Ham di kebik Pekon,
tempat pertama kali mataku mengenal cahaya dunia.
Di
pondok bambumu, aku lahir tanpa bidan, tanpa dukun, tanpa sambutan siapa-siapa
—
hanya
denting padi yang terguncang angin,
dan
cahaya sentir yang belum sempat dinyalakan bapak.
Kata
orang, engkau angker.
Kata tetua, engkau pemandian raja-raja Buay Bejalan di Way
tempat
airnya menyimpan kisah.
Bagiku, engkau sangat punya makna.
Engkau
rahim kedua setelah ibu,
yang
membesarkanku dengan suara ayam berkokok, suara kodok, dan
bau
lumpur sawah yang tak pernah luntur dari ingatan.
Aku
ingat, Hamkebik…
Aku
datang padamu di pagi-pagi sendirian,
hanya
untuk memastikan aliran airmu tidak mampet.
Kadang
aku memanjat pohon jeruk di belakang pondokmu,
menggigit
manisnya tanpa cuci tangan — karena itulah jajan paling mewah di masa kecilku.
Lalu
aku tumbuh.
Bubuku
menunggu di tepian pemelang,
setiap
Selasa dan Jumat menjadi rejeki dapur Mak,
kadang
menjadi sepasang sepatu baru untuk kakiku.
Setiap
hajatan keluarga, engkau yang memberi ikan.
Setiap
lebaran, engkau yang memanggil kami untuk pulang.
Berasmu,
Hamkebik, adalah napas setahun keluargaku kala itu.
Tapi
waktu tak pernah mau menunggu.
Bak telah tiada tiada,
Engkau mulai sepi. tak terurus seperti dulu
Jalan
menuju tubuhmu runtuh,
rumput
liar menutup jejak,
dan
ikanmu berkurang.
Lahanmu
tak lagi hijau,
seperti
sayap yang mulai lelah mengepak.
Meski
begitu…
di
hatiku, Hamkebik,
engkau
tak pernah pudar.
Engkau
adalah halaman pertama dalam buku hidupku.
Engkau
bukan sekadar sawah — engkau adalah kampung
halaman yang selalu memanggil, meski aku jauh.
إرسال تعليق