“Adat tidak hidup karena
seremoninya, tapi karena orang-orang yang bersedia menjadi bara di balik
asapnya.”
Ada masa ketika suara laki-laki tak perlu lantang untuk didengar.
Cukup dengan langkah yang teguh dan punggung yang siap memikul, dunia tahu di
mana tanggung jawab bersandar. Di Pekon, para lelaki itu berjalan tanpa
gembar-gembor, tapi setiap langkah mereka meninggalkan jejak makna. Mereka
hadir bukan untuk dilihat, melainkan untuk memastikan kehidupan adat tetap
bernapas — dalam diam yang penuh hormat.
Mereka itulah Ragah Nayuh — lelaki yang tak meminta sorot lampu,
tapi nyalanya membuat dapur adat tetap menyala. Di tangan mereka, upacara adat
menemukan ruhnya. Di wajah mereka, adat menemukan bentuk kesederhanaannya yang
paling jujur. Mereka bukan sekadar pekerja adat, melainkan penjaga keseimbangan
antara bara tungku dan doa yang melambung ke langit.
Semua bermula dari Nekhima atau
Ngeraduko Rasan, pertemuan dua keluarga yang masing-masing dimpingi oleh
pemimpin adat kedua belah pihak untuk
merundingkan hari baik dan tata cara nayuh. Di sinilah Ragah hadir menjaga
marwah niat baik dua keluarga — memastikan langkah pertama tidak keliru, dan
ucapan pertama tidak menggores.
Lalu dilanjutkan dengan Himpun Minak Muari bah Mekonan, Himpun
atau musyawarah adat besar yang dihadiri para tokoh yang ada di dalam pekon. Di
sana hasil perundingan dalam nerima dan ngeraduko rasan disampaikan, dan
semangat gotong royong diteguhkan kembali. Karena dalam adat, pesta bukanlah
milik satu rumah — melainkan urusan bah mekonan atau seluruh warga adat di
pekon, tanda bahwa kebahagiaan seseorang adalah tanggung jawab bersama.
Setelah Himpun, kerja besar dimulai. Ragah akan bersama-sama nyani
penjunjongan— membuat dapur terbuka tempat api dan asap mengepul. Dari tangan
mereka berdirilah tungku-tungku kehidupan. Setelah itu mereka kepancung,
menebang bambu muda di kebun dan tepian sungai. Bambu itu akan menjadi wadah
lemang, simbol kesabaran, keseimbangan, dan penghormatan pada alam.
Bambu yang terkumpul diisi dalam kegiatan ngisi lemang— beras
ketan dan santan dituangkan dengan takaran yang pas, seirama dengan jumlah doa
dan undangan. Lemang bukan sekadar santapan, tapi persembahan yang mewangi oleh
ketulusan.
Berlanjut dengan ngelemang, betitikolan, nyarlai siwok, dan
belangok— memasak lemang, memotong hewan, membuat wajik, mencari ikan di sawah
untuk lauk tambahan. Semua dilakukan tanpa aba-aba, tanpa komando. Seolah
tangan mereka digerakkan oleh satu irama purba: keikhlasan.
Hasil tangkapan ikan kemudian diasap dalam kegiatan Napako Iwa,
agar tahan lama dan beraroma khas ketika dimasak menjadi sayur taboh. Di balik
asap itu tersimpan rasa syukur dan kebersamaan yang tak lekang waktu.
Setelahnya, mereka melangkah dalam Ngejalang Panggar — mengirim doa bagi arwah
keluarga yang telah mendahului, memohon ridha Ilahi agar seluruh prosesi nayuh
berjalan tanpa cela. Dalam doa itu, Ragah menyelipkan keyakinan bahwa adat
bukan sekadar pesta, melainkan ibadah yang membentuk jiwa.
Menjelang hari pelaksanaan, malam diisi dengan bediker atau hadra.
Para Ragah melantunkan dzikir diiringi tabuhan tarbangan. Suara mereka
bergetar, memantul ke dinding malam, menjadi jembatan antara kerja dan doa.
Bediker bukan hiburan, tapi jeda di mana dunia lahir dan batin bertemu.
Sementara di sudut lain, beberapa Ragah menghadap pemimpin adat mareka
untuk menindaklanjuti tangguh atau omongan sebelum Nayuh -- Di sini pembicaraan
menjadi lebih dalam: menyangkut teknis prosesi adat dan gelar atau adok yang
akan disematkan kepada kedua pengantin saat
Butetah.
Pada momen itu, sang pemimpin adat menekankan dengan tenang namun
tegas:
bahwa setiap adok bukan sekadar sebutan kehormatan, tetapi
kewajiban yang melekat seumur hidup — amanah untuk menjaga diri, keluarga, dan
masyarakat adat agar tetap berpijak pada nilai. Gelar boleh disematkan dalam
satu hari, tapi maknanya harus dijaga sepanjang usia. Karena kehormatan tanpa
pengabdian adalah Bayangan tanpa tubuh atau jasad tanpa ruh.
Tibalah hari yang dinanti. Beharak dan Butetah menjadi puncak
prosesi, ketika kedua pengantin diarak dan menerima gelar adat di hadapan para
Ragah, bebai, muli meranai, dan kori. Semua berjalan hangat, rapi, dan sakral,
sesekali diselingi tawa lembut penetah adok yang menambah khidmat suasana. Setelahnya,
pangan digelar — makan bersama sebagai lambang syukur, persaudaraan, dan
perayaan kebersamaan.
Sebagai penutup, dilaksanakan Ngantak Kebayan, yakni mengantarkan
pengantin ke rumah keluarga laki-laki. Ini bukan sekadar prosesi, melainkan
simbol penyerahan tanggung jawab. Bahwa cinta kini menjadi bagian dari keluarga
besar — dijaga, dihormati, dan dihidupi sebagaimana adat mengajarkan.
Selain Ragah Baya yang bertugas menerima sesusuk, bakul, atau
sumbuk — sumbangan dari tamu dan keluarga — ada juga Ragah yang menjadi tukang
panggar. Dahulu, panggar berarti loteng rumah, tempat menyimpan hasil terbaik.
Kini, ia bermakna posisi kepercayaan di dapur Nayuh: menjaga keseimbangan,
menghimpun, mengatur, memastikan tak ada tamu yang pulang tanpa buah tangan dan
kesan baik. Di pundak merekalah adat bersandar dalam diam.
Sementara itu, Ngemian — para menantu laki-laki dari shibul hajat
— menjadi wajah keramahan keluarga. Mereka menyambut tamu, mempersilakan makan
dan minum, dan menjaga suasana tetap hangat. Dalam adat, menyambut tamu bukan
sekadar sopan santun, tapi ibadah sosial: wujud penghormatan kepada sesama
manusia.
Dan ketika semua usai, bara tungku mulai padam, para Ragah duduk
berkumpul di ruang tamu. Di antara sisa buak dan kopi hitam yang menebar wangi,
mereka diam. Tak ada nama mereka disebut dalam doa pembuka atau sambutan, tapi
tanpa mereka, nayuh tak akan sempurna. Ragah tahu, hidup bukan tentang seberapa
sering disebut, melainkan seberapa tulus berbuat. Mereka tak menuntut terima
kasih, sebab mereka bekerja bukan untuk dipuji, melainkan untuk menjaga
warisan.
Di wajah mereka tersimpan pelajaran yang mulai hilang dari
ruang-ruang modern: keikhlasan tanpa pamrih. Bahwa kemuliaan bukanlah soal
posisi, melainkan pengabdian yang dilakukan dalam diam.
Mungkin kelak tungku akan hilang, digantikan kompor gas; bambu lemang
berganti cetakan aluminium. Namun selama masih ada laki-laki yang tahu kapan
harus menyalakan api, dan kapan menunduk hormat di depan nilai, adat tak akan
mati. Ia akan terus hidup — sederhana, tulus, dan hangat — seperti bara kecil
di dada para Ragah Nayuh.
Sebab Ragah Nayuh bukan sekadar penjaga dapur adat, melainkan
penjaga napas kebersamaan. Mereka menyalakan bukan hanya tungku, tapi juga
kemanusiaan — agar adat tetap bernyala di setiap dada yang masih tahu makna
pengabdian.

إرسال تعليق