Di pojok Kecamatan Balik Bukit, di sebuah tikungan waktu bernama Umbul Limau, berdiri sebuah pedukuhan kecil yang nyaris terhapus dari peta dunia. Keluar masuknya hanya lewat jalur sempit, licin, dan terjal — sebuah urat tanah yang hanya sanggup dipijak kuda beban atau kerbau plered yang tabah menunduk.
Namun orang-orang di sana punya dada
yang lebih lebar dari jalannya. Dengan cangkul, belencong, dan parang seadanya,
mereka mencungkil tanah, menata pepohonan dan rumpun bambu, serta memperlebar
jalur yang kini di kenal dengan tanjakan haliyan ghubok sedikit demi sedikit.
Dalam peluh yang bercampur lumpur, lahir kesepakatan mengganti nama umbulan
menjadi Sukarami— sebuah doa agar kelak umbulan tak lagi sepi, ramai bukan
karena bencana, tapi karena kehidupan yang tumbuh penuh warna.
Bagi kaum masyarakat tua Sukarami, atau
siapa pun yang di era 80-an pernah menapaki Tanjakan Hiliyan Ghubok, tiap
lekuknya menyimpan bab cerita. Ada Bah Linsuh, tempat perlintasan harimau yang
kadang meninggalkan bekas tapak kaki di tanah becek. Ada Simpang Bamban, tempat
napas ditarik panjang sebelum menantang spot berikutnya. Teba Kupit yang sempit
— hanya muat untuk satu kuda, sapi, atau kebo beban. Jika dua rombongan
berpapasan di sana, salah satunya harus mengalah dan menunggu.
Ada juga Rumpun Skala seperti pos jaga
alam, tempat orang menunggu giliran melewati Teba Kupit. Simpangan Way Kedu dan
Bah Kedu menyimpan cerita mistis —
tentang makhluk tak kasad mata, kerap melintas ular besar. Ada pula Tikungan
Among Mardani: menurun, menikung tajam 90 derajat, selain perlu menjaga keseimbangan juga perlu
mengatur napas. Dan di kaki tanjakan, berdirilah Jerambah Way Ghubok — awalnya
jerambah terbuat dari bamboo betung
bertumpuk, lalu berubah menjadi jerambah kayu beratap seng. Tempat berteduh
dari hujan, atau sekadar mengatur napas sebelum menanjak.
Lalu datanglah satu bab penting: AMD arau ABRI Masuk Desa di era 80-an. Saat itu, gotong royong tak hanya milik Sukarami. Masyarakat seantero Kecamatan Balik Bukit (yang kini terbelah menjadi Balik Bukit dan Sukau), Kecamatan Belalau (yang kini menjadi Belalau, Batu Brak, Suoh, Bandar Negeri Suoh, dan Batu Ketulis) ikut bekerja bergiliran selama berminggu-minggu. Tidak ada mesin, tidak ada gaji, yang ada hanya disiplin tingkat dewa yang terlambat atau berleha-leha dalam bekerja akan mendapat hukuman pus-up atau di rendam di way ghubok oleh anggota ABRI yang piket menjadi pengawas nasi sabal pete bercampur ikan asin, dan segenggam tekad yang lebih keras dari cadas yang ada di samping jerambah. Pantun yang tak tahu siapa pengarangnya diwariskan dari mulut ke mulut masih bergema:
Mucecok ghik mutegi, teba Hiliyan Ghubok
Kubiti mak lugi ni, ku pelebon mak
dapok.
Artinya:
Sungguh tinggi dan terjal tanjakan
Hiliyan Ghubok,
Tak lepas dari ingatan, selalu terkenang
di hati.
Dari sejak dilaksanakan gotong royong
secara masal berulangkali dan kurun waktu beberapa bulan itu, berangsur status
jalan tanjakan hiliyan ghubok itu naik kelas onderlagh, lalu beraspal. Tapi
seperti manusia, jalan pun menua. Aspalnya retak, lubangnya menganga, dan licin
kerap menjadi ancaman. Korban kecelakaan sudah tak terhitung — hingga orang
berhenti dan lupa menghitungnya.
Ironi memang, Padahal jalan ini adalah
urat nadi Sukarami, Bahway, Cenggiring Ujung, dan Hanakau. Tapi perhatian dari
yang berwenang datangnya tak menentu — seperti hujan bulan Juni: jarang,
singkat, dan sering terlambat.
Maka warga pun kembali ke akar sejarahnya:
musyawarah dan swadaya kembali menggelora dan kabarnya menggema viral di media
sosial. Kini sebuah pos donasi berdiri di tepi jalan. Sebab mereka tahu,
menunggu janji itu seperti menunggu harimau berubah menjadi vegetarian — bukan
mustahil, tapi siapa yang berani menjamin?
Kini, di usia kemerdekaan NKRI yang
ke-80, Tanjakan Hiliyan Ghubok berdiri bukan sekadar sebagai jalur penghubung,
tetapi sebagai monumen hidup dari arti kemerdekaan yang sesungguhnya. Bahwa
merdeka itu bukan hanya lepas dari penjajahan, tapi juga berdaulat atas langkah
dan kerja kita sendiri. Bahwa merah putih bukan hanya kain di tiang, tapi peluh
yang mengalir di dahi dan punggung mareka yang berjuang menjaga dan mengisi
kemerdeka, serta tekad yang menolak kalah oleh terjalnya jalan.
Merdeka! Selamat Ulang Tahun NKRI ke-80.
Dari Sukarami, kami kirim doa dan kabar: semangat 1945 itu masih hidup di sini.
.jpg)
إرسال تعليق