Ada suara yang lebih nyaring dari bunyi
gong atau tetawak saat hajatan
berlangsung.
Suara itu datang dari langkah-langkah
lembut para bebai — emak-emak yang mondar-mandir di halaman, dapur, dan ruang
tamu rumah inti. Mereka bukan sekadar pekerja sunyi di balik gemerlap pesta,
melainkan jantung yang menjaga hidupnya silaturahmi, adat, dan rasa
kekeluargaan di setiap pekon.
Ketika satu keluarga di Pekon hendak
nayuh — melangsungkan hajatan besar — roda kebersamaan mulai berputar jauh
sebelum hari puncak tiba. Semua berjalan dalam irama yang diwariskan
turun-temurun. Dimulai dari begegai,
yaitu bersih-bersih rumah, dapur, dan halaman agar suasana siap menyambut
kebahagiaan. Lalu tandang, pergi ke ladang atau kebun mencari bahan mentah
seperti sayur, buah, dan rempah yang kelak menjadi santapan bersama, ada hasil
tandang yang langsung di aplikasikan menjadi masakan biasanya dinamakan peput (campuran
sayuran, kelapa parut, petai cina, dll). Setelah itu mereka nyani tapai (membuat
tape) biasanya ketan putih dan hitam . Nyani Selimpok (membuat lemet) —
pekerjaan yang menuntut kesabaran dan hati yang jernih.
Di sela Nyani Tapai dan Nyani Selimpok,
Sebagian para bebai yang dipandu oleh Ratu (pimpinan adat perempuan) akan memasang
pedandanan atau umbungbak, merias ruang kamar pengantin dan Ruang Tamu – Kamar
Pengantin, biasanya dilaksanakan oleh para bebai dari pihak kelama dan
pedandanan ruang tamu atau luar dilaksanakan oleh bebai baya dengan kain tapis
dan pernak-pernik khas Sai Batin. Di sanalah tangan-tangan perempuan Lampung
sai batin bekerja dengan rasa dan estetika, menyulap ruangan biasa menjadi
ruang adat yang berwibawa dan penuh makna.
Berlanjut pada nyunjong begulai di acara
betitikolan rik ngelemang, memasak nasi dan lauk pauk saat pemotongan hewan, memasak
lemang, nyakhlai siwok/sebangsa wajik), dan atau belangok mencari ikan di
sawah. Disini masakan para bebai menjadi
pusat kehidupan: bara api menyala, asap menari, aroma santan bercampur tawa dan
doa.
Malam menjelang hari pelaksanaan,
suasana berubah menjadi teduh dan khidmat. Para bebai tuha (nenek-nenek)
melantunkan ngaji bersanji, menebar salawat dan doa penuh syukur. Pada waktu
yang sama, muli mekhanai (pemudi-pemuda) menggelar nyambai— tradisi komunikasi
penuh adab dan tawa, sementara para ragah (laki-laki dewasa) melaksanakan bedikir atau
hadra. Semua unsur masyarakat berpadu dalam satu harmoni adat.
Hari puncak pun tiba. Para bebai nutuk/ikut
beharak, berjalan bersama dalam arak-arakan pengantin dengan pakaian terbaik
dan wajah berseri. Setelah prosesi butetah (penyampaian gelar adok) usai,
mereka duduk bersama dalam pangan— makan besar yang dilakukan penuh tawa dan
rasa syukur. Makanan yang dihidangkan bukan sekadar santapan, tetapi
persembahan kasih dan doa agar rumah tangga yang baru dibangun menjadi keluarga
yang sakinah mawah warohmah membawa berkah bagi agama, adat, dan pekon.
Keesokan harinya, ketika hiruk-pikuk
mulai reda, para bebai kembali beraktivitas yaitu bebasuhan dan begegai. Sama seperti para muli mekhanai, tapi dengan
peran yang lebih dalam: membersihkan peralatan di rumah inti, mencuci, menata
ulang ruang tamu, hingga semua kembali rapi. Dari situ, rumah bukan hanya
bersih, tetapi juga kembali hangat.
Dalam setiap gerak dan senyum mereka,
tersimpan nilai luhur. Bebai adalah penjaga silaturahmi sejati. Dari merekalah
anak-anak pekon belajar makna tolong-menolong dan ketulusan tanpa pamrih. Dalam
setiap nayuh, mereka menjadi penyeimbang yang menenangkan—menjembatani
semangat muli meranai dengan ketegasan
para ragah, agar semua berjalan dalam keseimbangan dan harmoni.
Di antara mereka, ada peran yang tak
kalah penting: bebai baya — para perempuan dari satu Pekon atau keluarga terdekat
yang bertugas menyambut bakul/sumbuk/sesuduk, yakni bawaan dari tamu berupa
beras, kelapa, mihun, gula, galam, uang, atau bahan mentah lain untuk membantu
keluarga yang sedang nayuh. Dengan penuh tanggung jawab, bebai baya menerima,
mencatat, lalu menyerahkan kepada tukang panggar yang mengelola sesuduk. Dalam
diam, mereka sedang menjaga keadilan, kepercayaan, dan rasa saling percaya
antarwarga pekon.
Setelah pangan selesai, para bebai baya
juga bertugas menyampaikan penguloh bakul — tanda terima kasih dari tuan rumah
kepada para penyumbang. Di Lampung Barat, penguloh bakul memiliki bentuk dan
makna yang khas: berisi siwok, lemang, cucok, buak tat, dan berbagai kudapan
manis khas nayuh. Masing-masing menjadi simbol kasih, balas budi, dan doa agar
silaturahmi tak pernah putus.
Selain bebai baya, ada pula anakbai—
para perempuan yang sudah berkeluarga di rumah inti yang sedang melaksanakan
nayuh. Mereka penerus tangan-tangan lembut itu. Dari mereka, tradisi belajar
hidup lagi: bagaimana cara betutor (bertutur) dengan hormat, bagaimana
mempersilakan tamu untuk mejong/duduk, nganik buak dan nginom, marok betahto/
ngobrol dengan tutur kata yang halus, hingga cara menata pahar (nampan tembaga
tempat makanan) untuk Sai Batin (pimpinan adat) dengan sopan dan rasa.
Namun, seiring waktu, nayuh model
seperti ini mulai jarang dijumpai. Banyak keluarga kini lebih mengandalkan uang
daripada kebersamaan. Segalanya serba cepat, serba sewa, serba praktis — pesta
selesai dalam sehari, tapi tanpa ruh, tanpa makna, tanpa cerita yang bisa diwariskan.
Dapur yang dulu jadi pusat kehidupan kini digantikan oleh jasa katering; tawa
di halaman berganti dengan suara musik dari pengeras. Bebai-bebai yang dulu
menabur kasih lewat kerja kolektif, kini hanya jadi tamu di rumahnya sendiri.
Padahal, di sanalah sebetulnya napas
kebersamaan hidup. Bukan pada megahnya tenda atau mahalnya pelaminan, melainkan
pada tangan-tangan yang saling membantu, pada sendok yang berpindah dari satu
tangan ke tangan lain dengan cinta dan ikhlas.
Sesungguhnya, di balik kemeriahan nayuh,
kita sedang menyaksikan peradaban yang berjalan tanpa panggung. Bebai nayuh
bukan hanya pelaku adat, tapi pendidik sosial, penjaga silaturahmi, dan penenun
kehangatan yang membuat masyarakat pekon tetap utuh.
Dan barangkali, kalau hari ini banyak
yang lupa pada makna gotong royong, itu karena kita sudah jarang melihat
tangan-tangan bebai bekerja — tangan yang tak pernah berhenti, tapi juga tak
pernah menuntut pujian. Mereka memastikan semua pulang dengan perut kenyang dan
hati tenang.
Di setiap sendok nasi yang mereka sajikan,
tersimpan doa agar pekon tak kehilangan rasa.
Dan di balik setiap tawa mereka di
dapur, sesungguhnya terselip pesan sederhana yang tak lekang oleh waktu: “Kalau
hidup ingin panjang, jangan pernah berhenti bersilaturahmi.”

إرسال تعليق