Way Ghubok: Sungai Keruh, Sekolah Kehidupan

 

Jerambah Way Ghubok Era 80-an

Jika Anda pernah menyeruput kopi hitam murahan di gelas kaca berkerak, lalu tersenyum karena rasanya lebih jujur daripada kopi bermerek, maka Anda akan paham kenapa kami mencintai Way Ghubok. Ia bukan sungai yang jernih. Tidak indah. Tidak cocok masuk feed Instagram. Tapi justru dari situlah, daya tariknya memancar.

 

Way Ghubok bukan Way Ketuban yang berbatu bening, bukan Way Krui yang pantas untuk konten healing. Ia mengalir dari Pematang Limau Kunci ke Teluk Semangka, menembus pekon-pekon, membawa pasir, kenangan, dan pelajaran hidup. Namanya pun tak pura-pura: "Ghubok" berarti keruh. Tidak ada nama yang lebih jujur untuk sebuah sungai. Ia tidak menipu kita sejak awal.

 

Dulu, di tahun 80-an, sebelum air PDAM masuk ke rumah-rumah Pekon Sukarami, Way Ghubok adalah tempat segalanya. Tempat mandi, tempat mencuci, dan tempat berendam. Anak-anak belajar berenang di sana. Bukan dari pelatih berseragam, tapi dari tradisi “nyemplung langsung”. Bermodal keberanian dan percaya diri penuh perjuangan.

 

Airnya keruh, tapi siapa yang peduli? Dari jerambah bambu sampai jerambah beratap seng di pinggirnya, kami melompat, bertarung, tertawa, lalu pulang dengan badan gosong dan hati hangat. Kami berenang melawan arus seperti salmon, bedanya, salmon jadi menu mahal di restoran, kami jadi kenangan mahal di obrolan warung kopi.

 

Way Ghubok bukan cuma tempat bermain, tapi juga halte kehidupan. Setiap hari Selasa, anak-anak menunggu ibunya pulang dari Pasar Liwa di jerambah. Di sana juga tempat kami melepas saudara yang hendak pulang keluar dari Pekon Sukarami, atau menyambut tamu dari luar pekon. Pernah ada lambaian terakhir di pinggir sungai itu, sebelum seseorang pergi merantau. Air matanya menyatu dengan arus, dan kami belajar satu hal: sungai bisa menyimpan perpisahan tanpa pernah mengeluh.

 

Tentu saja, kadang Way Ghubok jadi medan tawuran. Tapi jangan bayangkan kekerasan brutal. Ini tawuran sopan santun ala anak 80-an: satu lawan satu, tanpa senjata. Kadang cukup adu dorong, lalu jatuh bareng ke air. Yang kalah pulang lebih dulu. Yang menang dapat kehormatan mandi lebih dulu. Ajaibnya, esoknya mereka main lagi bersama. Sungai ini tahu caranya memaafkan.

 

Bulan puasa adalah waktu paling meriah. Way Ghubok berubah jadi arena ngabuburit. Kami mancing, tapi ikan seluangnya jarang tertangkap. Paling dapat mujair TK (sebutan kami untuk mujair kecil), kadang nyangkut pada pepohonan atau rumpun bambu yang kebetulan hanyut. Tapi justru itu yang membuatnya seru. Di pinggir jerambah, kami berdebat kecil: “Kalau air hari ini makin keruh, berarti semalam ada yang nyuci beras di hulu.”

 

Way Ghubok tak pernah jernih, tapi hatinya bersih. Ia tidak marah meski kini dilupakan. Anak-anak sekarang lebih suka kolam renang bersih berkaporit. Sungai dianggap kotor dan kuno. Tapi bagi kami, Way Ghubok adalah guru. Dari alirannya yang tenang meski keruh, kami belajar kesetiaan. Dari pasirnya, kami belajar sabar. Dari tawa dan luka yang tertinggal di tepinya, kami belajar ikhlas.

 

Jika Anda suatu hari singgah di Sukarami, mampirlah ke Way Ghubok. Celupkan kaki ke airnya yang masih keruh. Diam sejenak. Dengarkan gemericiknya. Itu bukan hanya suara air, tapi suara masa kecil kami yang sedang menyapa Anda.

 

Way Ghubok tidak perlu dikenang sebagai objek wisata. Ia cukup jadi sungai biasa yang menyimpan kenangan luar biasa. Ia tidak minta diabadikan dalam foto, karena ia sudah abadi dalam hati kami yang pernah tumbuh bersamanya.

Post a Comment

أحدث أقدم