Jalan, di mata orang kota, hanyalah
urusan aspal yang hitam mengkilap atau beton yang rata tanpa cela. Tapi di
Pekon seperti Sukarami, jalan adalah kitab terbuka: ditulis dengan keringat
bapak-bapak, dibubuhi doa para ibu, lalu ditandatangani dengan harapan
anak-anak yang ingin sekolah tanpa harus jatuh di jalan berlubang. Kitab itu di
sini punya satu bab yang paling tebal: tanjakan Haliyan Ghubok.
Tanjakan ini bukan hanya menguji mesin,
tapi juga nafas. Nafas kendaraan, Nafas pengendara, bahkan Nafas gotong royong.
Dari dulu sampai sekarang, ia seperti guru tua yang tidak pernah bosan menegur
murid-muridnya.
Cerita masa AMD, ketika masyarakat dua
kecamatan Belalau dan Balik Bukit waktu itu hendak menaklukkan jurang. Sebagian
orang pesimis, sebagian lagi menertawakan. Kata-kata sinis itu seperti doa
terbalik: “Ah, mobil lewat sini? Mustahil! Kalau bisa, dunia sudah jungkir
balik.” Ada yang bahkan bernazar akan jalan dengan kepala di bawah jika mobil
benar-benar bisa lewat. Untung nazar itu tidak pernah ditagih, sebab jika iya,
mungkin lebih banyak yang remuk bukan hanya di jalan, tapi juga di harga diri.
Dulu, jalur lama teba kupit menempel di
bibir jurang, membuat orang berdoa lebih panjang dari biasanya sebelum
melintas. Kemudian jalan dialihkan ke atas, menanjak tajam, hingga lahirlah
nama Tanjakan Kekenong—diambil dari pohon yang berdiri gagah di punggung bukit.
Dari sanalah zaman beringsut pelan-pelan: kuda beban diganti motor trail,
kerbau pleret tergantikan roda besi berantai. Tapi sehebat apapun mesin, tetap
saja batu dan debu lebih dulu menertawakan.
Ketika harga kopi naik tahun 1997 an,
jalan ini tiba-tiba berubah jadi urat nadi. Jalur trayek Pasar Liwa–Bahway,
hingga kini Pasar Liwa–Pasar Minggu Sukarami, menjadikannya semacam jalur emas.
Dari sekadar tanjakan penuh dengus, ia menjelma denyut ekonomi. Tanjakan yang
dulu dikutuk, kini justru dilintasi dengan penuh syukur, meski sambil tetap
mengumpat ketika kenderaan berguncang suara berdegum karena melintasi jalan
berlubang atau mesin ngadat di tengah jalan.
Namun, meski sudah diaspal, ada tiga
titik yang tetap menjadi legenda: Tikungan Among Mardani, Tanjakan Bah Kedu,
dan tentu saja si Tanjakan Legenda Tanjakan Kekenong. Mistis yang dulu melekat
di Bah Kedu kini seperti pindah alamat ke Kekenong. Ada yang mengaku melihat
sosok putih menghadang. Ada yang tiba-tiba dihampiri bau minyak wangi entah
dari mana. Ada pula yang disembur pasir, semua terjadinya malam-malam, seolah
tanjakan sedang bercanda dengan nyali manusia yang melewatinya di jam istirahat.
Orang boleh bilang itu tahayul, tapi dibalik itu semua yang jatuh tetap jatuh.
Mesin yang kepanasan tetap kepanasan. Tanjakan tidak peduli apakah kau percaya
hal mistis atau tidak.
Kini, ketika warga berswadaya
memperbaiki jalan, tanjakan inilah yang paling banyak disorot. Wajar—karena di
sinilah ujian terakhir sebelum masuk pekon. Banyak motor tersungkur bukan
karena rusak, tapi karena pengendaranya ragu-ragu di tengah jalan. Ada yang
terlambat oper gigi, ada yang terlalu percaya diri, ada yang terlalu
tergesa-gesa. Semua sama: gagal di tanjakan yang tidak pernah ramah bagi mareka
yang setengah hati.
Bukankah dinamika berkendara memang
begitu?. Ada yang buru-buru ingin sampai, lupa kapan harus pindah gigi, lalu
jatuh tanpa sempat menoleh. Satu Hal yang
pasti tanjakan Sukarami, tidak bisa ditaklukkan hanya dengan modal nekat
semata. Ia butuh kesabaran, kejelian, dan tekad yang tidak ragu.
Maka, tanjakan ini bukan sekadar jalan.
Ia guru yang sabar tapi kejam. Ia menertawakan orang-orang yang dulu pesimis,
sekaligus menguji orang-orang yang sekarang
optimis. Ia menyimpan cerita mistis bukan untuk menakut-nakuti, tetapi
untuk mengingatkan bahwa hidup tidak pernah sepenuhnya tunduk pada logika.
Di ulang tahun ke-80 negeri ini,
tanjakan Sukarami masih berdiri tegak. Tidak hanya sebagai jalan menuju pekon,
tapi juga jalan menuju kesadaran: bahwa kemerdekaan bukanlah sekadar upacara
bendera, melainkan keberanian untuk terus menanjak bersama. Sebab jalan ini,
sama seperti republik ini, tidak pernah benar-benar rata.

إرسال تعليق