Tanjakan yang Menguji Nafas (Catatan dari Pekon Sukarami di Ulang Tahun NKRI ke-80 Bagian kedua)

 


Jalan, di mata orang kota, hanyalah urusan aspal yang hitam mengkilap atau beton yang rata tanpa cela. Tapi di Pekon seperti Sukarami, jalan adalah kitab terbuka: ditulis dengan keringat bapak-bapak, dibubuhi doa para ibu, lalu ditandatangani dengan harapan anak-anak yang ingin sekolah tanpa harus jatuh di jalan berlubang. Kitab itu di sini punya satu bab yang paling tebal: tanjakan Haliyan Ghubok.

 

Tanjakan ini bukan hanya menguji mesin, tapi juga nafas. Nafas kendaraan, Nafas pengendara, bahkan Nafas gotong royong. Dari dulu sampai sekarang, ia seperti guru tua yang tidak pernah bosan menegur murid-muridnya.

 

Cerita masa AMD, ketika masyarakat dua kecamatan Belalau dan Balik Bukit waktu itu hendak menaklukkan jurang. Sebagian orang pesimis, sebagian lagi menertawakan. Kata-kata sinis itu seperti doa terbalik: “Ah, mobil lewat sini? Mustahil! Kalau bisa, dunia sudah jungkir balik.” Ada yang bahkan bernazar akan jalan dengan kepala di bawah jika mobil benar-benar bisa lewat. Untung nazar itu tidak pernah ditagih, sebab jika iya, mungkin lebih banyak yang remuk bukan hanya di jalan, tapi juga di harga diri.

 

Dulu, jalur lama teba kupit menempel di bibir jurang, membuat orang berdoa lebih panjang dari biasanya sebelum melintas. Kemudian jalan dialihkan ke atas, menanjak tajam, hingga lahirlah nama Tanjakan Kekenong—diambil dari pohon yang berdiri gagah di punggung bukit. Dari sanalah zaman beringsut pelan-pelan: kuda beban diganti motor trail, kerbau pleret tergantikan roda besi berantai. Tapi sehebat apapun mesin, tetap saja batu dan debu lebih dulu menertawakan.

 

Ketika harga kopi naik tahun 1997 an, jalan ini tiba-tiba berubah jadi urat nadi. Jalur trayek Pasar Liwa–Bahway, hingga kini Pasar Liwa–Pasar Minggu Sukarami, menjadikannya semacam jalur emas. Dari sekadar tanjakan penuh dengus, ia menjelma denyut ekonomi. Tanjakan yang dulu dikutuk, kini justru dilintasi dengan penuh syukur, meski sambil tetap mengumpat ketika kenderaan berguncang suara berdegum karena melintasi jalan berlubang atau mesin ngadat di tengah jalan.

 

Namun, meski sudah diaspal, ada tiga titik yang tetap menjadi legenda: Tikungan Among Mardani, Tanjakan Bah Kedu, dan tentu saja si Tanjakan Legenda Tanjakan Kekenong. Mistis yang dulu melekat di Bah Kedu kini seperti pindah alamat ke Kekenong. Ada yang mengaku melihat sosok putih menghadang. Ada yang tiba-tiba dihampiri bau minyak wangi entah dari mana. Ada pula yang disembur pasir, semua terjadinya malam-malam, seolah tanjakan sedang bercanda dengan nyali manusia yang melewatinya di jam istirahat. Orang boleh bilang itu tahayul, tapi dibalik itu semua yang jatuh tetap jatuh. Mesin yang kepanasan tetap kepanasan. Tanjakan tidak peduli apakah kau percaya hal mistis atau tidak.

 

Kini, ketika warga berswadaya memperbaiki jalan, tanjakan inilah yang paling banyak disorot. Wajar—karena di sinilah ujian terakhir sebelum masuk pekon. Banyak motor tersungkur bukan karena rusak, tapi karena pengendaranya ragu-ragu di tengah jalan. Ada yang terlambat oper gigi, ada yang terlalu percaya diri, ada yang terlalu tergesa-gesa. Semua sama: gagal di tanjakan yang tidak pernah ramah bagi mareka yang setengah hati.

 

Bukankah dinamika berkendara memang begitu?. Ada yang buru-buru ingin sampai, lupa kapan harus pindah gigi, lalu jatuh tanpa sempat menoleh.  Satu Hal yang pasti tanjakan Sukarami, tidak bisa ditaklukkan hanya dengan modal nekat semata. Ia butuh kesabaran, kejelian, dan tekad yang tidak ragu.

 

Maka, tanjakan ini bukan sekadar jalan. Ia guru yang sabar tapi kejam. Ia menertawakan orang-orang yang dulu pesimis, sekaligus menguji orang-orang yang sekarang  optimis. Ia menyimpan cerita mistis bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk mengingatkan bahwa hidup tidak pernah sepenuhnya tunduk pada logika.

 

Di ulang tahun ke-80 negeri ini, tanjakan Sukarami masih berdiri tegak. Tidak hanya sebagai jalan menuju pekon, tapi juga jalan menuju kesadaran: bahwa kemerdekaan bukanlah sekadar upacara bendera, melainkan keberanian untuk terus menanjak bersama. Sebab jalan ini, sama seperti republik ini, tidak pernah benar-benar rata.

Post a Comment

أحدث أقدم