayur yang segar
ke pasar. Dan kini, dari kebun inilah lahir jalan: bukan sekadar jalan tanah
yang mengeras, tetapi jalan keyakinan bahwa optimisme rakyat selalu lebih kuat
dari pesimisme siapa pun.
Jika jalan adalah simbol peradaban, maka
kami telah membangun peradaban kami sendiri. Dengan tangan yang kasar, dengan
baju yang lusuh, dengan semangat yang sederhana, tapi sesungguhnya lebih agung
daripada semua baliho yang terpajang di Liwa.
Kini, Tanjakan Haliyan Ghubok berdiri
sebagai saksi bisu. Ia tahu siapa yang bekerja, siapa yang hanya berkata. Ia
menyimpan nama-nama yang berkeringat, dan melupakan suara-suara nyinyir yang
berlalu begitu saja.
Dan bila kelak sejarah menoleh ke
belakang, ia hanya akan mencatat satu hal: bahwa di Tanjakan Haliyan Ghubok,
optimisme rakyatlah yang menang.

إرسال تعليق